Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Utang dan Gengsi, Realita Pahit di Balik Pesta Pernikahan Mewah

2 Januari 2025   06:00 Diperbarui: 2 Januari 2025   09:10 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pernikahan mewah (Sumber: freepik/senivpetro)

Pernahkah anda menyadari bahwa di Indonesia, pernikahan sering kali tidak hanya menjadi momen penyatuan dua orang, tetapi juga ajang pembuktian? 

Pernikahan sering kali lebih mirip sebuah pameran, baik untuk keluarga, lingkungan, hingga gengsi sosial. Di tengah segala euforia ini, ada satu hal yang sering terlupakan, yaitu biaya.

Dalam masyarakat kita, biaya pernikahan bukan hanya soal angka. Ini adalah simbol, alat ukur gengsi, dan kadang bahkan menjadi penyebab tekanan finansial yang berat. 

Banyak pasangan muda yang baru memulai hidup bersama harus menanggung utang besar karena tuntutan ini.

Tekanan Sosial yang Membengkakkan Biaya

Cobalah bayangkan skenario berikut: Anda dan pasangan sepakat untuk membuat pesta kecil, mengundang 100 hingga 200 orang di rumah atau gedung sederhana. 

Namun, ketika ide ini sampai ke telinga keluarga besar, Anda langsung mendapat komentar seperti, "Loh, masa pestanya kecil banget? Kita kan keluarga besar."

Tekanan seperti ini membuat pesta pernikahan yang awalnya sederhana berubah menjadi ajang yang harus memuaskan semua pihak. 

Masalahnya, memuaskan semua orang tidaklah murah. Orang-orang yang meminta pesta besar sering kali tidak membantu membiayainya. 

Ironisnya, kebanyakan tamu yang hadir hanya peduli dengan makanan, dekorasi, dan hiburan. Setelah pesta selesai, mereka lupa, tapi Anda tetap harus membayar tagihannya.

Pernikahan Sebagai Simbol Status Sosial

Di banyak tempat di Indonesia, pernikahan sering dianggap sebagai simbol status sosial. 

Makin mewah pestanya, makin tinggi derajat keluarga di mata masyarakat. Logikanya sederhana: pesta besar sama dengan keluarga sukses. 

Karena itu, banyak pasangan yang rela mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk pesta mewah, meskipun mereka sebenarnya tidak mampu. 

Bahkan, ada orang tua yang mendesak anaknya untuk membuat pesta besar dengan alasan "keluarga kita akan terlihat kecil kalau pestanya sederhana."

Padahal, semua dekorasi mahal, makanan enak, dan hiburan mewah hanya bertahan sehari. Sementara itu, utangnya bisa bertahan bertahun-tahun.

Ekspektasi Keluarga Besar

Ekspektasi keluarga besar sering menjadi faktor utama yang membengkakkan biaya pernikahan. 

Ada anggapan bahwa pernikahan adalah momen keluarga besar untuk "bersinar." Karena itu, mereka ingin mengundang semua orang --- tetangga, teman lama, hingga saudara jauh. 

Namun, siapa yang harus membayar semua itu? Anda dan pasangan.

Ketika Anda sudah menetapkan anggaran untuk 200 undangan, tiba-tiba keluarga besar meminta tambahan 300 tamu lagi. 

Anda merasa tidak enak untuk menolak, sehingga akhirnya mengikuti permintaan tersebut. 

Sayangnya, setelah pesta selesai, banyak dari keluarga besar ini yang lupa membantu Anda melunasi utang yang mereka sebabkan.

Media Sosial dan Standar Pernikahan

Media sosial juga memengaruhi tekanan ini. Foto-foto pesta pernikahan yang mewah --- gaun pengantin mahal, dekorasi bunga yang megah, dan riasan wajah sempurna --- menjadi standar yang sulit dicapai. 

Banyak pasangan merasa tertekan untuk mengikuti standar ini demi mendapat pengakuan sosial. Padahal, di balik foto-foto tersebut, tidak sedikit pasangan yang harus berhutang demi pesta yang terlihat sempurna.

Ironisnya, media sosial juga menciptakan ilusi bahwa pernikahan harus besar dan glamor. 

Kalimat seperti "pernikahan itu cuma sekali seumur hidup" sering menjadi pembenaran untuk pengeluaran besar yang sebenarnya tidak realistis. 

Namun, di sisi lain, ada pasangan yang viral karena memilih pernikahan sederhana. Mereka justru mendapatkan dukungan positif dari masyarakat, karena fokus pada makna pernikahan, bukan pada pestanya.

Realita di Balik "Sekali Seumur Hidup"

Pernikahan sering dianggap sebagai momen sekali seumur hidup. Namun, apakah pesta mewah benar-benar menjamin kebahagiaan? 

Statistik perceraian di Indonesia menunjukkan bahwa angka perceraian terus meningkat, bahkan di kalangan pasangan muda. Ini membuktikan bahwa pesta mewah tidak pernah menjadi jaminan hubungan yang harmonis.

Pola pikir "sekali seumur hidup" sering kali dijadikan alasan untuk mengambil keputusan finansial yang tidak realistis. 

Orang lupa bahwa hidup tidak hanya soal satu hari itu, tetapi perjalanan panjang yang harus dijalani setelahnya. 

Banyak pasangan baru yang harus menghadapi kenyataan pahit berupa utang yang harus dicicil bertahun-tahun.

Budaya Ngutang Demi Gengsi

Di beberapa tempat di Indonesia, ngutang untuk pesta pernikahan sudah menjadi hal yang biasa. Ada keluarga yang rela meminjam uang dari bank demi pesta besar, meskipun tahu bunga dan risikonya tinggi. 

Masalahnya, siapa yang akhirnya harus menanggung beban utang ini? Pasangan baru, yang seharusnya memulai hidup bersama dengan stabilitas finansial, justru memulai dengan kondisi minus.

Budaya ini menciptakan lingkaran setan. Pasangan yang baru menikah sering kali tidak memiliki tabungan atau cadangan darurat, hanya utang yang terus mengejar. 

Siklus ini terus berulang ke generasi berikutnya, karena tradisi ini tidak pernah dipertanyakan.

Mengubah Perspektif Pernikahan

Ada banyak cara untuk menikah tanpa harus berhutang. Anda bisa mulai dengan membuat anggaran realistis, mengundang orang-orang terdekat saja, atau menikah di KUA tanpa pesta besar. 

Esensi pernikahan bukan terletak pada pestanya, tetapi pada komitmen untuk hidup bersama.

Kita juga harus mulai mengubah budaya di masyarakat. Daripada fokus pada kemewahan pesta, mengapa tidak memprioritaskan kesiapan mental, emosional, dan finansial pasangan baru? 

Pernikahan seharusnya menjadi momen bahagia, bukan beban yang menghantui.

Hidup tidak berhenti di hari pernikahan. Justru di situlah semuanya dimulai. Jangan biarkan tekanan sosial atau gengsi membuat Anda mengambil keputusan yang akan disesali seumur hidup. 

Fokuslah pada masa depan Anda dan pasangan, karena kebahagiaan sejati tidak diukur dari besar kecilnya pesta, tetapi dari kualitas hubungan yang Anda bangun bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun