Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ketika Pinjol Memanfaatkan Kemiskinan dan Budaya Konsumtif

17 Desember 2024   06:00 Diperbarui: 17 Desember 2024   13:28 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menghitung utang (sumber:freepik/wirestock)

Dalam beberapa tahun terakhir, keberadaan pinjaman online atau pinjol telah menjadi fenomena yang tak terhindarkan di tengah masyarakat Indonesia. 

Awalnya, pinjol menawarkan solusi cepat bagi mereka yang membutuhkan dana darurat. 

Namun, di balik kepraktisan ini, tersembunyi ancaman besar yang mengintai, terutama bagi masyarakat dengan kondisi finansial rentan. 

Banyak cerita bermunculan tentang orang-orang yang hanya ingin memenuhi kebutuhan mendesak tetapi akhirnya terperangkap dalam lingkaran utang yang sulit diakhiri. 

Tragisnya, mayoritas korban dari jeratan pinjol ini berasal dari kalangan miskin. Pertanyaannya, mengapa pinjol begitu sering menyasar kelompok masyarakat ini?

Apakah ini sekadar kebetulan atau sebenarnya ada pola sistematis yang digunakan oleh penyedia pinjaman online untuk menargetkan orang miskin? 

Untuk memahami hal ini, kita perlu menelaah bagaimana pinjol bekerja, dampaknya terhadap korban, dan apa yang membuat mereka begitu sulit dihindari.

Strategi Bisnis Pinjol: Keuntungan Jangka Pendek di Atas Segalanya

Sebagai entitas bisnis, pinjol berorientasi pada keuntungan. Sayangnya, banyak di antaranya tidak memprioritaskan etika atau tanggung jawab sosial. Yang penting bagi mereka adalah keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat mungkin. 

Untuk itu, mereka menargetkan kelompok masyarakat yang paling rentan secara finansial, yaitu mereka yang memiliki kebutuhan mendesak tetapi tidak memiliki akses ke layanan keuangan formal, seperti bank.

Mengapa orang miskin menjadi sasaran utama? Jawabannya sederhana: bank tidak memberikan akses yang mudah bagi mereka yang tidak memiliki slip gaji atau jaminan. 

Sementara itu, pinjol menawarkan proses yang sangat cepat dengan persyaratan minimum---cukup KTP dan data pribadi. Prosesnya bisa selesai dalam hitungan menit. 

Celah ini menjadi ladang subur bagi pinjol untuk memanfaatkan kebutuhan mendesak orang-orang yang merasa tidak punya alternatif lain.

Namun, di balik kemudahan itu, ada jebakan besar berupa suku bunga yang tidak masuk akal. 

Banyak pinjol ilegal menawarkan bunga yang bisa mencapai ratusan persen per bulan, tetapi informasi ini sering kali tidak transparan di awal. 

Janji manipulatif seperti "bunga rendah" atau "proses cepat tanpa ribet" sering digunakan untuk menarik perhatian masyarakat miskin, yang berada dalam situasi sulit dan tidak memiliki waktu untuk menganalisis secara mendalam.

Dampak Psikologis: Ketika Logika Dikalahkan Emosi

Masyarakat miskin yang berada dalam tekanan ekonomi cenderung mengambil keputusan yang tidak rasional. 

Ini bukan karena mereka tidak cerdas, tetapi karena hidup dalam kekurangan terus-menerus menciptakan apa yang disebut scarcity mindset. 

Dalam kondisi ini, seseorang hanya bisa fokus pada kebutuhan jangka pendek tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.

Sebagai contoh, seorang kepala keluarga yang kehabisan uang untuk membeli makanan bagi anak-anaknya mungkin tidak akan berpikir panjang ketika ditawari pinjaman cepat. 

Dalam kondisi seperti itu, emosi sering kali mengalahkan logika. Penyedia pinjol memahami pola pikir ini dengan baik dan menggunakannya untuk memaksimalkan keuntungan mereka.

Selain itu, stigma sosial terhadap kemiskinan memperburuk situasi. Banyak orang miskin yang merasa malu untuk meminta bantuan dari keluarga atau komunitas karena takut dianggap sebagai beban. 

Di sinilah pinjol hadir sebagai "penolong" yang menawarkan solusi instan tanpa rasa malu. Sayangnya, solusi ini sering kali berujung pada bencana finansial yang lebih besar.

Budaya Konsumtif dan Lingkaran Setan Utang

Budaya konsumtif yang semakin meluas di Indonesia juga memainkan peran besar dalam fenomena ini. 

Media sosial menjadi salah satu faktor utama yang mendorong orang untuk mengikuti tren gaya hidup tertentu, meskipun kondisi finansial mereka tidak mendukung. 

Akibatnya, utang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan mendesak sering kali dialihkan untuk keperluan konsumtif, seperti membeli gadget baru atau barang-barang lain yang sebenarnya tidak esensial.

Ketika kebutuhan mendadak muncul, masyarakat yang sudah terjebak dalam gaya hidup konsumtif ini biasanya tidak memiliki tabungan atau cadangan finansial. 

Akhirnya, pinjol kembali menjadi solusi sementara. Namun, karena utang yang diambil digunakan untuk kebutuhan konsumtif, tidak ada sumber pendapatan tambahan untuk melunasi utang tersebut. 

Akibatnya, mereka harus mengambil utang baru untuk menutup utang lama, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.

Efek Sosial dan Ekonomi Pinjol

Dampak pinjol tidak hanya sebatas bunga tinggi atau ancaman debt collector. Ada efek sosial yang lebih luas yang sering kali diabaikan. 

Penyebaran data pribadi korban, yang sering dilakukan oleh pinjol ilegal, dapat menghancurkan reputasi mereka di lingkungan sosial. 

Bayangkan data pribadi seseorang disebar ke keluarga, teman, atau bahkan tempat kerja hanya karena ia terlambat membayar cicilan. 

Ini bukan hanya masalah rasa malu, tetapi juga dapat menyebabkan korban dijauhi oleh lingkungan sosialnya.

Lebih jauh, dampak ekonomi dari pinjol juga sangat signifikan. Uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan dasar, seperti makanan, pendidikan, atau modal usaha, akhirnya habis untuk membayar bunga yang tidak masuk akal. 

Akibatnya, daya beli masyarakat kecil menurun, dan ini berdampak langsung pada sektor UMKM yang sangat bergantung pada daya beli masyarakat lokal.

Lebih parah lagi, keuntungan besar dari bunga pinjol sering kali mengalir ke perusahaan-perusahaan besar yang mayoritas bukan milik orang Indonesia. 

Ini memperlebar kesenjangan ekonomi dan merugikan potensi pertumbuhan ekonomi lokal.

Peran Teknologi dan Algoritma Pinjol

Teknologi yang digunakan oleh pinjol saat ini semakin canggih. Iklan pinjol yang muncul di ponsel Anda bukanlah kebetulan. 

Penyedia pinjol menggunakan algoritma khusus untuk menargetkan orang-orang yang mereka anggap paling rentan. 

Data dari aktivitas online Anda---seperti pencarian tentang keuangan atau pengisian formulir di aplikasi tertentu---dapat digunakan untuk menentukan apakah Anda berpotensi menjadi target.

Bahkan aplikasi sederhana, seperti game atau media sosial, dapat menjadi sumber data bagi pinjol. 

Pinjol ilegal sering kali mendapatkan data ini tanpa izin pengguna, dan tidak ada pengawasan ketat terhadap praktik semacam ini. 

Lebih buruk lagi, algoritma ini dirancang untuk terus-menerus membombardir target dengan iklan hingga mereka tergoda untuk mencoba. Ini adalah bentuk perang psikologis yang, sayangnya, banyak orang kalah.

Regulasi yang Lemah dan Kurangnya Edukasi Finansial

Regulasi terhadap pinjol di Indonesia sebenarnya sudah ada. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan daftar pinjol legal yang beroperasi di bawah pengawasan mereka. 

Namun, implementasi regulasi ini masih jauh dari optimal. Pinjol ilegal tetap beroperasi dengan bebas, sering kali menggunakan trik seperti membuat nama yang mirip dengan pinjol resmi untuk mengelabui masyarakat.

Selain itu, penegakan hukum terhadap pinjol ilegal juga sering kali lambat. Banyak korban yang melaporkan kasusnya ke pihak berwajib, tetapi proses hukum yang panjang membuat mereka enggan melanjutkan. 

Akibatnya, mereka lebih memilih melunasi utang dengan bunga tinggi daripada berharap pada sistem hukum yang tidak memberikan kepastian.

Kurangnya edukasi finansial di masyarakat juga menjadi akar masalah yang perlu segera diatasi. Banyak masyarakat tidak memahami konsep dasar seperti bunga, tenor, atau risiko utang. 

Mereka hanya fokus pada jumlah pinjaman yang cair, tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya membayar jauh lebih banyak dari yang mereka pinjam.

Sayangnya, program edukasi finansial yang ada saat ini sering kali hanya ditujukan untuk kelas menengah ke atas. 

Masyarakat miskin jarang mendapatkan akses ke informasi dasar yang dapat membantu mereka mengelola keuangan dengan lebih baik.

Mencari Solusi: Apa yang Harus Dilakukan?

Fenomena pinjol adalah gejala dari masalah sistemik yang lebih besar: ketimpangan sosial, regulasi yang lemah, dan minimnya edukasi finansial. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah strategis, di antaranya:

  1. Penegakan regulasi yang lebih ketat untuk memberantas pinjol ilegal dan melindungi data pribadi masyarakat.
  2. Program edukasi finansial yang inklusif, menjangkau semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok rentan.
  3. Peningkatan akses ke layanan keuangan formal, seperti koperasi atau bank, dengan syarat yang lebih inklusif bagi masyarakat miskin.
  4. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang bahaya pinjol melalui kampanye yang melibatkan komunitas lokal, tokoh agama, dan media.

Tanpa langkah-langkah ini, jeratan pinjol tidak hanya akan terus memiskinkan individu tetapi juga memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia.

Kesimpulan

Pinjol bukan hanya masalah individu, tetapi masalah yang mencerminkan kesenjangan sistemik dalam masyarakat kita. 

Masyarakat miskin menjadi target utama bukan karena mereka lemah, tetapi karena sistem keuangan formal sering kali tidak memberikan ruang bagi mereka. 

Selama regulasi lemah, teknologi terus dimanfaatkan secara tidak etis, dan edukasi finansial minim, pinjol akan terus menjadi ancaman yang merusak tatanan sosial dan ekonomi Indonesia.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun