Di sinilah pinjol hadir sebagai "penolong" yang menawarkan solusi instan tanpa rasa malu. Sayangnya, solusi ini sering kali berujung pada bencana finansial yang lebih besar.
Budaya Konsumtif dan Lingkaran Setan Utang
Budaya konsumtif yang semakin meluas di Indonesia juga memainkan peran besar dalam fenomena ini.Â
Media sosial menjadi salah satu faktor utama yang mendorong orang untuk mengikuti tren gaya hidup tertentu, meskipun kondisi finansial mereka tidak mendukung.Â
Akibatnya, utang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan mendesak sering kali dialihkan untuk keperluan konsumtif, seperti membeli gadget baru atau barang-barang lain yang sebenarnya tidak esensial.
Ketika kebutuhan mendadak muncul, masyarakat yang sudah terjebak dalam gaya hidup konsumtif ini biasanya tidak memiliki tabungan atau cadangan finansial.Â
Akhirnya, pinjol kembali menjadi solusi sementara. Namun, karena utang yang diambil digunakan untuk kebutuhan konsumtif, tidak ada sumber pendapatan tambahan untuk melunasi utang tersebut.Â
Akibatnya, mereka harus mengambil utang baru untuk menutup utang lama, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
Efek Sosial dan Ekonomi Pinjol
Dampak pinjol tidak hanya sebatas bunga tinggi atau ancaman debt collector. Ada efek sosial yang lebih luas yang sering kali diabaikan.Â
Penyebaran data pribadi korban, yang sering dilakukan oleh pinjol ilegal, dapat menghancurkan reputasi mereka di lingkungan sosial.Â
Bayangkan data pribadi seseorang disebar ke keluarga, teman, atau bahkan tempat kerja hanya karena ia terlambat membayar cicilan.Â
Ini bukan hanya masalah rasa malu, tetapi juga dapat menyebabkan korban dijauhi oleh lingkungan sosialnya.