Pernahkah Anda merasa heran mengapa sebagian orang miskin, terutama yang dianggap kurang edukasi, sering kali mudah tersinggung?Â
Ketika Anda mencoba memberikan saran atau bahkan kritik yang baik, respons mereka justru bisa berupa kemarahan.Â
Fenomena ini mungkin pernah Anda alami, atau bahkan Anda saksikan sendiri.Â
Namun, alih-alih hanya menyimpulkan bahwa mereka "gampang marah," mari kita coba memahami mengapa hal ini terjadi.Â
Lebih dari Sekadar Kemiskinan Materi
Saat membicarakan tentang kemiskinan, kebanyakan orang cenderung mengasosiasikannya dengan kurangnya uang.Â
Padahal, kemiskinan jauh lebih kompleks dari sekadar tidak memiliki uang.Â
Kemiskinan juga bisa berarti minimnya akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan yang layak, atau lingkungan yang mendukung perkembangan mental dan fisik.
Misalnya, seseorang yang tidak punya uang mungkin masih memiliki dukungan sosial yang kuat dari keluarga atau komunitasnya.Â
Namun, mereka yang tidak memiliki akses pendidikan atau fasilitas kesehatan yang memadai sering kali terjebak dalam kemiskinan sistemik.Â
Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar secara konsisten menciptakan rasa frustrasi yang mendalam.Â
Ini juga yang membuat orang miskin cenderung lebih mudah merasa terancam, terutama ketika berhadapan dengan orang-orang yang dianggap lebih "beruntung" dari mereka.
Kemiskinan seperti ini lebih sulit diatasi karena akar masalahnya berada di luar kendali individu itu sendiri.Â
Banyak orang miskin yang tidak hanya kekurangan uang tetapi juga kekurangan peluang untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Salah Kaprah tentang "Bodoh"
Sebutan "bodoh" sering kali dilekatkan pada orang miskin, tetapi ini adalah pandangan yang keliru.Â
Orang yang dianggap "bodoh" bukan berarti memiliki IQ rendah atau tidak mampu belajar.Â
Biasanya, mereka hanya kekurangan wawasan dan terbatas dalam sudut pandang karena pola pikir sempit yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam banyak kasus, keterbatasan pendidikan adalah akar masalahnya. Kurangnya pendidikan membuat seseorang tidak terbiasa berpikir kritis, menganalisis situasi, atau menerima masukan secara terbuka.Â
Hal ini bukan karena mereka tidak mau belajar, tetapi karena mereka tidak diberi kesempatan untuk berkembang. Akibatnya, mereka sering kali melihat kritik sebagai serangan, bukan sebagai upaya untuk membantu.
Lingkungan yang Membentuk Mental Defensif
Bayangkan hidup di lingkungan miskin: rumah sempit dengan anggota keluarga yang banyak, suasana sekitar yang bising, konflik antar-tetangga yang sering terjadi, hingga tekanan hidup sehari-hari.Â
Dalam kondisi seperti ini, individu cenderung mengembangkan sifat keras sebagai bentuk pertahanan diri.
Lingkungan yang penuh tekanan ini membuat orang miskin harus fokus pada bagaimana bertahan hidup hari ini. Mereka tidak punya waktu atau ruang untuk berpikir panjang.Â
Dalam situasi seperti ini, setiap kritik atau masukan sering kali dianggap sebagai ancaman tambahan, bukan sebagai solusi.Â
Bahkan saran yang dimaksudkan untuk membantu bisa dianggap sebagai bentuk arogansi dari orang luar yang tidak memahami kesulitan mereka.
Mental defensif ini adalah mekanisme perlindungan psikologis. Ini memungkinkan mereka bertahan di lingkungan yang keras, tetapi di sisi lain, juga membuat mereka sulit menerima perubahan atau pandangan baru.
Peran Pendidikan yang Hilang
Pendidikan adalah salah satu cara terbaik untuk mengubah hidup seseorang. Namun, akses ke pendidikan layak sering kali menjadi tantangan bagi keluarga miskin.Â
Meski ada sekolah gratis, banyak biaya tambahan seperti seragam, buku, dan transportasi yang tetap harus ditanggung.
Ketika keluarga miskin tidak mampu membayar biaya tersebut, anak-anak mereka sering kali harus putus sekolah.Â
Ini menciptakan lingkaran setan di mana generasi berikutnya tumbuh tanpa keterampilan untuk berpikir kritis atau mengelola emosi mereka dengan baik.Â
Mereka yang tidak menyelesaikan pendidikan formal juga kehilangan peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di masa depan.
Tanpa pendidikan, seseorang tidak hanya kehilangan kemampuan akademis, tetapi juga kesempatan untuk belajar bagaimana menerima kritik dengan kepala dingin.Â
Mereka sulit membedakan antara kritik konstruktif dan hinaan, sehingga cenderung bereaksi defensif terhadap masukan apa pun.
Budaya Malu dan Harga Diri
Budaya malu sangat kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan miskin. Harga diri adalah salah satu hal yang paling mereka jaga, karena itulah satu-satunya "kekayaan" yang mereka miliki.
Ketika kritik datang, mereka sering kali merasa bahwa harga diri mereka diserang.Â
Mereka tidak melihat kritik sebagai upaya untuk membantu, tetapi sebagai ancaman yang memperkuat stigma negatif tentang diri mereka.Â
Dalam banyak kasus, kritik bahkan bisa dianggap sebagai penghinaan terhadap seluruh komunitas mereka, bukan hanya terhadap individu yang menerima kritik tersebut.
Fenomena ini diperburuk oleh lingkungan sosial di mana rasa malu sering kali digunakan sebagai alat kontrol.Â
Orang yang dianggap gagal atau tidak mampu sering kali dipermalukan di depan umum, yang membuat mereka semakin defensif ketika berhadapan dengan masukan dari luar.
Trauma Antar-Generasi
Istilah "trauma intergenerasional" menggambarkan bagaimana tekanan hidup dan trauma yang dialami satu generasi bisa diwariskan ke generasi berikutnya.Â
Contohnya, kakek-nenek yang hidup di masa sulit seperti penjajahan atau krisis ekonomi, cenderung mewariskan pola pikir bertahan hidup kepada anak-anak mereka.
Namun, pola pikir bertahan ini sering kali tidak diiringi dengan keterampilan untuk berkembang atau keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akibatnya, generasi berikutnya tumbuh dengan sifat curiga terhadap orang lain dan kesulitan menerima kritik atau bantuan.
Trauma ini juga membuat mereka sulit percaya pada niat baik orang lain. Bagi mereka, setiap kritik atau masukan selalu disertai dengan motif tersembunyi.Â
Pandangan ini membuat mereka semakin terisolasi dan terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
Sistem Sosial yang Tidak Mendukung
Banyak orang miskin terjebak dalam kemiskinan bukan karena mereka malas atau tidak mampu, tetapi karena sistem yang tidak mendukung mereka untuk bangkit.Â
Misalnya, sulitnya akses ke pinjaman modal, rendahnya peluang kerja layak, atau syarat pendidikan yang sulit dipenuhi.
Sistem yang tidak adil ini membuat mereka merasa frustrasi dan tidak percaya pada perubahan.Â
Ketika Anda datang dengan saran atau kritik, mereka sering kali melihatnya sebagai bukti bahwa dunia hanya menyalahkan mereka tanpa memberikan solusi nyata.
Sebagai contoh, banyak keluarga miskin yang ingin memulai usaha kecil-kecilan tetapi tidak memiliki akses ke modal atau pelatihan yang memadai.Â
Ketika mereka gagal, masyarakat sering kali hanya melihat mereka sebagai "tidak berusaha," tanpa memahami hambatan yang mereka hadapi.
Kurangnya Role Model Positif
Di banyak komunitas miskin, jarang sekali ada panutan atau role model yang dapat menginspirasi mereka untuk keluar dari kemiskinan.Â
Sebaliknya, mereka sering melihat contoh negatif, seperti orang yang sukses melalui jalan pintas atau kejahatan kecil-kecilan.
Ketidakhadiran role model positif ini membuat mereka skeptis terhadap gagasan perbaikan diri.Â
Mereka juga tidak tahu bagaimana menghadapi kritik dengan cara yang sehat, karena terbiasa melihat kemarahan sebagai cara paling efektif untuk bertahan.
Role model yang baik bisa menjadi kunci untuk mengubah pola pikir ini.Â
Ketika seseorang dari komunitas mereka berhasil keluar dari kemiskinan dan menunjukkan bagaimana menerima kritik bisa menjadi langkah awal untuk berkembang, ini bisa memberikan inspirasi nyata bagi orang lain.
Belajar dari Empati
Setelah memahami berbagai faktor yang memengaruhi, kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap mereka yang mudah tersinggung.Â
Daripada menghakimi, kita harus mencoba melihat dari sudut pandang mereka.
Empati adalah langkah awal. Kita harus menyadari bahwa reaksi mereka yang defensif adalah hasil dari lingkungan, pendidikan, dan sistem sosial yang tidak mendukung mereka.Â
Perubahan tidak bisa terjadi secara instan, tetapi langkah kecil yang konsisten bisa memberikan dampak besar.
Misalnya, alih-alih memberikan kritik secara langsung, cobalah untuk memulai dengan mendengarkan.Â
Tanyakan apa yang mereka butuhkan dan apa yang mereka rasakan sebelum memberikan masukan. Dengan cara ini, mereka akan merasa dihargai dan lebih terbuka untuk menerima saran.
Kesimpulan
Kemiskinan adalah masalah yang kompleks, melibatkan banyak faktor mulai dari pendidikan, lingkungan, hingga sistem sosial yang tidak mendukung.Â
Ketika seseorang mudah tersinggung, itu sering kali merupakan hasil dari akumulasi tekanan hidup yang mereka alami selama bertahun-tahun.
Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya memahami tetapi juga membantu menciptakan solusi nyata.Â
Dengan empati, pendidikan, dan kehadiran role model yang positif, kita bisa membantu mengubah pola pikir defensif menjadi pola pikir yang lebih terbuka dan produktif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H