TikTok, salah satu platform media sosial yang paling populer saat ini, tak pernah sepi dari perbincangan.Â
Dengan lebih dari satu miliar pengguna aktif bulanan, TikTok menghadirkan beragam konten yang menghibur, mendidik, hingga kontroversial.Â
Meski demikian, platform ini tak luput dari stigma negatif. Salah satu julukan yang sering dilekatkan pada TikTok oleh netizen adalah "kandang monyet."
Julukan ini menggambarkan pandangan sebagian orang terhadap TikTok sebagai tempat bagi konten tanpa mutu yang sering kali dinilai merendahkan martabat para kreatornya.Â
Lebih jauh lagi, muncul fenomena baru di platform ini, yaitu "joget demi gift," di mana kreator live streaming berjoget untuk mendapatkan gift dari penonton yang dapat dikonversi menjadi uang.Â
Fenomena ini mencerminkan tantangan dan dampak dari era ekonomi digital yang serba instan.
Mengapa TikTok Dijuluki "Kandang Monyet"?
Julukan "kandang monyet" terhadap TikTok muncul bukan tanpa alasan. Banyak yang menganggap platform ini penuh dengan konten receh dan murahan, di mana penggunanya rela melakukan apa saja demi popularitas. Berikut beberapa alasan utama di balik stigma ini:
1. Kebebasan Tanpa Batas
TikTok memungkinkan siapa saja untuk menjadi kreator tanpa memandang latar belakang, keterampilan, atau pengalaman.Â
Cukup dengan berjoget, lipsync, atau membuat video pendek dengan tema absurd, seseorang bisa mendapatkan perhatian luas.Â
Kebebasan ini, meski memberikan inklusivitas, juga menyebabkan hilangnya standar tertentu dalam hal kualitas konten.
2. Pencarian Perhatian yang Berlebihan
Banyak kreator TikTok yang terlihat rela menurunkan harga diri mereka demi mendapatkan views, likes, dan pengakuan dari audiens.Â
Konten-konten semacam ini sering kali dinilai tidak memiliki nilai edukasi atau moral, sehingga memperkuat stigma bahwa TikTok hanya untuk hiburan murahan.
3. Kesederhanaan yang Menyimpang
Kemudahan membuat konten di TikTok sering kali disalahgunakan. Tak sedikit yang memanfaatkan platform ini untuk melakukan hal-hal yang dianggap aneh, konyol, atau bahkan merendahkan diri sendiri.Â
Hal inilah yang membuat banyak orang menganggap TikTok sebagai "kandang monyet," di mana kreator seolah-olah "dipajang" untuk menghibur tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap martabat mereka.
Fenomena Joget Demi Gift
Salah satu tren terbaru yang cukup kontroversial di TikTok adalah pekerjaan joget demi gift. Fenomena ini melibatkan kreator, terutama dari kalangan masyarakat menengah ke bawah, yang memanfaatkan fitur live streaming untuk berjoget atau melakukan tantangan demi mendapatkan gift virtual dari penonton.
1. Gift Sebagai Sumber Penghasilan
Gift yang dikirimkan oleh penonton dapat dikonversi menjadi uang. Hal ini membuat live streaming di TikTok menjadi salah satu cara untuk mencari penghasilan tambahan, terutama bagi mereka yang berada dalam situasi ekonomi sulit.
Namun, tidak semua orang melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang positif. Sebagian besar kritik mengarah pada anggapan bahwa tren ini merendahkan harga diri para kreator, yang seolah hanya menjadi "alat hiburan murah" demi mendapatkan penghasilan kecil.
2. Kesenjangan Ekonomi dan Kreativitas
Mayoritas kreator yang melakukan joget demi gift berasal dari kalangan menengah ke bawah, yang mungkin memiliki keterbatasan dalam mencari pekerjaan lain.Â
Bagi mereka, TikTok menjadi peluang untuk mencari uang dengan cara yang relatif mudah. Namun, hal ini juga memunculkan pandangan bahwa mereka memanfaatkan hiburan murah sebagai alat eksploitasi diri.
Perspektif Psikologis: Mengapa Orang Melakukannya?
Dari sudut pandang psikologi, ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan mengapa orang rela berjoget demi gift meskipun tindakan ini dianggap merendahkan martabat:
1. Survival Mode
Dalam kondisi ekonomi yang sulit, banyak orang memasuki "mode bertahan hidup," di mana kebutuhan dasar menjadi prioritas utama.Â
Mereka cenderung melakukan apa saja, termasuk cara-cara yang dianggap tidak etis, demi mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
2. Kebutuhan Validasi Sosial
TikTok menawarkan peluang besar untuk mendapatkan validasi sosial melalui views, likes, dan gift. Dalam psikologi, kebutuhan akan pengakuan dari orang lain dikenal sebagai social validation.Â
Ketika seorang kreator mendapatkan gift atau perhatian dari penonton, ada kepuasan emosional yang mereka rasakan, yang membuat mereka merasa dihargai.
3. Fenomena Self-Objectification
Self-objectification terjadi ketika seseorang mulai melihat dirinya sebagai objek yang dinilai berdasarkan pandangan orang lain.Â
Mereka yang terus-menerus tampil di media sosial demi perhatian eksternal dapat kehilangan identitas diri yang stabil, karena harga diri mereka bergantung pada jumlah gift atau apresiasi yang diterima.
Kontroversi di Kalangan Penonton
Fenomena joget demi gift juga menimbulkan perdebatan di kalangan penonton. Ada yang mengkritik tren ini sebagai bentuk eksploitasi diri yang didukung oleh penonton melalui pemberian gift.Â
Namun, ada pula yang berpendapat bahwa pemberian gift adalah bentuk apresiasi yang sah.
1. Apresiasi atau Eksploitasi?
Pendukung pemberian gift menganggap ini sama seperti memberi tip kepada musisi jalanan atau penghibur lainnya.Â
Namun, kritik datang dari mereka yang berpendapat bahwa gift justru memperparah fenomena hiburan murahan, di mana kreator hanya mengejar perhatian tanpa mempertimbangkan nilai moral atau etika.
2. Dampak Konsumtif
Fenomena gift juga menunjukkan sisi konsumtif masyarakat di era digital. Tak sedikit penonton yang rela menghabiskan uang mereka untuk memberikan gift virtual, meskipun manfaat nyata dari gift tersebut hanya sebatas hiburan.
Dampak Sosial dan Etis
Fenomena joget demi gift membawa dampak yang lebih luas, tidak hanya bagi para kreator, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan.
1. Penguatan Stereotip
Tren ini dapat memperkuat stereotip negatif terhadap kalangan menengah ke bawah, yang dianggap kurang kreatif atau hanya mampu menawarkan hiburan sederhana.Â
Stigma ini dapat membatasi peluang mereka untuk berkembang dan memperbaiki citra diri.
2. Pengaruh terhadap Generasi Muda
Anak-anak dan remaja yang melihat tren ini mungkin menganggapnya sebagai jalan pintas untuk mendapatkan uang.Â
Jika fenomena ini terus berlangsung, ada risiko generasi muda akan mengabaikan pentingnya pendidikan atau pengembangan keterampilan yang lebih bermanfaat.
3. Dampak Psikologis pada Kreator
Ketergantungan pada gift dan validasi sosial dapat berdampak buruk pada kesehatan mental kreator. Ketika apresiasi dari penonton berkurang atau berhenti, mereka rentan mengalami penurunan harga diri atau bahkan depresi.
Bagaimana Kita Harus Menyikapi Fenomena Ini?
Untuk menghadapi fenomena ini secara bijak, berikut beberapa hal yang dapat dilakukan:
- Bagi Penonton: Sebelum memberikan gift, pertimbangkan niat dan dampaknya. Jika tujuannya untuk mendukung kreator, pastikan hiburan yang diberikan memiliki nilai positif.
- Bagi Kreator: Tetapkan batasan dalam membuat konten. Gunakan platform seperti TikTok untuk menghasilkan karya yang bermakna, tanpa harus mengorbankan martabat.
- Bagi Masyarakat: Jadilah pengguna media sosial yang kritis dan selektif. Jangan hanya menjadi konsumen pasif, tetapi berikan dukungan pada konten yang edukatif dan inspiratif.
Kesimpulan
Julukan "kandang monyet" untuk TikTok mungkin muncul karena banyaknya konten receh yang terlihat merendahkan martabat kreator demi popularitas. Namun, fenomena ini juga mencerminkan tantangan ekonomi dan tekanan sosial di era digital.
Joget demi gift, meskipun kontroversial, menggambarkan bagaimana ekonomi digital membuka peluang sekaligus menciptakan dilema etis.Â
Sebagai pengguna media sosial, kita semua memiliki peran untuk membentuk budaya digital yang lebih sehat dan bermartabat.
Pada akhirnya, media sosial seperti TikTok adalah alat netral. Bagaimana kita memanfaatkannya akan menentukan dampaknya bagi diri kita sendiri dan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H