Mereka melihat utang untuk bisnis sebagai risiko besar, sementara utang untuk mobil dianggap lebih aman.Â
Namun, kenyataannya, mobil akan mengalami penyusutan nilai, dan setelah lima tahun, mobil yang dibeli dengan harga Rp100 juta mungkin hanya bernilai Rp70 juta, sementara total utang yang harus dibayar bisa mencapai Rp200 juta.Â
Ini berarti, tanpa disadari, orang tersebut sebenarnya mengalami kerugian besar.
Di sisi lain, jika uang yang sama digunakan untuk memulai bisnis, meskipun ada risiko kerugian, ada juga peluang untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dari sekadar membeli mobil.
Menghindari Risiko yang Diketahui, Terjebak dalam Risiko yang Tidak Disadari
Inilah inti dari teori Loss Aversion: ketika kita menyadari adanya risiko, kita cenderung menghindarinya.Â
Namun, kita sering kali terjebak dalam risiko lain yang tidak kita sadari.Â
Dalam contoh mobil dan bisnis di atas, orang lebih takut dengan risiko yang jelas terlihat (risiko bisnis), tapi tanpa sadar mereka terjebak dalam risiko yang tersembunyi (penyusutan nilai mobil dan cicilan utang).
Fenomena ini juga terlihat dalam kebiasaan orang yang enggan menjual aset yang sudah jelas-jelas merugi.Â
Mereka tidak ingin merasakan sakitnya kerugian akibat menjual aset tersebut, meskipun terus memegangnya justru memperbesar kerugian di masa depan.Â
Ini adalah bukti lain dari Loss Aversion---manusia cenderung menghindari kerugian yang dirasakan secara sadar, namun tanpa sadar terjebak dalam kerugian yang lebih besar.
Dampak Loss Aversion dalam Investasi dan Asuransi
Dalam dunia investasi, banyak orang takut berinvestasi karena risiko kerugian. Namun, mereka tidak menyadari bahwa dengan tidak berinvestasi, mereka otomatis mengalami kerugian.Â