Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Loss Aversion: Mengapa Kita Lebih Takut Rugi daripada Bahagia Mendapat Untung?

19 Oktober 2024   06:00 Diperbarui: 24 Oktober 2024   16:12 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi loss aversion. sumber: freepik

Ada sebuah teori psikologis yang sangat menarik mengenai bagaimana manusia menghadapi risiko dan keuntungan. 

Teori ini mengungkapkan betapa unik, aneh, dan kadang menggelitiknya perilaku manusia. Teori tersebut dikenal sebagai Loss Aversion atau aversi terhadap kerugian. 

Dari sini, kita dapat memahami mengapa banyak orang cenderung bertindak irasional ketika dihadapkan pada risiko dan keuntungan yang mungkin mereka dapatkan.

Apa Itu Loss Aversion?

Teori Loss Aversion diperkenalkan oleh dua psikolog, Daniel Kahneman dan Amos Tversky, pada tahun 1979 melalui konsep yang disebut Prospect Theory atau teori prospek. 

Teori ini menantang asumsi dasar dari ekonomi klasik, yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang selalu bertindak berdasarkan logika. 

Kahneman dan Tversky berargumen bahwa sebenarnya manusia lebih sering bertindak berdasarkan emosi daripada logika. Inilah yang membuat perilaku manusia tidak selalu rasional.

Salah satu bentuk dari irasionalitas ini adalah kecenderungan manusia untuk lebih fokus pada kerugian daripada keuntungan, meskipun nilai keduanya setara. 

Inilah inti dari teori Loss Aversion --- manusia merasakan dampak kerugian lebih mendalam dibandingkan dengan kebahagiaan yang mereka rasakan saat mendapat keuntungan.

Mengapa Kerugian Lebih Menyakitkan daripada Keuntungan?

Loss Aversion mengajarkan bahwa manusia merasa lebih sakit dan kecewa terhadap kerugian daripada kebahagiaan yang dirasakan dari keuntungan. 

Jika seseorang dihadapkan pada dua pilihan---menghindari kehilangan uang Rp5 juta atau mendapatkan keuntungan Rp5 juta---kebanyakan orang akan lebih takut kehilangan Rp5 juta, meskipun nilainya sama. 

Kerugian terasa jauh lebih signifikan dan menyakitkan dibandingkan dengan rasa bahagia yang muncul akibat keuntungan.

Contohnya, dalam investasi, jika seseorang kehilangan Rp5 juta, perasaan negatif itu cenderung lebih kuat dan bertahan lama dibandingkan dengan rasa senang yang muncul saat mendapatkan keuntungan dengan nilai yang sama. 

Hal ini sering kali mempengaruhi keputusan orang dalam menghadapi risiko, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pengambilan keputusan bisnis dan finansial.

Dampak Loss Aversion dalam Kehidupan Sehari-hari

Ketakutan terhadap kerugian ini sering kali membuat orang lebih cenderung menghindari risiko. 

Namun ironisnya, ketika mereka mencoba menghindari risiko secara sadar, mereka justru terjebak dalam risiko lain yang tidak mereka sadari. Contohnya bisa kita lihat dalam pengambilan keputusan bisnis.

Misalnya, ada seseorang yang dihadapkan pada pilihan untuk meminjam uang sebesar Rp100 juta untuk membangun bisnis, namun ia menolak karena takut bisnisnya gagal dan ia kehilangan uang. 

Namun, ketika ditawarkan untuk membeli rumah dengan jumlah utang yang sama, orang tersebut lebih cenderung memilih membeli rumah. 

Mengapa? Karena bisnis dianggap lebih berisiko dibandingkan dengan memiliki rumah. 

Padahal, dengan membangun bisnis, ada potensi keuntungan yang bisa diraih, sementara dengan membeli rumah, tidak ada potensi keuntungan, atau bahkan ada kemungkinan kerugian akibat penyusutan nilai rumah.

Loss Aversion dan Keputusan Finansial

Fenomena yang sama juga berlaku dalam keputusan finansial lainnya, seperti pembelian mobil atau investasi. 

Banyak orang lebih nyaman berutang untuk membeli mobil daripada meminjam uang untuk memulai bisnis. 

Mereka melihat utang untuk bisnis sebagai risiko besar, sementara utang untuk mobil dianggap lebih aman. 

Namun, kenyataannya, mobil akan mengalami penyusutan nilai, dan setelah lima tahun, mobil yang dibeli dengan harga Rp100 juta mungkin hanya bernilai Rp70 juta, sementara total utang yang harus dibayar bisa mencapai Rp200 juta. 

Ini berarti, tanpa disadari, orang tersebut sebenarnya mengalami kerugian besar.

Di sisi lain, jika uang yang sama digunakan untuk memulai bisnis, meskipun ada risiko kerugian, ada juga peluang untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dari sekadar membeli mobil.

Menghindari Risiko yang Diketahui, Terjebak dalam Risiko yang Tidak Disadari

Inilah inti dari teori Loss Aversion: ketika kita menyadari adanya risiko, kita cenderung menghindarinya. 

Namun, kita sering kali terjebak dalam risiko lain yang tidak kita sadari. 

Dalam contoh mobil dan bisnis di atas, orang lebih takut dengan risiko yang jelas terlihat (risiko bisnis), tapi tanpa sadar mereka terjebak dalam risiko yang tersembunyi (penyusutan nilai mobil dan cicilan utang).

Fenomena ini juga terlihat dalam kebiasaan orang yang enggan menjual aset yang sudah jelas-jelas merugi. 

Mereka tidak ingin merasakan sakitnya kerugian akibat menjual aset tersebut, meskipun terus memegangnya justru memperbesar kerugian di masa depan. 

Ini adalah bukti lain dari Loss Aversion---manusia cenderung menghindari kerugian yang dirasakan secara sadar, namun tanpa sadar terjebak dalam kerugian yang lebih besar.

Dampak Loss Aversion dalam Investasi dan Asuransi

Dalam dunia investasi, banyak orang takut berinvestasi karena risiko kerugian. Namun, mereka tidak menyadari bahwa dengan tidak berinvestasi, mereka otomatis mengalami kerugian. 

Uang yang hanya disimpan di bank akan tergerus oleh inflasi, yang pada akhirnya menurunkan daya beli mereka.

Begitu juga dengan asuransi. Banyak orang menganggap membayar premi asuransi sebagai kerugian, padahal ketika sesuatu yang buruk terjadi, seperti sakit atau kecelakaan, biaya yang harus mereka tanggung jauh lebih besar dibandingkan jika mereka membayar premi asuransi secara rutin. 

Lagi-lagi, Loss Aversion membuat mereka lebih takut pada kerugian yang disadari, sehingga mereka menghindari asuransi, padahal risiko tanpa asuransi jauh lebih besar.

Kesimpulan: Mengatasi Ketakutan Terhadap Risiko

Teori Loss Aversion memberikan kita wawasan penting tentang bagaimana manusia cenderung lebih takut terhadap kerugian daripada menikmati keuntungan. 

Ini adalah kecenderungan alami yang bisa mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kita, mulai dari keputusan finansial, bisnis, hingga investasi. 

Dengan memahami teori ini, kita bisa lebih bijak dalam menghadapi risiko, tidak hanya berfokus pada kerugian yang mungkin terjadi, tetapi juga membuka mata terhadap peluang keuntungan yang ada.

Semoga dengan pemahaman ini, kita bisa lebih berani mengambil langkah yang bijak dan tidak terjebak dalam ketakutan yang berlebihan terhadap risiko.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun