Pada awal 2000-an, ketika ekonomi global menghadapi resesi, penjualan barang-barang kecil yang dianggap sebagai bentuk self-reward tetap meningkat.Â
Begitu pula di masa resesi lainnya, seperti krisis keuangan global pada tahun 2008, di mana meskipun penjualan rumah dan kendaraan mengalami penurunan drastis, produk kecantikan seperti lipstik, parfum, dan produk perawatan diri lainnya tetap memiliki pasar yang kuat.
Hal ini tidak hanya terbatas pada produk kecantikan. Dalam banyak kasus, barang-barang mewah terjangkau lainnya seperti gadget teknologi, pakaian fesyen, atau produk hobi juga menunjukkan pola konsumsi yang serupa.Â
Orang-orang tetap ingin merasakan kesenangan kecil di tengah ketidakpastian ekonomi, sehingga mereka mengalokasikan sebagian penghasilan atau tabungan mereka untuk hal-hal yang dianggap mampu memberikan kebahagiaan sesaat.
Apakah Lipstick Index Masih Relevan di Era Digital?
Di era modern ini, dengan munculnya e-commerce dan pergeseran preferensi konsumen ke arah produk digital, Lipstick Index mungkin perlu diadaptasi ke dalam konteks yang lebih luas.Â
Saat ini, bukan hanya produk kecantikan fisik yang dapat dianggap sebagai kemewahan terjangkau, tetapi juga produk digital seperti langganan streaming, aplikasi berbayar, atau bahkan pembelian item dalam permainan online.
Contohnya, selama masa pandemi COVID-19, meskipun banyak sektor ekonomi terpukul, penjualan produk digital, gim, serta langganan platform streaming seperti Netflix dan Spotify justru melonjak.Â
Orang-orang mencari hiburan dan pelarian dari situasi yang sulit melalui pengalaman yang bisa diakses dari rumah, tanpa harus mengeluarkan biaya besar.Â
Ini menunjukkan bahwa kebutuhan manusia untuk merasakan kepuasan dan penghiburan di tengah krisis ekonomi masih tetap ada, meskipun bentuknya kini lebih beragam.
Fenomena Kesenjangan Daya Beli: Mengapa Barang Mewah Tetap Laris?
Untuk memahami fenomena Lipstick Index lebih dalam, kita juga perlu melihat dinamika daya beli di masyarakat. Pada dasarnya, tidak semua lapisan masyarakat mengalami tekanan ekonomi yang sama.Â
Saat ekonomi sedang lesu, kelas menengah ke bawah mungkin merasakan dampak yang lebih berat, seperti berkurangnya pendapatan, pengangguran, atau terpaksa menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.