Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengapa Hidup Terasa Monoton di Usia Paruh Baya? Ini Penjelasannya

25 Agustus 2024   06:00 Diperbarui: 25 Agustus 2024   12:38 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebahagiaan adalah salah satu tujuan hidup yang paling dikejar manusia. Namun, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang statis, ia berfluktuasi seiring perjalanan hidup. 

Sebuah model psikologis yang dikenal sebagai U-shape of happiness mengungkapkan bahwa kebahagiaan cenderung lebih tinggi saat seseorang masih anak-anak dan remaja, kemudian mengalami penurunan seiring bertambahnya usia, mencapai titik terendah pada paruh baya, sebelum akhirnya meningkat kembali ketika seseorang menua. 

Model ini menggambarkan sebuah pola yang menarik dan banyak dialami oleh orang-orang di seluruh dunia. 

Tetapi mengapa kebahagiaan cenderung menurun di paruh baya, dan apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi perasaan stagnasi yang sering muncul pada fase kehidupan ini?

Mengapa Kebahagiaan Menurun di Paruh Baya?

Paruh baya, biasanya berada di rentang usia 40 hingga 60 tahun, seringkali merupakan masa di mana seseorang mulai merasa hidupnya stagnan. 

Ini adalah periode di mana banyak orang mencapai puncak karir mereka, memiliki stabilitas finansial, dan biasanya menetap dalam rutinitas harian yang mapan. 

Di permukaan, ini tampak seperti pencapaian yang luar biasa, tetapi bagi banyak orang, perasaan pencapaian ini tidak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan.

Meskipun seseorang mungkin memiliki karir yang sukses dan kehidupan yang stabil, tinggal terlalu lama di zona nyaman bisa membuat seseorang merasa terjebak. 

Pekerjaan yang dulu memacu adrenalin kini terasa seperti rutinitas yang membosankan. 

Keluarga yang dulunya menjadi sumber kebahagiaan kini menjadi tanggung jawab yang penuh dengan tekanan. 

Bahkan, lingkungan yang pernah dianggap sebagai tempat tinggal ideal mulai terasa mengekang.

Fenomena ini sering disebut sebagai mid-life crisis atau krisis paruh baya, sebuah istilah yang menggambarkan perasaan terjebak, kebingungan, dan bahkan depresi yang dialami banyak orang di usia paruh baya. 

Krisis ini bukan hanya tentang keinginan untuk mengejar hal-hal yang telah hilang atau belum dicapai, tetapi juga tentang perasaan kehilangan arah dan makna dalam hidup. 

Tidak sedikit orang yang merasa bahwa hidup mereka menjadi gitu-gitu aja atau stagnan, tanpa banyak perubahan atau tantangan baru.

Adaptasi Psikologis dan Kebosanan Hidup

Untuk memahami mengapa kebosanan ini muncul, kita perlu melihat bagaimana otak manusia berfungsi. Otak kita dirancang untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. 

Adaptasi ini adalah mekanisme bertahan hidup yang penting. Sebagai contoh, bayangkan Anda masuk ke dalam ruangan yang penuh asap rokok. 

Pada awalnya, bau itu sangat menyengat dan mengganggu, tetapi setelah beberapa waktu, Anda mungkin tidak lagi bisa mencium baunya. 

Ini adalah bentuk adaptasi sensoris, di mana otak kita berusaha untuk memfilter gangguan yang sudah dikenal agar bisa fokus pada hal-hal baru yang mungkin lebih berbahaya atau menarik.

Adaptasi ini tidak hanya berlaku untuk bau atau suhu, tetapi juga pada aspek-aspek kompleks dalam hidup dan lingkungan kita. 

Ketika kita terlalu lama terjebak dalam rutinitas yang sama, otak kita mulai "mematikan" respons emosional terhadap hal-hal yang dulu membuat kita bersemangat. 

Inilah sebabnya mengapa seseorang yang telah bekerja di tempat yang sama selama bertahun-tahun mungkin merasa pekerjaan tersebut tidak lagi memberi tantangan atau kepuasan seperti dulu. 

Begitu pula dengan hubungan sosial, interaksi dengan teman dan keluarga yang sama secara terus-menerus bisa membuat kita merasa jenuh.

Fenomena ini juga dikenal sebagai hedonic adaptation atau adaptasi hedonis, di mana manusia cenderung kembali ke tingkat kebahagiaan dasar mereka setelah mengalami peristiwa positif atau negatif. 

Artinya, bahkan setelah mencapai sesuatu yang sangat kita inginkan, seperti promosi besar atau membeli rumah impian, kebahagiaan yang dirasakan seringkali bersifat sementara. 

Seiring waktu, kita akan kembali merasa "biasa saja" karena otak kita telah terbiasa dengan keadaan baru tersebut.

Paradoks Kebahagiaan: Ketika Keinginan Selalu Terpenuhi

Ironisnya, kita sering berpikir bahwa kebahagiaan adalah hidup di mana segala sesuatu yang kita inginkan selalu ada. 

Namun, penelitian menunjukkan bahwa jika kebahagiaan itu selalu hadir tanpa tantangan atau variasi, lama-kelamaan hal tersebut akan kehilangan daya tariknya. 

Ketika kita selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, kita mulai kehilangan apresiasi terhadap hal-hal tersebut.

Sebuah studi menarik yang dilakukan di sebuah resor liburan menunjukkan bahwa puncak kebahagiaan para pengunjung terjadi setelah 43 jam mereka berada di sana. 

Pada titik ini, mereka telah menyelesaikan urusan membongkar barang bawaan dan mulai benar-benar menikmati suasana liburan. 

Namun, setelah itu, tingkat kebahagiaan mereka mulai menurun perlahan. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun liburan atau hal-hal yang kita anggap akan membuat kita bahagia, jika tidak ada variasi atau tantangan baru, kebahagiaan itu cenderung memudar.

Hal ini bisa diterjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita selalu berada di zona nyaman, tanpa tantangan baru atau perubahan, kita akan mulai kehilangan semangat dan tujuan hidup. 

Kehidupan yang monoton dan tanpa variasi, meskipun aman dan stabil, bisa menjadi salah satu penyebab utama turunnya kebahagiaan di usia paruh baya.

Menemukan Keseimbangan: Explorer atau Exploiter?

Untuk mengatasi kebosanan hidup, kita perlu menemukan keseimbangan antara dua pendekatan hidup yang berbeda: menjadi seorang explorer atau seorang exploiter. Explorer adalah orang yang gemar mencoba hal baru. 

Mereka suka menjelajahi tempat baru, mencoba makanan baru, atau terlibat dalam proyek baru. Sebaliknya, exploiter adalah orang yang lebih suka mengeksploitasi hal-hal yang sudah dikenal. 

Mereka mungkin memiliki restoran favorit yang selalu mereka kunjungi atau tempat liburan yang mereka datangi setiap tahun.

Kedua pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Menjadi seorang explorer memberi kita kesempatan untuk selalu menemukan hal-hal baru dan memperkaya pengalaman hidup kita. 

Namun, terlalu banyak mengeksplorasi tanpa mengeksploitasi hal-hal yang sudah baik bisa membuat hidup terasa tidak stabil dan membingungkan. 

Di sisi lain, menjadi seorang exploiter memberikan stabilitas dan kenyamanan, tetapi bisa membuat hidup terasa monoton jika kita tidak pernah mencoba hal baru.

Kunci kebahagiaan adalah menemukan keseimbangan antara kedua pendekatan ini. 

Kita perlu belajar untuk menambahkan variasi dalam hidup tanpa harus mengorbankan stabilitas yang kita miliki. 

Menambahkan variasi tidak berarti harus melakukan perubahan besar, tetapi bisa dimulai dengan hal-hal kecil, seperti mencoba rute baru ke tempat kerja, mengikuti kelas atau kursus baru, atau bahkan sekadar berbicara dengan orang yang berbeda di tempat kerja atau komunitas.

Strategi Mengatasi Kebosanan Hidup: Break and Diversify

Jika kita merasa hidup mulai terasa monoton, ada dua strategi yang bisa diterapkan: break dan diversify. Break atau jeda berarti mengambil waktu sejenak dari rutinitas yang biasa kita jalani. 

Jeda ini bisa berupa liburan singkat, cuti dari pekerjaan, atau bahkan sekadar mengambil waktu untuk diri sendiri di rumah. 

Tujuannya adalah untuk memberi otak kita waktu untuk "reset" dan mengembalikan sensitivitas kita terhadap hal-hal yang kita anggap biasa.

Jeda ini juga bisa dilakukan secara mental. Kita bisa mencoba membayangkan bagaimana hidup kita tanpa hal-hal yang kita anggap biasa. 

Misalnya, bayangkan jika Anda tidak lagi memiliki rumah, keluarga, atau pekerjaan. Dengan membayangkan kehilangan ini, kita bisa meningkatkan rasa syukur dan apresiasi terhadap apa yang kita miliki saat ini. 

Ketika kita kembali ke rutinitas setelah jeda, kita mungkin akan melihat hidup dengan perspektif yang baru dan lebih menghargai hal-hal kecil yang sebelumnya kita anggap remeh.

Selain itu, diversify atau menambahkan variasi dalam hidup kita adalah cara lain untuk mengatasi kebosanan. 

Variasi ini tidak harus berarti perubahan besar. Hal-hal kecil seperti mencoba aktivitas baru, belajar keterampilan baru, atau bahkan sekadar mengubah urutan rutinitas harian bisa memberi dampak yang signifikan.

Variasi ini membantu kita untuk tetap merasa segar dan termotivasi, serta menghindari perasaan stagnan.

Kesimpulan: Merangkul Perubahan untuk Kebahagiaan yang Lebih Besar

Memahami dinamika kebahagiaan di berbagai fase kehidupan dapat membantu kita mengatasi kebosanan yang mungkin muncul, terutama di usia paruh baya. 

Kita perlu menerima bahwa kebosanan dan perasaan stagnasi adalah bagian dari hidup, tetapi dengan mengambil langkah-langkah untuk menambahkan variasi dan mengambil jeda dari rutinitas, kita bisa meningkatkan kebahagiaan kita.

Tidak ada salahnya untuk sesekali keluar dari rutinitas dan mencoba hal-hal baru. Perubahan, meskipun pada awalnya tidak nyaman, adalah salah satu kunci untuk mencapai kebahagiaan jangka panjang. 

Dengan menyeimbangkan antara eksplorasi dan eksploitasi, kita bisa menikmati hidup dengan lebih bermakna dan memuaskan. 

Pada akhirnya, kebahagiaan bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang perjalanan yang kita lalui dan bagaimana kita merespons perubahan sepanjang perjalanan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun