Misalnya, kita sering melihat orang-orang membeli barang-barang mewah, seperti ponsel terbaru, pakaian bermerk, atau kendaraan pribadi, bukan karena kebutuhan, tetapi karena dorongan untuk terlihat 'lebih' di mata orang lain.
Fenomena ini diperparah dengan mudahnya akses terhadap kredit dan pinjaman.Â
Pinjaman online, atau pinjol, semakin marak di Indonesia. Banyak orang yang meminjam uang bukan untuk kebutuhan mendesak, tetapi untuk memenuhi gaya hidup yang sesungguhnya tidak mereka butuhkan.Â
Mereka tergoda oleh tawaran kredit instan dengan bunga rendah, tanpa mempertimbangkan kemampuan untuk melunasinya.Â
Ketika utang tersebut tidak dapat dibayar tepat waktu, bunga yang tinggi dan denda keterlambatan memperparah kondisi ekonomi mereka. Akibatnya, mereka terjebak dalam lingkaran setan utang yang semakin sulit untuk diatasi.
Selain itu, banyak orang Indonesia yang masih belum memiliki kesadaran untuk menabung dan berinvestasi.Â
Ketika sebagian besar pendapatan dihabiskan untuk konsumsi dan pembayaran utang, hanya sedikit yang tersisa untuk ditabung atau diinvestasikan.Â
Akibatnya, banyak dari kita yang tidak memiliki dana cadangan untuk keadaan darurat, sehingga menjadi sangat rentan terhadap kemiskinan ketika menghadapi situasi tak terduga, seperti kehilangan pekerjaan atau biaya kesehatan yang mendadak.
Paradigma Uang: Barang atau Kebebasan?
Di tengah situasi ini, penting bagi kita untuk memahami bahwa uang sebenarnya hanya bisa membeli dua hal: materi atau kebebasan. Ketika kita memiliki banyak uang, kita bisa membeli keduanya.Â
Namun, ketika uang kita hanya pas-pasan, kita harus memilih, apakah akan membeli barang atau kebebasan. Sayangnya, kebanyakan dari kita lebih memilih untuk membeli barang daripada kebebasan.Â
Hal ini disebabkan oleh pola pikir yang sudah lama tertanam di masyarakat kita, bahwa membeli barang adalah jalan menuju kehidupan yang bahagia dan melimpah.Â