Undang-undang ini memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi pemberi kerja dalam membuat kontrak kerja dan melaksanakan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam konteks Undang-Undang Ciptaker, pemberi kerja memiliki wewenang yang lebih besar untuk membuat kontrak kerja tanpa batas waktu dan melakukan PHK dengan prosedur yang lebih sederhana.Â
Hal ini dapat meningkatkan ketidakpastian bagi pekerja, karena mereka merasa lebih rentan terhadap kemungkinan kehilangan pekerjaan.Â
Pekerja kelas menengah sering kali lebih terdampak oleh perubahan ini dibandingkan dengan pekerja kelas bawah, karena mereka biasanya memiliki posisi yang lebih stabil tetapi juga lebih rentan terhadap perubahan kebijakan.
Pekerja kelas menengah yang terkena PHK mungkin menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan baru yang sesuai dengan keterampilan dan pengalaman mereka.Â
Selain itu, mereka juga mungkin mengalami stres tambahan akibat ketidakpastian finansial dan dampak psikologis dari kehilangan pekerjaan.Â
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa tenaga kerja yang terkena PHK sering kali mengalami kesulitan dalam mendapatkan bantuan sosial yang memadai untuk mendukung masa transisi mereka.
Kesulitan dalam Mengakses Bantuan Sosial
Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh pekerja kelas menengah yang terkena PHK adalah kesulitan dalam mengakses bantuan sosial.Â
Meskipun terdapat berbagai program bantuan sosial yang dirancang untuk membantu pekerja yang kehilangan pekerjaan, banyak dari program ini seringkali tidak mencakup semua kebutuhan pekerja kelas menengah secara efektif.
Pekerja kelas menengah, yang sering kali tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan sosial yang tersedia, mungkin merasa terabaikan oleh sistem dukungan sosial.Â
Selain itu, mereka mungkin tidak memiliki tabungan atau jaring pengaman finansial yang cukup untuk mengatasi periode tanpa pekerjaan.Â