Mohon tunggu...
Misbah Fahrudin
Misbah Fahrudin Mohon Tunggu... Administrasi - Misbah

Perikanan dan Kelautan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Awan Tak Pernah Bicara

8 Mei 2016   19:27 Diperbarui: 9 Mei 2016   17:04 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: deviantart.net | Zelda Lover

Matahari telah berpamit, namun mega belumlah hadir. Hanya nampak bergumpal awan hitam sejauh pandangan. Awan itu mengiringi kami sampai di sebuah air terjun. Banyak sekali bebatuan besar di sana. Airnya terpancar-pancar ketika jatuh ke bebatuan. Para burung berdiri di atasnya, sambil bermandikan cipratan-cipratan segar. Mereka lupa diri saking riangnya.

Awan hitam seolah-olah terlihat masam

Mungkin awan hitam itu marah, mungkin juga iri, mungkin juga kemungkinan yang tidak aku ketahui. Aku hanya melihatnya dari jarum-jarum panjang dan besar, dari cambuk yang menyala, dari ronanya yang hitam. Aku kembali menghadang jarum-jarum itu, tak kubiarkan lagi jarum-jarumnya menembus kanvas putih. Sayang sekali, aku takkan gentar dengan cambuk yang hanya menyamping, walaupun dapat memecah bebatuan di sekeliling. Kali ini kau kalah lagi, kali ini kau pergi seperti kemarin.

“Mengapa harus berprasangka buruk padanya?” Awan putih yang mulai datang perlahan itu seolah-olah bertanya padaku.

“Mengapa harus berprasangka baik?” balasku.

Lalu seolah awan itu kembali berkata, “Esok pagi, berbarislah dengan fajar, lalu jangan kau buat prasangka dulu tentang awan hitam.” Aku hanya diam. Ia lalu pergi ke punggung langit, berganti dengan bulan dan bintang-bintang.

Mata ini tak henti terjaga, karena perkataan awan yang tak kunjung enyah dari kepala. Sampai pada pukul satu siang, tangan, kaki, dan jeroan mulai mengucap sampai jumpa.

“Selamat subuh,” tangan, kaki, dan jeroan menyapa mata.

Selagi sayu-sayu, kudengar ayam berkokok dengan keras, kran pun cerewet menjatuhkan air. Kuteguk segelas air putih di samping tempat tidur, seketika ia menjalar ke seluruh tubuh, mengencangkan tiap-tiap tali dan kawat. Kujawab kokok ayam dan seru kran dengan senyuman, mereka pun membalas riang.

“Aku senang sekali kamu meyambut kokok pertamaku,” kulihat ayam itu seolah-olah berkata.

“Aku pun senang sekali kamu menyambut tetes pertamaku,” lalu kulihat kran pun seolah-olah bicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun