Mohon tunggu...
Misbah Fahrudin
Misbah Fahrudin Mohon Tunggu... Administrasi - Misbah

Perikanan dan Kelautan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Awan Tak Pernah Bicara

8 Mei 2016   19:27 Diperbarui: 9 Mei 2016   17:04 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: deviantart.net | Zelda Lover

“Mari berbaris dengan fajar, burung, dan lainnya,” jawab dan ajakanku sambil tersenyum.

Kali ini tak kulihat satu pun menangis karena terlambat berbaris

Kuseduh kopi hitam dan kunyalakan cerutu. Aku dan fajar saling senyum menyapa. Pagi ini aku dan teman-teman satu pos akan mengadakan penyuluhan tentang kesehatan kepada warga di RT 01, 04, 05, 06, dan 07. Kami berdo’a bersama sebelum memulai kegiatan.

Sekali kulihat mereka serius, sekali lagi kulihat mereka tersenyum, sekali lagi kulihat mereka terbahak-bahak mendengar penyuluhan dari temanku, karena penyampaiannya yang menarik. Tak terasa, tepuk tangan dan ucapan terima kasih pun menjadi penutup manis sejenak penyuluhan kami di RT 01, begitu pula dengan RT lainnya. Syukurlah, acara berjalan lancar dan dapat diterima dengan baik.

Tali dan kawat kembali mengendur pada jam empat sore. Kunyalakan cerutu, asapnya lagi-lagi menjalar ke seluruh tubuh, membuka pintu air di muara sungai merah, seketika tali-tali pun mengencang lagi. Dalam dudukku, kulihat pasukan burung kembali menyapa, mengajak cengkerama, dan sejenak jalan-jalan.

Matahari telah berpamit, namun mega belumlah hadir. Hari ini pun nampak bergumpal awan hitam sejauh pandangan. Awan itu mengiringi lagi sampai di air terjun kemarin. Yang banyak sekali bebatuan besar di sana, dan yang airnya terpancar-pancar ketika jatuh ke bebatuan. Para burung lupa diri lagi, kali ini menganggap dirinya bidadari berselendang sutera, yang sedang turun dari kahyangan, yang berharap ada jejaka pemberani mencuri selendangnya. Senang sekali aku melihatnya.

Awan hitam mulai berteriak

Jarum-jarum begitu derasnya turun. Air terjun berubah cokelat dan mengalir deras sekali. Kulihat kedelapan burung itu tergesa-gesa mengambil selendangnya, lalu menyelempangkannya ke leher. Mereka tergesa-gesa beranjak ke tengah batu besar itu. Mereka terasing di batu besar di sungai itu. Aku sangat geram dengan awan hitam yang telah mengganggu mereka. Aku beranjak dari dudukku, hendak menghadang jarum-jarum awan hitam agar tak mengganggu mereka. Aku sangat geram, lalu seolah kulihat awan putih mengintip di sela-sela awan hitam. Matanya menatap tajam ke arahku dan seolah berkata, “Kau tak pernah mengingat hari kemarin!” Aku hanya berdiri tertegun, rasa takut dan segan mengurungkan niatku menghadang jarum-jarum itu.

Aku hanya berdiri sambil menundukkan kepala, tak tahu harus berbuat apa. Hanya berdiri sampai awan hitam pergi, karena awan putih datang lebih cepat, lalu menatapku tajam-tajam. Awan putih kembali seolah berkata, “Mengapa kau tundukkan kepalamu? Aku bukan siapa-siapa yang harus kau segani, apalagi kau takuti, aku hanyalah awan yang harus kau pandang dari dua matamu!” Aku menatapnya dengan sayu. Lalu awan putih seolah berkata lagi, “Lihatlah sekelilingmu dengan dua matamu!” Aku hanya menurutinya, lalu kulihat sekelilingku.

Awan hitam tengah pergi sambil menjulurkan tujuh ranting bercahaya satu per satu

Kulihat para bidadari itu masing-masing mengibaskan selendang yang tadi diselempangkan di lehernya. Bidadari dengan selendang merah, pertama mengibaskan selendangnya. Selendang itu memanjang dan mengait ke ranting pertama. Lalu, bidadari dengan selendang jingga mengibaskan selendangnya, selendang itu pun memanjang dan mengait ke ranting kedua. Disusul oleh bidadari selendang kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Sambil menangis, mereka berusaha menahan awan hitam itu membawa mereka pergi. Kulihat bidadari dengan selendang biru langit pun menangis sambil mengibas-kibaskan selendangnya yang tak kunjung mengait. Ia terus mengibas-kibaskannya sambil melompat-lompat sekuat tenaga, lalu terjatuh. Ia menangis sangat kencang, mengagetkan angin yang mengempaskan daun-daun kering. Aku hanya berdiri tertegun, tak tahu harus berbuat apa. Akupun lalu ikut menangis melihatnya seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun