Mohon tunggu...
Misbah Fahrudin
Misbah Fahrudin Mohon Tunggu... Administrasi - Misbah

Perikanan dan Kelautan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terima Kasihku untuk Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

3 Mei 2016   11:18 Diperbarui: 3 Mei 2016   11:29 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tak pernah terpikirkan olehku sedikit dilirik oleh teman-teman, mendapat eluan, motivasi, dan pujian yang membangun. Aku bangun, shalat, mandi lalu berangkat sekolah. Aku duduk, bengong, kosong, istirahat, masuk lagi, istirahat, masuk lagi, lalu pulang. Aktivitasku yang kulakukan selama sebelas tahun. Jangankan untuk sekadar membaca sebuah novel, antologi cerpen ataupun antologi puisi, membaca selembar paper pelajaran pun sangat berat rasanya. Sekalipun orang tuaku menyuruh membaca buku-buku pelajaran dengan nada menjurus ketus. Hmmm... aku langsung bangun, ku baca sebuah buku, aku baca sambil tiduran sampai tertidur. Aku tahu reaksi orang tuaku sebenarnya, walaupun aku tak melihat mimik mukanya, tak mendengar bentaknya, tak merasakan tangisan dalam hatinya. Tidaklah aku menghiraukan sesuatu yang aku sendiri tahu artinya. Ku coba merubah diri, mencoba berubah aktif dalam kepasifanku yang maksimal. Setelah aku bangun, aku coba untuk mendekati orang tuaku, sedikit menstimulus mereka untuk selalu memaafkanku. Aku coba dengan membantu mencuci pakaian dan motor. Tak keluar sedikitpun kata dari mulut mereka, nampak sangat kesal. Seperti hal biasa yang terjadi padaku saat mereka kesal. Aku raih handuk, bergegas mandi, lalu shalat, sarapan, dan berangkat sekolah. Ku nyalakan motor setelahnya, ku tunggu sebentar sampai mesinnya panas lalu berangkat.

Hari itu hari jum’at, ingat sekali aku. Pemandangan monoton pesawahan kering tanpa padi tersaji dalam setiap perjalanan kosongku. Hari itu hampir sama dengan hari jum’at lainnya, atau hari-hari lain lainnya. Aku yang kosong, hatiku yang kosong, fikirku yang kosong, aku kosong. Beranjak setelah 5 km mengendarai motor, pemandangan kota tersaji, penuh dengan angkutan umum, dari roda dua sampai roda enam. Polusi dimana-mana, maka polisi pun dimana-mana. Parkiran di kanan jalan, pasar kaget di seberang jalan, orang-orang di sembarang jalan. Bunyi peluit sana-sini berdenging, aku tetap kosong, tiba-tiba sampai di depan gerbang masuk SMA. Dering bel pelajaran pertama terdengar. Ah untung, ruang parkir cukup lengang, memudahkanku memarkir motor.

Ah iya, aku teringat hari ini adalah hari pengumuman puisi yang masuk salah satu majalah pendidikan (tidak disebutkan). Majalah tersebut berisi tentang informasi pendidikan dan karya-karya pelajar, baik itu cerpen, artikel, maupun puisi. Majalah yang baru kudengar namanya karena ketidaktahuanku akan dunia perpustakaan.

Aku tersenyum kecil, teringatkan dulu aku pernah berharap puisiku dimuat. Hahaha... lucu memang. “Mana mungkin aku menang,” pikirku cukup optimis.

Suasana kelas yang ramai, guruku belum masuk. Anak-anak dengan senyumnya yang aku lihat, seperti tanpa beban. Eh, mungkin lebih tepatnya, tanpa kekosongan.

Kuayun-ayunkan kursi kebelakang dengan tolakan kaki ke depan meja. Haha, seperti duduk dikursi goyang rumah sendiri. Seperti biasa, sekadar mencoba menikmati hidup sambil menutupi kekosongan.

“Wah, sepertinya kamu menang, A, hehehe.” Oh, Sil rupanya. Ah, ia sangat terlihat ceria seperti biasa dengan senyum kekanak-kanakkannya.

Aku tersenyum lalu kami terbahak-bahak.

Wan menepuk pundakku, membuatku hampir jatuh dari kursi. Sepertinya pertanda guruku telah masuk. Pembicaraan kami terputus. Aku membenarkan posisi duduk.

“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Salam pembuka guruku, mungkin sekaligus do’a untuk siswanya.

“Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” Beberapa anak kompak menjawab.

Aku tak tahu lagi apa yang guruku katakan selanjutnya, fokusku tertuju pada cengkerama dengan Wan, teman sebangkuku. Tak lama aku dan Wan bercakap, teman-teman meneriakki namaku. “Ah, sial, kaget sekali.”

Fokusku kini ke arah guruku.

“De di depan?” ah, ada apa ini, tak biasanya aku dipanggil juga ke depan kelas, menghadap guruku.

“Apa aku punya masalah?”

“Ah apakah hari ini ada tugas? Ah sial jika ada, aku tak mengerjakan.” Fikirku.

Kulihat ke arah De, dia pun terlihat bingung.

“Kalian punya salah apa ke ibu?” Guruku membuka tanya.

“Ah, benar dugaanku, pasti ada tugas yang belum aku dan De kerjakan atau kumpulkan.” Terkaku dalam hati. Aku bingung, mati kata menjawab pertanyaan guruku.

De menjawab, sontak aku pun menjawab, dengan jawaban yang sama dengan De, “Belum mengumpulkan tugas?” jawabku dengan De, menjawab sambil kebingungan.

Apakah memang itu?

Tidak!

Ah, memang tidak. Hah? Lalu?

Guruku tersenyum.

“Selamat! Puisi kalian lolos dan akan dimuat di majalah.”

Ah, aku sedang terfikirkan. Aku tidak fokus terhadap perkataan guruku, samar-samar aku dengar, namun masih jelas isinya, maka aku ragu.

Tiba-tiba gemuruh seluruh kelas membludak bercampur tepuk tangan dan siulan tanda gembira, aku bingung.

Guruku menjabat tangan kami. Ah, tak sepantasnya aku ragu lagi. Ucapan selamat tadi, eluan, siulan, dan tepukan tangan yang membising di seluruh kelas tak mungkin salah alamat. Aku tersenyum senang, tak menyangka.

“Puisiku dimuat di majalah!”

Sebuah kejadian mengesankan yang tak terlupakan, sampai sekarang, sampai aku duduk dibangku kuliah semester tujuh tingkat empat Fakultas Perikanan dan Kelautan. Pertama kalinya dalam sejarah, mendapatkan penghargaan karena puisiku dimuat dalam salah satu majalah pendidikan.

Puisi, tak pernah terpikirkan karya yang kubuat dengan sepercik harapan untuk pertama kalinya dimuat. Mengapa tidak, mungkin aku punya bakat di bidang itu, atau hanya saja aku sedang beruntung. Ah, mungkin yang kedua yang lebih berpotensi benar. Aku yang kuingat selama ini tak pernah membaca dan memahami, sekalipun itu buku pelajaran. Aku yang tak pernah menulis karya syair sekelas puisi kecuali hanya untuk memenuhi tugas mata pelajaran. Aku yang selalu menciut kala hambatan atau ejekkan datang, tiba-tiba menjadi yang terbaik saat itu. Aku terharu ketika foto bersama kepala sekolah, guru, dan pelajar yang juga mendapat kesempatan sepertiku. Lalu semakin terharu ketika foto itu dimuat dalam kalender sekolah. Kebahagiaanku tak terkira, bahkan setelah beberapa bulan ke depan puisiku telah menjadi stok resmi perpustakaan. Aku lihat dan pantau dengan jeli, memang benar, puisi dengan nama pencipta aku sendiri termuat.

Semuanya berawal ketika tahun ajaran baru dimulai. Semester tiga kelas dua SMA, pahlawan itu datang, berkenalan dengan aku dan murid lainnya. Sang guru, Bu Enung namanya. Guru bahasa indonesia yang profesional dan berperan aktif dalam mencerdaskan para siswanya. Tak pernah lepas senyumnya tanda ramah. Entah kenapa, rasanya aku menemukan pelajaran yang membuatku menyukainya. Bukan aku mudah mengerti, bukan aku banyak menghafal, bukan aku banyak membaca karenanya, tapi karena aku memutar otak pada setiap kata-katanya. Aku dibuat bingung, pusing, dan sibuk karenanya. Sampai pada minggu ketiga di semester itu, ada pengumuman bahwa para murid diharap membuat sebuah puisi diafhar untuk memenuhi tugas. Sama seperti yang lain, aku kebingungan. Tak seperti yang lain, nyaliku menciut, hampir berniat tak mengumpulkan. Sepele, just because fear. Namun, entah kenapa kuurungkan niatku.

 Aku mencoba menulis, memikirkan apa yang harusnya kutulis, mengganti setiap kata, baris, dan bait yang kurang sempurna. Penuh coretan catatan puisiku. Aku mulai putus asa. Lagi-lagi kuurungkan niatku untuk gagal. Aku coba lagi berfikir, merasakan, menuliskan apa yang aku fikir dan rasakan. Kucoba tuliskan apapun yang tersirat di otakku. Waktuku satu setengah jam. Aku lupa bagaimana atau dari mana aku temukan ide puisi bermaknakan bendera kuning. Seperti tiba-tiba puisiku telah jadi. Puisi pertamaku yang aku kerjakan sesempurna mungkin, sebisaku dalam waktu sesingkat itu. Hahaha... tiba-tiba saat itu juga untuk kali pertama aku termotivasi tak mau sia-sia, putus di tengah jalan. walaupun aku telah lupa akan jumlah baris, kata, maupun baitnya namun masih kuingat jelas judul dan maknanya. Bendera kuning, melambangkan duka cita mendalam sebuah keluarga yang tengah menangisi kepergian orang tersayang di rumah putih yang penuh sesak oleh kerumunan orang, air mata, dan gema getir. Kulihat lagi puisiku. Kupahami setiap katanya. Nampaknya tak ada lagi yang harus aku sempurnakan maknanya. Aku kumpulkan dengan pengharapan maksimal untuk lolos, menjadi unggul dari ratusan pengumpul lainnya.

Itu hanya sepenggal motivasi yang aku ingat. Itu motivasi yang membuatku mampu membuat karya, membuatku mempunyai keingingan yang harus tercapai dengan ikhtiar dan ikhlas.

Terima kasihku untuk orang-orang yang telah membangun motivasi dalam diriku, para pahlawan tanpa tanda jasa. Orang tuaku pahlawanku, yang membuatku mampu mengerti betapa indahnya keterbukaan hati dan fikiran, keluarga besarku pahlawanku yang telah membuatku nyaman dalam lingkungan keluarga harmonis, dan tentunya guruku pahlawanku yang telah menuntunku melangkah dari jalan kosong.

Ketahuilah, aku hendak melupakan motivasi yang kalian bangun beberapa hari setelah hari itu, sampai semester tujuh di perkuliahan. Namun, saat aku teringat lagi masa itu, teringat motivasimu membuatku menangis, sampai saat ini di semester tujuh perkuliahan, aku mencoba lagi membuka lembaran yang telah kalian tulis dalam diriku, aku coba tuliskan lagi di bagian diriku yang tertutup oleh milyaran debu. Aku ingin membuka lembaran itu, aku ingin sepertimu yang selalu mencari-cari, mengeksplor, dan memotivasi, hingga kalian dapat temukan teratai diantara hamparan lumpur.

Kalianlah penerangku, pelita dikegelapan, menerangi jalanku, malaikat yang menuntunku keluar dari jalan kosong. Sampai aku berpindah jalan. Disini lebih terang. Sekarang dapat kulihat jalanku, begitu mulusnya. Ada beberapa lubang, kutemukan juga jalan yang penuh lubang, bahkan kutemukan juga lubang-lubang dan kubangan berbentuk jalan, lalu kutemukan lagi jalan yang halus, dihiasi hamparan pesawahan hijau yang dapat kupandangi. Banyak burung-burung terbang bebas bergerombol, ada matahari sejuk disini, ada kerikil yang dapat kulihat, ada duri didepan, ada jurang dibelakang, ada ular-ular berbisa di samping-sampingku. Pahlawan tanpa tanda jasaku, disini sangat jelas. Teramat jelas. Aku dapat melihat semuanya, aku dapat menghindari jurang dibelakangku, menghindari ular-ular berbisa di kedua sampingku, atau menghindar-singkirkan duri dan kerikil tajam didepanku. Aku dapat melangkah tanpa harus tertusuk, terjerumus, terbuai, atau terhenti karena semak belukar kehidupan.

Terima Kasihku untuk kalian yang sebesar-besarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun