Mohon tunggu...
Misbah Fahrudin
Misbah Fahrudin Mohon Tunggu... Administrasi - Misbah

Perikanan dan Kelautan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terima Kasihku untuk Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

3 Mei 2016   11:18 Diperbarui: 3 Mei 2016   11:29 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ah, memang tidak. Hah? Lalu?

Guruku tersenyum.

“Selamat! Puisi kalian lolos dan akan dimuat di majalah.”

Ah, aku sedang terfikirkan. Aku tidak fokus terhadap perkataan guruku, samar-samar aku dengar, namun masih jelas isinya, maka aku ragu.

Tiba-tiba gemuruh seluruh kelas membludak bercampur tepuk tangan dan siulan tanda gembira, aku bingung.

Guruku menjabat tangan kami. Ah, tak sepantasnya aku ragu lagi. Ucapan selamat tadi, eluan, siulan, dan tepukan tangan yang membising di seluruh kelas tak mungkin salah alamat. Aku tersenyum senang, tak menyangka.

“Puisiku dimuat di majalah!”

Sebuah kejadian mengesankan yang tak terlupakan, sampai sekarang, sampai aku duduk dibangku kuliah semester tujuh tingkat empat Fakultas Perikanan dan Kelautan. Pertama kalinya dalam sejarah, mendapatkan penghargaan karena puisiku dimuat dalam salah satu majalah pendidikan.

Puisi, tak pernah terpikirkan karya yang kubuat dengan sepercik harapan untuk pertama kalinya dimuat. Mengapa tidak, mungkin aku punya bakat di bidang itu, atau hanya saja aku sedang beruntung. Ah, mungkin yang kedua yang lebih berpotensi benar. Aku yang kuingat selama ini tak pernah membaca dan memahami, sekalipun itu buku pelajaran. Aku yang tak pernah menulis karya syair sekelas puisi kecuali hanya untuk memenuhi tugas mata pelajaran. Aku yang selalu menciut kala hambatan atau ejekkan datang, tiba-tiba menjadi yang terbaik saat itu. Aku terharu ketika foto bersama kepala sekolah, guru, dan pelajar yang juga mendapat kesempatan sepertiku. Lalu semakin terharu ketika foto itu dimuat dalam kalender sekolah. Kebahagiaanku tak terkira, bahkan setelah beberapa bulan ke depan puisiku telah menjadi stok resmi perpustakaan. Aku lihat dan pantau dengan jeli, memang benar, puisi dengan nama pencipta aku sendiri termuat.

Semuanya berawal ketika tahun ajaran baru dimulai. Semester tiga kelas dua SMA, pahlawan itu datang, berkenalan dengan aku dan murid lainnya. Sang guru, Bu Enung namanya. Guru bahasa indonesia yang profesional dan berperan aktif dalam mencerdaskan para siswanya. Tak pernah lepas senyumnya tanda ramah. Entah kenapa, rasanya aku menemukan pelajaran yang membuatku menyukainya. Bukan aku mudah mengerti, bukan aku banyak menghafal, bukan aku banyak membaca karenanya, tapi karena aku memutar otak pada setiap kata-katanya. Aku dibuat bingung, pusing, dan sibuk karenanya. Sampai pada minggu ketiga di semester itu, ada pengumuman bahwa para murid diharap membuat sebuah puisi diafhar untuk memenuhi tugas. Sama seperti yang lain, aku kebingungan. Tak seperti yang lain, nyaliku menciut, hampir berniat tak mengumpulkan. Sepele, just because fear. Namun, entah kenapa kuurungkan niatku.

 Aku mencoba menulis, memikirkan apa yang harusnya kutulis, mengganti setiap kata, baris, dan bait yang kurang sempurna. Penuh coretan catatan puisiku. Aku mulai putus asa. Lagi-lagi kuurungkan niatku untuk gagal. Aku coba lagi berfikir, merasakan, menuliskan apa yang aku fikir dan rasakan. Kucoba tuliskan apapun yang tersirat di otakku. Waktuku satu setengah jam. Aku lupa bagaimana atau dari mana aku temukan ide puisi bermaknakan bendera kuning. Seperti tiba-tiba puisiku telah jadi. Puisi pertamaku yang aku kerjakan sesempurna mungkin, sebisaku dalam waktu sesingkat itu. Hahaha... tiba-tiba saat itu juga untuk kali pertama aku termotivasi tak mau sia-sia, putus di tengah jalan. walaupun aku telah lupa akan jumlah baris, kata, maupun baitnya namun masih kuingat jelas judul dan maknanya. Bendera kuning, melambangkan duka cita mendalam sebuah keluarga yang tengah menangisi kepergian orang tersayang di rumah putih yang penuh sesak oleh kerumunan orang, air mata, dan gema getir. Kulihat lagi puisiku. Kupahami setiap katanya. Nampaknya tak ada lagi yang harus aku sempurnakan maknanya. Aku kumpulkan dengan pengharapan maksimal untuk lolos, menjadi unggul dari ratusan pengumpul lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun