Mohon tunggu...
Mira Risman
Mira Risman Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

The Social Dilemma: Sisi Terang dan Gelap Media Sosial, Benarkah Algoritma Media Sosial Memanipulasi Penggunanya?

15 Juli 2021   19:50 Diperbarui: 15 Juli 2021   20:24 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tim Kendal sebagai mantan Presiden Pinterest, mengakui ia pernah pulang dan tak bisa menjauhi ponselnya begitu tiba dirumah, meski ia memiliki dua anak kecil yang membutuhkan cinta dan perhatian darinya. Ia juga mengatakan "Ini sungguh ironis. Aku bekerja di siang hari dan membangun sesuatu yang kemudian memanipulasiku", ia sendiri tidak bisa menahan dirinya karena ia rasa itu menarik meski ia tahu apa yang terjadi di balik layar, ia masih tak mampu mengendalikan penggunaan media sosial.

DR. Anna Lembke mengatakan Media sosial adalah 'narkoba'. Kita mempunyai perintah biologis dasar untuk terhubung dengan orang lain. Hal itu secara lagsung mempengaruhi pelepasan dopamine dalam 'jalur kenikmatan'. Jutaan tahun evolusi berada di balik system itu untuk membuat kita berkumpul dan hidup di komunitas, mencari pasangan dan menyebarkan spesies kita. Jadi tak diragukan lagi medium seperti media sosial yang dapat mengoptimalkan hubungan atarorang ini akan memiliki potensi kecanduan.

Menurut Chamath Palihapitiya seorang Former VP of Growth dari Facebook, Karena media sosial, kita menyesuaikan hidup kita mengikuti pandangan kesempurnaan ini karena kita mendapat imalan dalam sinyal jangka pendek ini, ikon hati, suka, dan jempol. Lalu kita menyatukannya dengan nilai dan kebenaran. Alih-alih sebagai hal yang sebenarnya, yaitu popularitas palsu dan rapuh yang hanya sesaat, membuat kita kecanduan, dan akuilah, membuat kita hampa sebelum melakukannya. Menurutnya itu sangatlah buruk.

Jonathan Haidt, PhD, mengungkapkan antara tahun 2011 dan 2013 ada peningkatan besar dalam depresi dan kecemasan bagi remaja Amerika. Hal yang lebih mengerikan lagi adalah bunuh diri alami peningkatan yang sama terlebih pada kasus gadis remaja lebih tua usia 15 sampai 19 tahun, mereka naik 70%. Gadis remaja yang awalnya punya tingakat sangat rendah namun kini mereka naik 151%. Pola itu mengarah ke media sosial. Karena media sosial tersedia di ponsel 2009. Generasi Z adalah generasi pertama dalam sejarah yang terjun ke media sosial. Generasi ini lebih cemas, rapuh, dan tertekan, kurang nyaman mengambil resiko.

Seperti yang tengah terjadi saat ini, saya mendapatkan dari salah satu artikel yang mengungkapkan remaja pengguna media sosial rentan alami insomnia dan gangguan kecemasan. Analisis para ilmuwan menunjukkan adanya korelasi kuat (hubungan, bukan penyebab) antara penggunaan media sosial dan gangguan tidur. Volume dan frekuensi interaksi media sosial yang lebih berat dikaitkan dengan kemungkinan masalah tidur yang lebih besar. Volume mengukur jumlah waktu yang dihabiskan seorang remaja untuk ber-medsos setiap hari. Frekuensi mengukur jumlah kunjungan ke situs media sosial selama seminggu, alias seberapa sering Anda log-in ke situs tersebut dan berinteraksi dengan pengguna lainnya. Misalnya saja, yang  saat ini tengah saya alami, saya merasakan pola jam tidur yang semakin memburuk akibat menggunakan media sosial sebelum tidur.

Secara realistis, kita hidup didalam perangkat keras, otak, yang berusia jutaan tahun, lalu ada sebuah layar dan di baliknya ada ribuan teknisi dan komputer super yang memiliki tujuan berbeda dari tujuan kita. Sandy Parakilas seorang Former Operation Manager dari Fcebook mengatakan, hanya ada sedikit orang di semua perusahaan media sosial ini yang sedikit orang yang mengerti cara kerja system dan bahkan mereka tak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi dengan konten tertentu. Jadi, sebgai manusia, kita hampir kehilangan kendali atas sistem ini, karena mereka mengendalikan informasi yang kita lihat di media sosial. Media punya masalah yang sama karena model bisnis mereka pada umumnya adalah menujal perhatian kita kepada pengiklan. Internet adalah cara lebih efisien baru untuk melakukan itu. Mereka menciptakan sistem yang berprasangka terhadap informasi palsu. Bukan karena kemauan, tapi karena informasi palsu memberi semua perusahaan itu lebih banyak uang daripada kebenara. Kebenaran itu membosankkan. Ini adalah model bisni yang mencari profit dari disinformasi. Mendapatkan uang dengan membebaskan pesan tak terkontrol diterima Siapa saja dengan harga terbaik.  Seperti facebook yang memiliki banyak pos umpan berita, Tidak bisa tahu apa yang nyata atau benar.

Media sosial mampu memperkuat gosip dan desas desus eksponensial hingga kita tidak tahu apa yang benar, apa pun isu yang kita pedulikan. Salah satu pembicara mengatakan, jika kita ingin mengendalikan populasi negara, tak pernah ada alat yang seefektif Facebook. Cynthia M. Wong seorang Human Rights Watch mengungkapkan, beberapa implikasi yang paling meresahkan dari pemerintah dan pelaku jahat lain yang menjadikan media sosial senjata adalah menyebabkan bahaya di dunia nyata. Semua platform memungkinkan penyebara narasi manipuatif dengan sangat mudah serta tanpa membayar mahal. Algoritme dan politisi manipulatif menjadi sangat ahli dalam mempelajari cara memicu kita, makin mahir menciptakan berita palsu yang kita serap seolah olah itu kenyataan dan membingungkan kita untuk meyakini kebohongan itu. Seolah olah kita kehilangan kendali atas jati diri dan keyakinan kita. Mereka mengakui dari industri terknologi telah menciptakan alat untuk mengacaukan dan mengikis struktur masyarakat, di setiap negara sekaligus, di mana-mana.

Pada media sosial dapat membuat perang jarak jauh. Satu negara dapat memanipulasi negara lain tanpa menyerbu perbatasan fisiknya. Bukan tentang Siapa yang ingin mereka pilih, tapi soal menabur kekacauan dan perpecahan di masyarakat. Membuat dua pihak yang tidak bisa dan mau saling mendengar lagi, yang tak saling percaya lagi. Menurut Cathly O'neil. PhD, seorang data scientist, Mengizinkan para pakar teknologi menganggap hal ini sebagai masalah yang siap mereka pecahkan, itu adalah kebohongan. Bukan tentang teknologi yang menjadi ancaman eksistensial. Namun, kemampuan teknologi untuk menghadirkan kemungkinan terburuk di masyarakat dan kemungkinan terburuk itulah ancaman eksistensialnya.

Ungkapan dari salah satu pembicara dari Google, Jika teknologi menciptakan, kekacauan massal, kemarahan, ketidaksopanan, kurangnya rasa saling percaya, kesepian, alienasi, peningkatan polarisasi, peretasan pemilu, populisme, gangguan, dan ketidakmampuan berfokus pada isu sebenarnya, itulah masyarakat. Masyarakat yang kini tak mampu menyembuhkan dirinya dan berubah menjadi sejenis kekacauan. Teknologi kita akan menjadi lebih menyatu dengan kehidupan kita sendiri.

Tim Kendal saat ditanya tentang apa hal yang paling dia cemaskan, ia menjawab "Kurasa dalam jangka pendek adalah perang saudara". Jika situasi seperti ini diteruskan peradaban kita mungkin akan hancur karena kebodohan yang disengaja. Kita mungkin gagal dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Kita mungkin memperburuk demokrasi dunia sehingga mereka jatuh kedalam disfungsi autocrat yang aneh.

"Whether it is to be utopia or oblivion will be a touch-and-go relay race right up to the final moment" (Buckminster Fuller). "Menjadi utopia atau dilupakan, akan ditentukan oleh lomba estafet hingga saat terakhir".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun