Mohon tunggu...
Ira
Ira Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

The Social Dilemma: Sisi Terang dan Gelap Media Sosial, Benarkah Algoritma Media Sosial Memanipulasi Penggunanya?

15 Juli 2021   19:50 Diperbarui: 15 Juli 2021   20:24 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Assalamualaikum, Hai... teman-teman kembali lagi dengan saya Mira Risman atau biasa dipanggil Ira, saya salah satu mahasiswa dari prodi Ilmu Komunikasi ,Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi di Universitas Dahlan, Yogyakarta. Pada kesempatan kali ini kita masih dengan pembahasan yang sama seputar kemajuan teknologi informasi dan kumunikasi serta media sosial.

Pada penulisan kali ini saya akan membahas tentang sisi baik dan buruk dari teknologi informasi dan komunikasi pada film dokomenter yang berjudul "The Social Dilemma". 

Media sosial, kini menjadi hal yang sangat dekat dengan kehidupan kita, baik dari yang berusia anak-anak hingga orang yangberusia. Tidak hanya memberikan dampak positif bagi kehidupan, tetapi juga memberikan sisi gelap dari kehidupan media sosial.

Film terbaru dari Netflix, dengan judul "The Social Dilemma" ini menceritakan dan mengungkapkan semua sisi gelap dari media sosial atau yang di sebut dunia maya. Film dokumenter The Social Dilemma disutradarai oleh Jeff Orlowski, sosok di balik film dokumenter populer seperti Chasing Ice dan Chasing Coral. Film ini bergenre docudrama yaitu dokumenter yang dibumbui dengan sedikit drama. Film ini menampilkan berbagai orang penting yang pernah bekerja di perusahaan internet besar seperti Google, Facebook, Pinterest, Instagram, dan lainnya.

Dalam film ini meneliti efek dari perusahaan perusahaan yang berkecimpung di bidang internet terutama media sosial yang pengaruhnya terhadap masyarakat atau publik. Di jelaskan juga bagaimana keputusan dari beberapa ahli dapat mempengaruhi kehidupan jutaan orang di dunia ini. Dokumenter ini menjelaskan situasi platform media sosial yang sekarang ini baik itu pada bidang industrinya sendiri di teknologi informasi.

Jeff Orlowski, merancang film ini untuk memasukan perbincangan yang banyak membahas konsep-konsep bidang teknologi. Seperti penambangan data, kecanduan teknologi, machine learning, kecerdasan buatan, IA, dan pengawasan kapitalisme. Yang menarik dari film ini adalah film ini diperkuat dengan dokumentasi juga wawancara langsung dengan narasumber yang merupakan orang-orang penting di balik layar platform media sosial pada industri teknologi tempat kerjanya, serta yang memiliki masalah etika pada industri teknologi informasi. Dengan begitu penonton dapat mempercayai apa yang mereka bicarakan ini adalah sungguhan, nyata, informasi yang mereka sampaikan bukanlah hoax semata.

Media sosial memiliki banyak hal yang kualitas dan bermanfaat, seperti beberapa hal yang disebutkan dalam film adalah saling terkoneksi tanpa mengenal jarak, bisa mendapatkan pengetahuan, dan bahkan mendapatkan donor organ. Dinyatakan juga bahwa media sosial adalah "layanan bermanfaat yang melakukan berbagai hal baik sekaligus mesin uang". Dimana para narasumber perusahaan-perusahaan media sosial mengungkapkan bagaimana data pengguna bisa dipakai untuk membuat sebuah model yang memprediksi aktivitas pengguna.

Pada drama yang ditampilkan dalam film ini mengisahkan tentang kehidupan suatu keluarga dengan dua anak yang kecanduan media sosial. Yang pada akhirnya mereka mengalami sebuah masalah akibat dari media sosial.

Sosok seorang ibu yang mau tidak mau harus memenuhi keinginan putrinya untuk memiliki ponsel. Kini media teknologi seperti ponsel sudah menjadi barang yang 'harus' dimiliki oleh setiap anak bahkan yang usia masih belasan tahun. Namun seteleh mendapatkan ponsel putrinya terlihat acuh pada kondisi sekitar, ia hanya berfokus pada ponselnya.

Media sosial bukan koneksi nyata, hanyalah omong kosong, kata salah satu tokoh.

Juga terdapat adegan ibu yang berusaha yang mengendalikan angota keluarganya dari sebuah ponsel agar dapat menikmati hidangan makan malam yang ia sediakan. mereka merasakan keheningan diawal, namun saat ada sebuah notifikasi masuk di ponsel putrinya yang bernama Ayla, Alya melakukan segala cara agar bisa kembali mendapatkan ponselnya.

Seorang ibu itu berinisiatif untuk menguji putra yang bernama Benji untuk tidak menggunakan ponsel selama satu minggu. namun hal itu tidak mampu di lakukan oleh Ben, akibat adanya pancingan dari pengendali informasi di balik layar media sosial itu. Yang berdampak ia semakin kecanduan terhadap media sosial. Ben terus mendapatkan nasihat dari salah satu anggota keluarganya yang diaman ia mengetahui betapa kacaunya keadaan saat ini, bahwa yang dia katakan 'berita'yang Ben tonton hanya sebuah propoganda, itu buruk untuk Ben. Akan lebih baik Ben berlatih sepak bola daripada membuka media sosial.

Akibat kecanduan media sosial Ben sedikit mengabaikan sekitarnya, ia tidak begitu memperdulikan orang di sekitarnya bahkan orang yang sedang mengajaknya berbicara. Ben terus termanipulasi oleh berita-berita yang tidak pasti kebenarannya dari media sosial. Berakhir Ben terperangkap menjadi salah satu pelaku dari aksi demo yang ditahan oleh pihak keamanan.

Media sosial dapat menjadi dampak yang sangat buruk jika penggunanya sudah kecanduan sehingga tidak dapat mengendalikan diri untuk lepas dari media sosial, walaupun hanya untuk beberapa saat.

Berikut beberapa point yang saya dapatkan dari film "The Social Dilemma", yang mungkin dapat di jadikan pembelajaran atau hanya sekedar pengetahuan ;

Mantan presiden pinterest juga salah satu mantan direktur dari Facebook, mengatakan bahwa media sosial telah banyak menciptakan hal hal indah di dunia. Ada sebuah berubahan sistemik berarti yang terjadi di seluruh dunia karena semua platform positif. Tapi seperti naik tentang sisi lain dari media sosial. Setelah media sosial dirilis, seperti membentuk hidup sendiri. Masyarakat menggunakannya tidak sesuai apa yang mereka harapkan. Tapi, pada dasarnya demi kebaikan.

Dibalik perusahaan teknologi besar yang semakin berkembang, mereka juga mendapatkan Lonjakan kritik. Sebuah hasil studi mengungkap kaitan antar kesehatan mental dan penggunaan media sosial. Sebuah fakta, kecanduan terhadap perangkat elektronik, kita bisa mengasingkan diri dalam gelembung, berkat teknologi.

Salah satu platform media sosial seperti TikTok, merupakan salah satu media yang sulit untuk dihapus oleh kalangan remaja. Apakah media sosial dapat membuat anak mengalami depresi ?. Media sosial seperti snapchat dapat membuat syndrome baru kepada penggunanya agar bisa terlihat persis seperti filter yang tersedia, Dismorfia Snapchat namaya.

Terbentuk dan bertambahnya kapilatil kelompok politik dan budaya juga dapat bersumber dari internet. Termasuk Bertambahnya anggota ISIS juga ada yang bermula dari internet.

Faktanya, beredarnya berita palsu atau hoax yang berkonsekuensi lebih mudah tersebar dan mengancam masyarakat di dunia. Media sosail atau internet juga mampu menyerang demokrasi suatu negara.

Kini era informs telah berubah menjadi era disinformasi.  "Apa yang salah di industri teknologi saat ini ?' Ada banyak keluhan skandal, pencurian data, kecanduan, berita palsu, polarisasi, pemilu yg diretas. But, adakah sesuatu dibalik semua masalah ini yang menyebabkan semua ini terjadi sekaligus ? Ada masalah yang terjadi di industri teknologi saat ini.

Bertanya pada diri, apakah itu normal ? atau kita telah terpengaruh oleh semacam mantra ? Tristan Harris, seorang mantan pakar Etika Desain Google juga pendiri center for humane technology, berharap lebih banyak orang dapat memahami cara kerja platform, karena ini bukan hal yang hanya diketahui industri teknologi.

Tristan sendiri mengakui ia merasa kecanduan surel dan frustasi dengan industri teknologi secara umum. Namun dia berinisiatif membuat keputusan semacam kampanye atau ajakan untuk bergerak. Ia sadar membuat keputusan yang akan berdampak pada semua manusia. Ajakannya mendapat respon cukup baik. Hal itu menciptakan semacam momen budaya yang harus dianggap serius oleh google.

Google, sebuh layanan yg sangat berguna hingga dikagumi manusia pada tahun 2006, yang pada saat itu memberi banyak kebaikan bagi dunia.  Namun, tanpa disadari seperti google dan facebook bahwa mereka bersaing memikat perhatian.

Facebook, Snapchat, Twitter, Instagram, YouTube, Google dan sosial media lainnya membuat orang terpaku pada layar. Faktanya, semua hal atau tindakan yang dilakukan manusia di internet itu di awasi, dilacak, diukur, diantau dan di rekam dengan hati-hati. Semua dapat mereka diprediksi, bahkan bisa memprediksi emosi macam apa yang memicumu penggunanya.

Perusahaan teknologi memiliki 3 tujuan utama, yaitu :

1. Keterlibatan untuk menaikkan penguunaanmu agar terus scrool layar

2. Pertumbuhan, tuk mengundang banyak teman.

3. Iklan, tuk memastikan bahwa seiring semua itu terjadi mereka menghasilkan uang dari iklan

Semua tujuan ditangani oleh algoritme. Arthur C. Clarke mengatakan "Semua teknologi yang canggih tidaklah berbeda dari sulap". Teknik pertumbuhan menjadi standar untuk Silicon Valley (daerah yang memiliki banyak perusahaan yang bergerak dalam bidang komputer dan semikonduktor). Perusahaan seperti google dan facebook akan terus mengeluarkan banyak eksperimen kecil yang terus mereka lakukukan pada pengguna. Fakanya itu adalah  manipulasi. Kita semua adalah kelinci percobaan dengan artian kita adalah ombi dan mereka ingin melihat kita melihat lebih banyak iklan agar mereka dapat lebih banyak uang.

Facebook dapat mempengaruhi perilaku dan emosi dunia nyata juga dapat mengambil uang dan data dari semua aktifitas penguna sebagai keuntungan tanpa memicu kesadaran penggunanya. Chamath Palihapitiya, seorang former VP of Growth dari Facebook mengungkapkan bahwa mereka tahu cara memanipulasi pengguna secepat mungkin lalu membalasnya dengan stimulasi dopamin. Dopamin merupakan jenis senyawa kimia (neurotransmitter) dan hormon di tubuh yang berkaitan dengan rasa bahagia dan kesenangan diri. Hal itu mereka lakukan dengan sangat baik di Facebook, Instagram, WhatsApp, Snapchat dan twitter.

Sosial media bukan alat yang menunggu untuk digunakan. Ia mempunyai tujuan dan cara tersendiri untuk memperolehnya menguunakan psikologi pengguna melawan diri. Kita beralih dari memiliki lingkungan teknologi berbasis alat ke lingkungan teknologi berbasis kecanduan dan manipulasi. Itulah yang berubah.

"There are only two industries that call their costumers 'Users': Illegal Drugs and Software". (Edward Tufte). Yang artinya "Hanya ada dua industri yang menyebut pelanggan mereka 'Pengguna': Narkoba dan Perangkat Lunak". (Edward Tufte)

Tim Kendal sebagai mantan Presiden Pinterest, mengakui ia pernah pulang dan tak bisa menjauhi ponselnya begitu tiba dirumah, meski ia memiliki dua anak kecil yang membutuhkan cinta dan perhatian darinya. Ia juga mengatakan "Ini sungguh ironis. Aku bekerja di siang hari dan membangun sesuatu yang kemudian memanipulasiku", ia sendiri tidak bisa menahan dirinya karena ia rasa itu menarik meski ia tahu apa yang terjadi di balik layar, ia masih tak mampu mengendalikan penggunaan media sosial.

DR. Anna Lembke mengatakan Media sosial adalah 'narkoba'. Kita mempunyai perintah biologis dasar untuk terhubung dengan orang lain. Hal itu secara lagsung mempengaruhi pelepasan dopamine dalam 'jalur kenikmatan'. Jutaan tahun evolusi berada di balik system itu untuk membuat kita berkumpul dan hidup di komunitas, mencari pasangan dan menyebarkan spesies kita. Jadi tak diragukan lagi medium seperti media sosial yang dapat mengoptimalkan hubungan atarorang ini akan memiliki potensi kecanduan.

Menurut Chamath Palihapitiya seorang Former VP of Growth dari Facebook, Karena media sosial, kita menyesuaikan hidup kita mengikuti pandangan kesempurnaan ini karena kita mendapat imalan dalam sinyal jangka pendek ini, ikon hati, suka, dan jempol. Lalu kita menyatukannya dengan nilai dan kebenaran. Alih-alih sebagai hal yang sebenarnya, yaitu popularitas palsu dan rapuh yang hanya sesaat, membuat kita kecanduan, dan akuilah, membuat kita hampa sebelum melakukannya. Menurutnya itu sangatlah buruk.

Jonathan Haidt, PhD, mengungkapkan antara tahun 2011 dan 2013 ada peningkatan besar dalam depresi dan kecemasan bagi remaja Amerika. Hal yang lebih mengerikan lagi adalah bunuh diri alami peningkatan yang sama terlebih pada kasus gadis remaja lebih tua usia 15 sampai 19 tahun, mereka naik 70%. Gadis remaja yang awalnya punya tingakat sangat rendah namun kini mereka naik 151%. Pola itu mengarah ke media sosial. Karena media sosial tersedia di ponsel 2009. Generasi Z adalah generasi pertama dalam sejarah yang terjun ke media sosial. Generasi ini lebih cemas, rapuh, dan tertekan, kurang nyaman mengambil resiko.

Seperti yang tengah terjadi saat ini, saya mendapatkan dari salah satu artikel yang mengungkapkan remaja pengguna media sosial rentan alami insomnia dan gangguan kecemasan. Analisis para ilmuwan menunjukkan adanya korelasi kuat (hubungan, bukan penyebab) antara penggunaan media sosial dan gangguan tidur. Volume dan frekuensi interaksi media sosial yang lebih berat dikaitkan dengan kemungkinan masalah tidur yang lebih besar. Volume mengukur jumlah waktu yang dihabiskan seorang remaja untuk ber-medsos setiap hari. Frekuensi mengukur jumlah kunjungan ke situs media sosial selama seminggu, alias seberapa sering Anda log-in ke situs tersebut dan berinteraksi dengan pengguna lainnya. Misalnya saja, yang  saat ini tengah saya alami, saya merasakan pola jam tidur yang semakin memburuk akibat menggunakan media sosial sebelum tidur.

Secara realistis, kita hidup didalam perangkat keras, otak, yang berusia jutaan tahun, lalu ada sebuah layar dan di baliknya ada ribuan teknisi dan komputer super yang memiliki tujuan berbeda dari tujuan kita. Sandy Parakilas seorang Former Operation Manager dari Fcebook mengatakan, hanya ada sedikit orang di semua perusahaan media sosial ini yang sedikit orang yang mengerti cara kerja system dan bahkan mereka tak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi dengan konten tertentu. Jadi, sebgai manusia, kita hampir kehilangan kendali atas sistem ini, karena mereka mengendalikan informasi yang kita lihat di media sosial. Media punya masalah yang sama karena model bisnis mereka pada umumnya adalah menujal perhatian kita kepada pengiklan. Internet adalah cara lebih efisien baru untuk melakukan itu. Mereka menciptakan sistem yang berprasangka terhadap informasi palsu. Bukan karena kemauan, tapi karena informasi palsu memberi semua perusahaan itu lebih banyak uang daripada kebenara. Kebenaran itu membosankkan. Ini adalah model bisni yang mencari profit dari disinformasi. Mendapatkan uang dengan membebaskan pesan tak terkontrol diterima Siapa saja dengan harga terbaik.  Seperti facebook yang memiliki banyak pos umpan berita, Tidak bisa tahu apa yang nyata atau benar.

Media sosial mampu memperkuat gosip dan desas desus eksponensial hingga kita tidak tahu apa yang benar, apa pun isu yang kita pedulikan. Salah satu pembicara mengatakan, jika kita ingin mengendalikan populasi negara, tak pernah ada alat yang seefektif Facebook. Cynthia M. Wong seorang Human Rights Watch mengungkapkan, beberapa implikasi yang paling meresahkan dari pemerintah dan pelaku jahat lain yang menjadikan media sosial senjata adalah menyebabkan bahaya di dunia nyata. Semua platform memungkinkan penyebara narasi manipuatif dengan sangat mudah serta tanpa membayar mahal. Algoritme dan politisi manipulatif menjadi sangat ahli dalam mempelajari cara memicu kita, makin mahir menciptakan berita palsu yang kita serap seolah olah itu kenyataan dan membingungkan kita untuk meyakini kebohongan itu. Seolah olah kita kehilangan kendali atas jati diri dan keyakinan kita. Mereka mengakui dari industri terknologi telah menciptakan alat untuk mengacaukan dan mengikis struktur masyarakat, di setiap negara sekaligus, di mana-mana.

Pada media sosial dapat membuat perang jarak jauh. Satu negara dapat memanipulasi negara lain tanpa menyerbu perbatasan fisiknya. Bukan tentang Siapa yang ingin mereka pilih, tapi soal menabur kekacauan dan perpecahan di masyarakat. Membuat dua pihak yang tidak bisa dan mau saling mendengar lagi, yang tak saling percaya lagi. Menurut Cathly O'neil. PhD, seorang data scientist, Mengizinkan para pakar teknologi menganggap hal ini sebagai masalah yang siap mereka pecahkan, itu adalah kebohongan. Bukan tentang teknologi yang menjadi ancaman eksistensial. Namun, kemampuan teknologi untuk menghadirkan kemungkinan terburuk di masyarakat dan kemungkinan terburuk itulah ancaman eksistensialnya.

Ungkapan dari salah satu pembicara dari Google, Jika teknologi menciptakan, kekacauan massal, kemarahan, ketidaksopanan, kurangnya rasa saling percaya, kesepian, alienasi, peningkatan polarisasi, peretasan pemilu, populisme, gangguan, dan ketidakmampuan berfokus pada isu sebenarnya, itulah masyarakat. Masyarakat yang kini tak mampu menyembuhkan dirinya dan berubah menjadi sejenis kekacauan. Teknologi kita akan menjadi lebih menyatu dengan kehidupan kita sendiri.

Tim Kendal saat ditanya tentang apa hal yang paling dia cemaskan, ia menjawab "Kurasa dalam jangka pendek adalah perang saudara". Jika situasi seperti ini diteruskan peradaban kita mungkin akan hancur karena kebodohan yang disengaja. Kita mungkin gagal dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Kita mungkin memperburuk demokrasi dunia sehingga mereka jatuh kedalam disfungsi autocrat yang aneh.

"Whether it is to be utopia or oblivion will be a touch-and-go relay race right up to the final moment" (Buckminster Fuller). "Menjadi utopia atau dilupakan, akan ditentukan oleh lomba estafet hingga saat terakhir".

Banyak yang beranggapan seolah-oleh ini hanyalah malapetaka dan kesuraman sepihak.  Seperti menyalahkan teknologi yang telah menghancurkan dunia dan anak-anak, tapi ternyata tidak. Sedikit membingungkan, karena ini merupakan utopia sekaligus distopia.

Pada dasarnya tombol "like" diciptakan karena sebuah motivasi yang baik yaitu "bisakah kita menyebarkan aura positif dan cinta di dunia ?". Kini remaja tertekan saat tak banyak dapat respon "like" atau itu bisa mengarah ke polarisasi politik, hal itu tak terpikir oleh mereka yang menciptakan. Mereka tidak berniat jahat, hanya saja model bisnisnya lah yang bermasalah.

Situasi saat ini bukan untuk melindungi pengguna, tapi untuk perlindungan hak dan privilese dari semua perusahaan raksasa yang sangat kaya. Penggunaan terhadap media sosial kita akan lebih menguntungkan perusahaan jika kita menghabiskan waktu untuk menatap layar, menatap iklan, daripada mengahabiskan waktu itu untuk menikmati hidup. Jadi, kini kita melihat dan merasakan akibatnya. Kita melihat perusahaan menggunakan intelegensi artifisial yang kuat untuk mengakali dan mencari cara untuk menarik perhatian kita menuju hal yang mereka mau kita lihat, daripada hal yang paling konsisten dengan tujuan, nilai, dan hidup kita.

Seolah-olah desain fundamental dari hal ini tidak berjalan dengan baik, seluruhnya. Terdengar gila jika berkata kita harus mengubah semua itu, tapi itu hal yang harus di lakukan. Walaupun terlihat membutuhkan waktu yang lama tapi kita harus tetap optimis dalam menemukan solusi. Karena tidak semua orang menganggap ini sebagai masalah.

Beberapa tips yang mereka berikan untuk melawan atau sekedar mengurangi penggunaan media sosial :

  • Mematikan semua notifikasi.
  • Menghapus Aplikasi yang benar-benar memakan waktu
  • Tidak menggunakan Google, menggantinya dengan Qwant yang tidak menyimpan riwayat pencarian.
  • Jangan pernah menerima video rekomendari di YouTube.

Terimakah telah membaca

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun