Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, konflik antara HAM dan keamanan nasional menjadi salah satu dilema terbesar yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Negara sering kali berada di persimpangan jalan: apakah mereka harus mengutamakan keamanan dan stabilitas demi kepentingan bersama, ataukah mereka harus melindungi hak-hak individu yang dilindungi oleh konstitusi dan prinsip-prinsip kemanusiaan?
Di Indonesia, isu ini semakin relevan dengan adanya kelompok-kelompok seperti Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), yang mengancam ketertiban di wilayah-wilayah tertentu, menambah ketegangan antara keamanan nasional dan penghormatan terhadap HAM. Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan besar: apakah negara harus menempuh jalan kekerasan demi melindungi keamanannya, ataukah ada cara yang lebih manusiawi dan adil, yang sejalan dengan filsafat moral dan keadilan sosial?
Artikel ini akan menggali perdebatan filosofis mengenai bagaimana filsafat, baik dari perspektif filsafat politik, etika, maupun teori keadilan, dapat memberikan wawasan dalam menyikapi konflik antara HAM dan keamanan nasional. Apakah keamanan memang lebih penting daripada hak-hak individu, ataukah filsafat akan menawarkan solusi yang lebih baik dan adil untuk kedua pihak?
Apa Hak Negara untuk melibatkan militer dalam penyelesaian konflik dengan KKB?
Mengaitkan teori politik dari Thomas Hobbes dan John Locke dalam konteks pertanyaan tentang hak negara untuk melibatkan militer dalam penyelesaian konflik dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dapat memberikan wawasan yang mendalam. Kedua filsuf ini memiliki pandangan yang berbeda mengenai kekuasaan negara, terutama dalam hal pembenaran penggunaan kekuatan atau kekerasan oleh negara.
Perspektif Hobbes: Kekuasaan Negara dan Penggunaan Kekuatan
Thomas Hobbes, dalam karya terkenalnya Leviathan (1651), berargumen bahwa untuk menjaga ketertiban dan mencegah kekacauan, individu harus menyerahkan sebagian hak-haknya kepada negara yang memiliki otoritas absolut. Hobbes menggambarkan keadaan alami manusia sebagai "perang semua melawan semua" (bellum omnium contra omnes), di mana tanpa kekuasaan yang terpusat, kehidupan manusia akan penuh dengan ketakutan dan kekerasan.
Menurut Hobbes, negara (yang ia gambarkan sebagai Leviathan) diberi kewenangan mutlak untuk menjaga perdamaian dan ketertiban sosial, bahkan jika itu berarti menggunakan kekuatan militer atau kekerasan. Dalam konteks konflik dengan KKB, Hobbes akan mendukung tindakan tegas dari negara, termasuk menggunakan militer, untuk memastikan stabilitas dan mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap ketertiban sosial. Bagi Hobbes, keselamatan dan keamanan negara lebih penting daripada perlindungan terhadap hak-hak individu jika keduanya bertentangan.
Implikasi terhadap konflik KKB:
- Hobbes mungkin berpendapat bahwa negara memiliki hak untuk mengerahkan militer dalam penyelesaian konflik dengan KKB, dengan alasan bahwa ancaman terhadap keamanan nasional membenarkan tindakan keras.
- Dalam perspektif Hobbesian, hak individu untuk bebas mungkin dipandang lebih rendah dibandingkan dengan kewajiban negara untuk menjaga ketertiban sosial dan keamanan negara.
Perspektif Locke: Kekuasaan Negara dan Perlindungan Hak Individu
Sementara Hobbes lebih menekankan pentingnya kekuasaan negara yang mutlak, John Locke memiliki pandangan yang berbeda dalam hal kekuasaan negara. Dalam Two Treatises of Government (1689), Locke berpendapat bahwa negara dibentuk untuk melindungi hak-hak alamiah individu—terutama hak atas hidup, kebebasan, dan properti. Locke menganggap bahwa kekuasaan negara harus dibatasi oleh hukum dan bahwa negara tidak boleh menggunakan kekuatan secara sembarangan.
Menurut Locke, negara harus bertindak sebagai pelindung hak-hak individu dan bukan sebagai otoritas absolut yang dapat semena-mena menggunakan kekuatan. Negara memiliki hak untuk menggunakan kekerasan hanya dalam situasi tertentu, misalnya untuk mempertahankan ketertiban atau untuk membela hak individu terhadap ancaman. Namun, penggunaan kekuatan negara harus selalu proporsional dan sejalan dengan hukum.
Implikasi terhadap konflik KKB:
- Locke mungkin akan mengakui bahwa negara memiliki hak untuk menggunakan militer jika KKB mengancam hak-hak dasar individu (seperti kehidupan dan keamanan). Namun, negara harus menggunakan kekuatan secara terbatas dan proporsional.
- Dalam kerangka Locke, penggunaan militer oleh negara harus selalu di bawah pengawasan hukum, dan tindakan yang diambil harus sesuai dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia.
Perbandingan antara Hobbes dan Locke dalam Konteks KKB
- Hobbesian Approach: Jika negara menghadapi ancaman terhadap ketertiban dan keamanan, seperti yang ditimbulkan oleh KKB, maka tindakan tegas seperti penggunaan militer dapat dibenarkan. Keamanan negara menjadi prioritas utama, dan pembatasan hak individu (misalnya, dengan mengorbankan kebebasan bergerak atau hak untuk tidak disiksa) bisa dibenarkan demi mencegah kerusuhan yang lebih besar.
- Lockean Approach: Di sisi lain, Locke akan lebih menekankan pada perlindungan hak-hak individu. Meski begitu, negara masih bisa menggunakan militer, tetapi hanya jika KKB benar-benar mengancam hak-hak dasar. Penggunaan kekuatan harus proporsional dan sesuai dengan prinsip keadilan, dan upaya-upaya non-kekerasan atau solusi yang lebih humanis harus diprioritaskan jika memungkinkan.
Kaitannya dengan Realitas di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, yang menghadapi tantangan dari kelompok seperti KKB di Papua, perdebatan antara keduanya menjadi sangat relevan. Jika mengikuti pendekatan Hobbes, negara Indonesia mungkin merasa berkewajiban untuk menggunakan militer untuk menjaga stabilitas di wilayah yang terganggu, terutama ketika ancaman terhadap keselamatan dan ketertiban sosial dianggap sangat serius. Namun, dari sudut pandang Locke, Indonesia harus memastikan bahwa penggunaan militer dilakukan secara proporsional dan menghormati hak asasi manusia, mengingat pentingnya perlindungan terhadap hak individu dalam sistem demokrasi.
Dalam prakteknya, Indonesia mungkin harus berupaya mencari keseimbangan antara menjaga keamanan nasional dan memastikan bahwa hak asasi manusia tetap dilindungi, dengan mempertimbangkan solusi dialog dan penyelesaian damai yang dapat mengurangi ketegangan tanpa harus mengandalkan kekerasan.
"Namun pada kenyataan nya, KKB seringkali "memenangkan kondisi" dalam peperangan ketika melawan TNI dengan berlindung pada jubah "HAM". Apakah teori Hobbes bisa digunakan, atau justru teori Locke lah yang terus menerus diterapkan?"
Ini merupakan poin yang sangat menarik dan benar-benar menyentuh inti dari dilema yang dihadapi negara dalam menangani konflik dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Dalam situasi seperti ini, teori Hobbes dan Locke dapat memberikan pandangan yang sangat berbeda, namun keduanya memiliki relevansi dalam konteks pertanyaan mengenai "hak negara untuk melibatkan militer dalam penyelesaian konflik," serta bagaimana hal ini berhubungan dengan filsafat politik dan etika.
KKB yang "memenangkan kondisi" dengan berlindung pada jubah HAM
Ketika KKB menggunakan "jubah HAM" untuk memperoleh perlindungan dari tindakan militer atau kekerasan, ini memang menciptakan dilema yang rumit bagi negara. Mereka berusaha menggunakan prinsip hak asasi manusia (HAM) untuk menghindari upaya keras negara yang ingin memulihkan ketertiban dan mengamankan wilayah, sementara di sisi lain, mereka terus melakukan tindakan yang mengancam keamanan negara.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang batasan penggunaan kekuasaan negara dalam menghadapi ancaman semacam ini, terutama ketika ancaman tersebut disertai dengan klaim atau pembenaran berdasarkan hak asasi manusia.
Apakah Teori Hobbes Bisa Digunakan?
Dalam teori Hobbes, seperti yang telah dibahas sebelumnya, negara memiliki hak untuk menggunakan kekuatan militer secara tegas untuk menjaga keamanan dan ketertiban sosial. Hobbes akan berpendapat bahwa dalam situasi seperti ini, negara memiliki otoritas mutlak untuk melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merusak tatanan sosial—termasuk ancaman dari KKB yang memanfaatkan perlindungan HAM. Hobbes percaya bahwa tanpa adanya otoritas absolut, ketertiban akan runtuh dan kehidupan manusia akan jatuh dalam kekacauan (state of nature).
Namun, di sisi lain, masalah muncul ketika tindakan negara bertentangan dengan prinsip HAM yang ingin dilindungi, dan KKB dengan sengaja memanfaatkan prinsip HAM untuk mendapatkan perlindungan. Hobbes mungkin tidak terlalu khawatir dengan hal ini, karena tujuannya adalah mengutamakan keselamatan dan keamanan kolektif—meskipun pada tingkat praktis, hal ini akan menimbulkan perdebatan tentang seberapa jauh negara dapat menggunakan kekerasan dalam konteks ini.
Secara keseluruhan, teori Hobbes dapat memberikan justifikasi untuk penggunaan kekuatan negara (termasuk militer) dalam menghadapi ancaman seperti KKB, dengan asumsi bahwa stabilitas sosial lebih penting daripada hak-hak individu yang mungkin dilanggar dalam proses tersebut. Namun, pendekatan ini bisa dipandang sebagai lebih otoriter dan dapat menimbulkan pertanyaan besar terkait dengan hak-hak individu yang dilindungi oleh konstitusi.
Teori Locke dan Penerapannya yang Berkelanjutan
Sebaliknya, teori Locke lebih menekankan bahwa negara harus melindungi hak-hak dasar individu, dan penggunaan kekuasaan negara haruslah dibatasi dan selalu berada dalam kerangka keadilan. Dalam pandangan Locke, meskipun negara memiliki hak untuk mempertahankan keamanan nasional, negara tidak boleh menggunakan kekuatan secara sewenang-wenang, dan setiap tindakan kekerasan yang diambil harus selalu berada dalam batas-batas yang sah, proporsional, dan untuk melindungi hak individu. Negara tidak bisa menggunakan kekerasan atas dasar alasan yang tidak adil, apalagi jika itu melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Namun, dalam konteks KKB, yang mengancam keselamatan dan ketertiban sosial, teori Locke bisa dipandang sebagai lebih menuntut negara untuk memastikan bahwa hak asasi manusia tetap terjaga meskipun ada ancaman serius. Negara harus berusaha menjaga keseimbangan antara penggunaan kekerasan (dalam bentuk militer) dan penghormatan terhadap hak-hak individu. Locke tidak akan mendukung penerapan kekuatan yang berlebihan, dan akan mendorong untuk mencari solusi yang lebih damai jika memungkinkan.
Tantangannya adalah, jika negara terus menerus mengedepankan teori Locke dalam menghadapi ancaman KKB yang mengatasnamakan HAM, kemungkinan ketegangan dan ancaman terhadap keamanan negara akan terus berlanjut tanpa penyelesaian yang memadai.
Menyelesaikan Dilema: Jalan Tengah antara Hobbes dan Locke
Kenyataannya, banyak negara yang berusaha menemukan jalan tengah antara pendekatan Hobbes yang lebih otoriter dan pendekatan Locke yang lebih membatasi kekuasaan negara. Di Indonesia, negara mungkin harus mencari kebijakan yang mengintegrasikan kedua pandangan ini: menjamin keamanan nasional melalui tindakan militer jika perlu, namun tetap berusaha untuk melindungi hak-hak individu dan prinsip HAM dalam proses tersebut. Ini mungkin berarti upaya lebih besar dalam dialog dan penyelesaian damai, sambil tetap memitigasi ancaman yang ada.
Konflik ini benar-benar mencerminkan pertarungan antara dua prinsip utama dalam filsafat politik dan etika—Keamanan Kolektif vs Perlindungan Hak Individu. Teori Hobbes dan Locke, meskipun keduanya valid dalam konteksnya, masing-masing menawarkan solusi yang berlawanan, yang pada gilirannya mempengaruhi bagaimana negara seharusnya bertindak dalam menghadapi ancaman nyata seperti KKB. Menggabungkan pendekatan filsafat dengan kebijakan yang realistis mungkin memberikan jalan tengah yang paling adil dalam menangani tantangan ini.
"Jika saja Anda menjadi pemimpin Indonesia, manakah yang akan Anda pilih, teori Hobbes atau teori Locke? Dan jika saja kedua teori itu dapat menimbulkan masalah, apa yang akan Anda lakukan?"
Jika saya menjadi pemimpin Indonesia dan harus memilih antara teori Hobbes atau teori Locke, saya akan mempertimbangkan berbagai faktor. Kedua teori tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing, dan situasi yang dihadapi Indonesia—dengan ancaman seperti KKB dan kerentanannya terhadap gangguan keamanan—memang sangat kompleks. Oleh karena itu, pilihan saya tidak hanya mengandalkan satu teori saja, melainkan mengkombinasikan elemen dari keduanya, sambil menyadari bahwa baik Hobbes maupun Locke dapat menimbulkan tantangan etis dan praktis.
Menggunakan Teori Hobbes dalam Konteks Indonesia
Jika saya memilih teori Hobbes, maka prinsip utamanya adalah menjaga keamanan dan ketertiban di atas segalanya. Dalam situasi seperti konflik dengan KKB, di mana ancaman terhadap negara dan masyarakat sangat nyata dan berbahaya, saya akan lebih cenderung untuk mengambil langkah-langkah yang lebih tegas dan bahkan otoriter. Dalam perspektif Hobbes, jika ancaman terhadap stabilitas sosial sudah cukup besar, maka negara harus diberi kewenangan mutlak untuk melindungi warganya, bahkan jika itu melibatkan penggunaan kekuatan militer secara intensif.
Mengapa memilih Hobbes dalam konteks ini?
- Keamanan Negara sebagai Prioritas: KKB sering kali terlibat dalam kekerasan yang mengancam integritas teritorial dan kesejahteraan masyarakat, sehingga stabilitas dan keselamatan negara menjadi prioritas utama. Hobbes akan melihat ini sebagai situasi yang mengharuskan negara untuk bertindak tegas demi melindungi rakyat dan sistem politik yang ada.
- Pembatasan terhadap Hak Individu sebagai Tindakan Terakhir: Ketika KKB jelas-jelas bertindak di luar batas hukum dan mengancam kehidupan banyak orang, membatasi beberapa kebebasan individu (misalnya dengan menempatkan wilayah tertentu dalam keadaan darurat atau pemberlakuan aturan yang lebih ketat) bisa dibenarkan demi mencegah kerusuhan yang lebih besar.
Namun, ada tantangan besar dalam menerapkan teori Hobbes:
- Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan: Pembatasan hak individu yang terlalu jauh bisa berujung pada pengabaian hak-hak dasar yang dijamin konstitusi. Penggunaan militer dalam jangka panjang bisa memicu ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan menimbulkan ketegangan sosial lebih lanjut.
- Reaksi dari Komunitas Internasional: Tindakan yang terlalu tegas atau otoriter bisa memicu kritik dari komunitas internasional, terutama terkait dengan pelanggaran HAM. Dalam dunia yang semakin mengedepankan prinsip demokrasi dan HAM, kebijakan yang terlalu keras bisa merusak reputasi Indonesia di panggung global.
Menggunakan Teori Locke dalam Konteks Indonesia
Sebaliknya, jika saya memilih teori Locke, saya akan lebih mengutamakan perlindungan terhadap hak-hak individu, dengan segala pembatasan yang dimiliki negara terhadap penggunaan kekuatan. Dalam pandangan Locke, negara seharusnya tidak bisa bertindak sewenang-wenang, dan setiap tindakan, baik itu militer atau kebijakan lainnya, harus dilandasi dengan prinsip keadilan dan proporsionalitas.
Mengapa memilih Locke?
- Penghormatan terhadap Hak Individu: Negara tidak boleh mengabaikan hak-hak dasar yang dilindungi konstitusi hanya karena alasan keamanan. Walaupun ada ancaman dari KKB, negara harus memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil tetap dalam kerangka hukum dan menghormati prinsip keadilan.
- Pendekatan yang Lebih Humanis dan Solutif: Menggunakan pendekatan yang lebih mengutamakan dialog dan penyelesaian damai bisa memberikan solusi jangka panjang yang lebih stabil. Upaya untuk melibatkan masyarakat dalam penyelesaian konflik juga dapat mengurangi ketegangan yang berlarut-larut.
Namun, tantangan dari pendekatan Locke adalah:
- Menghadapi Ancaman yang Terus Menerus: Terkadang pendekatan yang mengedepankan hak individu dan dialog bisa mempersulit penyelesaian konflik yang melibatkan kelompok bersenjata yang tidak mendengarkan alasan. Jika KKB terus melakukan kekerasan tanpa memperhatikan peraturan, pendekatan ini bisa berisiko tidak efektif.
- Terhambat oleh Pertimbangan Hukum dan Keadilan: Menerapkan prinsip keadilan dan proporsionalitas bisa membatasi kemampuan negara untuk bertindak cepat dan tegas ketika dibutuhkan, yang bisa berisiko jika situasi semakin memburuk.
"Apa yang Akan Saya Lakukan jika Kedua Teori Ini Menimbulkan Masalah?"
Jika saya harus memilih antara dua teori tersebut dan melihat potensi masalah yang muncul dari masing-masing pendekatan, saya akan berusaha untuk menyeimbangkan kedua teori tersebut dalam kebijakan praktis. Hal ini sangat penting dalam konteks Indonesia yang beragam, di mana pendekatan yang terlalu otoriter atau terlalu liberal bisa menyebabkan ketegangan sosial dan politik.
Langkah yang akan saya ambil:
1. Pendekatan Keseimbangan antara Keamanan dan Hak Asasi Manusia: Saya akan tetap memprioritaskan keamanan nasional dan stabilitas sosial, seperti yang diajukan oleh Hobbes, namun dengan syarat bahwa setiap kebijakan yang diterapkan harus tetap dalam kerangka hukum dan menghormati hak-hak dasar. Saya akan berusaha menghindari tindakan yang terlalu represif atau melanggar prinsip keadilan.
2. Penerapan Hukum yang Tegas dan Progresif: Negara harus mampu mengadopsi kebijakan yang dapat menjaga ketertiban, namun dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Misalnya, dalam situasi darurat, negara dapat memberlakukan aturan khusus yang membatasi kebebasan tertentu untuk jangka waktu yang terbatas, tetapi dengan transparansi dan akuntabilitas yang tinggi.
3. Dialog dan Rekonsiliasi: Meski menggunakan pendekatan Hobbes yang lebih otoriter, saya akan berusaha membuka saluran dialog untuk menyelesaikan konflik secara damai. Saya percaya bahwa penyelesaian damai dan rekonsiliasi jangka panjang lebih efektif dalam meredakan ketegangan sosial dan mengurangi perlawanan dari kelompok-kelompok bersenjata.
4. Mengevaluasi Secara Berkala: Saya akan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tetap sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan tidak menyebabkan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat. Proses ini harus transparan dan melibatkan masukan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan komunitas internasional.
Jika saya harus memilih, saya cenderung memilih untuk mengadopsi elemen-elemen dari teori Hobbes, mengingat ancaman yang ada dari KKB. Keamanan negara adalah prioritas utama, tetapi dengan tetap menjaga keseimbangan antara otoritas negara dan penghormatan terhadap hak-hak individu. Tentu saja, setiap tindakan yang diambil harus tetap dalam kontrol yang ketat, dengan pengawasan yang memadai, agar tidak menjadi otoriter secara permanen. Ini adalah jalan tengah yang mencoba memadukan ketegasan dalam menghadapi ancaman dengan perlindungan terhadap prinsip-prinsip dasar demokrasi dan HAM.
"Lalu, apakah tindakan KKB dapat dibenarkan dari sudut pandang moral?"
Tindakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sulit untuk dibenarkan secara moral, terutama dari beberapa perspektif filsafat moral:
- Deontologi (Kewajiban Moral): Dari sudut pandang deontologis, tindakan KKB salah karena melanggar hak hidup dan martabat manusia. Kekerasan yang mereka lakukan, meskipun mungkin didorong oleh tujuan tertentu, tetap dianggap salah karena melanggar prinsip dasar moral untuk menghormati kehidupan dan keamanan.
- Utilitarianisme: Dari perspektif utilitarian, meskipun KKB mungkin berargumen bahwa mereka berjuang untuk keadilan atau kebebasan, kekerasan mereka seringkali menghasilkan lebih banyak penderitaan daripada manfaat. Dampak negatif dari kekerasan ini, seperti korban jiwa dan kerusakan sosial, lebih besar daripada keuntungan yang mereka klaim dapat dicapai.
- Teori Keadilan (John Rawls): Dalam pandangan Rawls, ketidaksetaraan yang dirasakan oleh KKB mungkin dapat dipahami, namun tindakan kekerasan mereka tidak akan mengarah pada keadilan sosial yang lebih besar. Sebaliknya, kekerasan cenderung memperburuk ketidakadilan dan merusak kesejahteraan kolektif.
Secara keseluruhan, tindakan KKB sulit dibenarkan secara moral karena mengabaikan prinsip-prinsip dasar seperti penghormatan terhadap kehidupan, keadilan, dan dampak sosial jangka panjang. Meskipun mereka mungkin memiliki alasan yang mendalam, cara yang mereka pilih untuk mencapainya—melalui kekerasan—lebih banyak merugikan daripada memberi manfaat.
Filsafat sebagai Panduan, bukan Solusi Mutlak
Dalam menghadapi dilema antara HAM dan keamanan nasional, filsafat memberikan pandangan penting dalam membuat keputusan yang adil. Teori Hobbes menekankan keamanan, sementara teori Locke menekankan perlindungan hak individu. Keseimbangan antara keduanya sangat penting agar negara tidak jatuh ke dalam otoritarianisme.
Filsafat membantu kita melihat tindakan secara holistik, mempertimbangkan niat, akibat, dan prinsip moral. Meskipun KKB mungkin merasa perjuangan mereka sah, kekerasan mereka bertentangan dengan nilai-nilai moral universal. Oleh karena itu, penyelesaian konflik harus menghormati HAM dan keadilan sosial, bukan hanya mengutamakan keamanan.
Namun, filsafat tidak sepenuhnya "menang" dalam konflik ini. Meskipun filsafat memberikan wawasan yang sangat penting, ia lebih berfungsi sebagai panduan moral dan etika untuk membantu negara menjaga keseimbangan antara keamanan dan hak individu. Penyelesaian konflik harus melibatkan keseimbangan antara teori dan praktik, dengan filsafat sebagai alat untuk membuat keputusan yang adil dan berkelanjutan.
Dengan berpegang pada prinsip-prinsip filsafat yang mengutamakan keseimbangan antara kekuasaan negara dan hak individu, serta mendukung penyelesaian konflik melalui dialog dan rekonsiliasi, kita dapat berharap menemukan jalan keluar yang adil dan berkelanjutan untuk permasalahan ini. Kebijakan negara dalam menangani ancaman terhadap keamanan dan hak asasi manusia tetap membutuhkan keseimbangan antara teori dan praktik. Filsafat adalah alat yang membantu negara dalam membuat keputusan yang lebih adil dan berkelanjutan, meskipun keputusan akhir harus disesuaikan dengan realitas praktis yang ada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI