Mohon tunggu...
Muhammad Ali
Muhammad Ali Mohon Tunggu... Lainnya - Berdaulat Atas Diri Sendiri

AKU MENULIS, MAKA AKU ADA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

HAM vs Keamanan Nasional: Apakah Justru Filsafat yang Akan Menang?

24 Januari 2025   11:05 Diperbarui: 24 Januari 2025   11:05 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Koleksi pribadi

Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, konflik antara HAM dan keamanan nasional menjadi salah satu dilema terbesar yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Negara sering kali berada di persimpangan jalan: apakah mereka harus mengutamakan keamanan dan stabilitas demi kepentingan bersama, ataukah mereka harus melindungi hak-hak individu yang dilindungi oleh konstitusi dan prinsip-prinsip kemanusiaan?

Di Indonesia, isu ini semakin relevan dengan adanya kelompok-kelompok seperti Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), yang mengancam ketertiban di wilayah-wilayah tertentu, menambah ketegangan antara keamanan nasional dan penghormatan terhadap HAM. Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan besar: apakah negara harus menempuh jalan kekerasan demi melindungi keamanannya, ataukah ada cara yang lebih manusiawi dan adil, yang sejalan dengan filsafat moral dan keadilan sosial?

Artikel ini akan menggali perdebatan filosofis mengenai bagaimana filsafat, baik dari perspektif filsafat politik, etika, maupun teori keadilan, dapat memberikan wawasan dalam menyikapi konflik antara HAM dan keamanan nasional. Apakah keamanan memang lebih penting daripada hak-hak individu, ataukah filsafat akan menawarkan solusi yang lebih baik dan adil untuk kedua pihak?

Apa Hak Negara untuk melibatkan militer dalam penyelesaian konflik dengan KKB?

Mengaitkan teori politik dari Thomas Hobbes dan John Locke dalam konteks pertanyaan tentang hak negara untuk melibatkan militer dalam penyelesaian konflik dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dapat memberikan wawasan yang mendalam. Kedua filsuf ini memiliki pandangan yang berbeda mengenai kekuasaan negara, terutama dalam hal pembenaran penggunaan kekuatan atau kekerasan oleh negara.

Perspektif Hobbes: Kekuasaan Negara dan Penggunaan Kekuatan

Thomas Hobbes, dalam karya terkenalnya Leviathan (1651), berargumen bahwa untuk menjaga ketertiban dan mencegah kekacauan, individu harus menyerahkan sebagian hak-haknya kepada negara yang memiliki otoritas absolut. Hobbes menggambarkan keadaan alami manusia sebagai "perang semua melawan semua" (bellum omnium contra omnes), di mana tanpa kekuasaan yang terpusat, kehidupan manusia akan penuh dengan ketakutan dan kekerasan.

Menurut Hobbes, negara (yang ia gambarkan sebagai Leviathan) diberi kewenangan mutlak untuk menjaga perdamaian dan ketertiban sosial, bahkan jika itu berarti menggunakan kekuatan militer atau kekerasan. Dalam konteks konflik dengan KKB, Hobbes akan mendukung tindakan tegas dari negara, termasuk menggunakan militer, untuk memastikan stabilitas dan mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap ketertiban sosial. Bagi Hobbes, keselamatan dan keamanan negara lebih penting daripada perlindungan terhadap hak-hak individu jika keduanya bertentangan.

Implikasi terhadap konflik KKB:

  • Hobbes mungkin berpendapat bahwa negara memiliki hak untuk mengerahkan militer dalam penyelesaian konflik dengan KKB, dengan alasan bahwa ancaman terhadap keamanan nasional membenarkan tindakan keras.
  • Dalam perspektif Hobbesian, hak individu untuk bebas mungkin dipandang lebih rendah dibandingkan dengan kewajiban negara untuk menjaga ketertiban sosial dan keamanan negara.

Perspektif Locke: Kekuasaan Negara dan Perlindungan Hak Individu

Sementara Hobbes lebih menekankan pentingnya kekuasaan negara yang mutlak, John Locke memiliki pandangan yang berbeda dalam hal kekuasaan negara. Dalam Two Treatises of Government (1689), Locke berpendapat bahwa negara dibentuk untuk melindungi hak-hak alamiah individu—terutama hak atas hidup, kebebasan, dan properti. Locke menganggap bahwa kekuasaan negara harus dibatasi oleh hukum dan bahwa negara tidak boleh menggunakan kekuatan secara sembarangan.

Menurut Locke, negara harus bertindak sebagai pelindung hak-hak individu dan bukan sebagai otoritas absolut yang dapat semena-mena menggunakan kekuatan. Negara memiliki hak untuk menggunakan kekerasan hanya dalam situasi tertentu, misalnya untuk mempertahankan ketertiban atau untuk membela hak individu terhadap ancaman. Namun, penggunaan kekuatan negara harus selalu proporsional dan sejalan dengan hukum.

Implikasi terhadap konflik KKB:

  • Locke mungkin akan mengakui bahwa negara memiliki hak untuk menggunakan militer jika KKB mengancam hak-hak dasar individu (seperti kehidupan dan keamanan). Namun, negara harus menggunakan kekuatan secara terbatas dan proporsional.
  • Dalam kerangka Locke, penggunaan militer oleh negara harus selalu di bawah pengawasan hukum, dan tindakan yang diambil harus sesuai dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia.

Perbandingan antara Hobbes dan Locke dalam Konteks KKB

  • Hobbesian Approach: Jika negara menghadapi ancaman terhadap ketertiban dan keamanan, seperti yang ditimbulkan oleh KKB, maka tindakan tegas seperti penggunaan militer dapat dibenarkan. Keamanan negara menjadi prioritas utama, dan pembatasan hak individu (misalnya, dengan mengorbankan kebebasan bergerak atau hak untuk tidak disiksa) bisa dibenarkan demi mencegah kerusuhan yang lebih besar.
  • Lockean Approach: Di sisi lain, Locke akan lebih menekankan pada perlindungan hak-hak individu. Meski begitu, negara masih bisa menggunakan militer, tetapi hanya jika KKB benar-benar mengancam hak-hak dasar. Penggunaan kekuatan harus proporsional dan sesuai dengan prinsip keadilan, dan upaya-upaya non-kekerasan atau solusi yang lebih humanis harus diprioritaskan jika memungkinkan.

Kaitannya dengan Realitas di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, yang menghadapi tantangan dari kelompok seperti KKB di Papua, perdebatan antara keduanya menjadi sangat relevan. Jika mengikuti pendekatan Hobbes, negara Indonesia mungkin merasa berkewajiban untuk menggunakan militer untuk menjaga stabilitas di wilayah yang terganggu, terutama ketika ancaman terhadap keselamatan dan ketertiban sosial dianggap sangat serius. Namun, dari sudut pandang Locke, Indonesia harus memastikan bahwa penggunaan militer dilakukan secara proporsional dan menghormati hak asasi manusia, mengingat pentingnya perlindungan terhadap hak individu dalam sistem demokrasi.

Dalam prakteknya, Indonesia mungkin harus berupaya mencari keseimbangan antara menjaga keamanan nasional dan memastikan bahwa hak asasi manusia tetap dilindungi, dengan mempertimbangkan solusi dialog dan penyelesaian damai yang dapat mengurangi ketegangan tanpa harus mengandalkan kekerasan.

"Namun pada kenyataan nya, KKB seringkali "memenangkan kondisi" dalam peperangan ketika melawan TNI dengan berlindung pada jubah "HAM". Apakah teori Hobbes bisa digunakan, atau justru teori Locke lah yang terus menerus diterapkan?"

Ini merupakan poin yang sangat menarik dan benar-benar menyentuh inti dari dilema yang dihadapi negara dalam menangani konflik dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Dalam situasi seperti ini, teori Hobbes dan Locke dapat memberikan pandangan yang sangat berbeda, namun keduanya memiliki relevansi dalam konteks pertanyaan mengenai "hak negara untuk melibatkan militer dalam penyelesaian konflik," serta bagaimana hal ini berhubungan dengan filsafat politik dan etika.

KKB yang "memenangkan kondisi" dengan berlindung pada jubah HAM

Ketika KKB menggunakan "jubah HAM" untuk memperoleh perlindungan dari tindakan militer atau kekerasan, ini memang menciptakan dilema yang rumit bagi negara. Mereka berusaha menggunakan prinsip hak asasi manusia (HAM) untuk menghindari upaya keras negara yang ingin memulihkan ketertiban dan mengamankan wilayah, sementara di sisi lain, mereka terus melakukan tindakan yang mengancam keamanan negara.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang batasan penggunaan kekuasaan negara dalam menghadapi ancaman semacam ini, terutama ketika ancaman tersebut disertai dengan klaim atau pembenaran berdasarkan hak asasi manusia.

Apakah Teori Hobbes Bisa Digunakan?

Dalam teori Hobbes, seperti yang telah dibahas sebelumnya, negara memiliki hak untuk menggunakan kekuatan militer secara tegas untuk menjaga keamanan dan ketertiban sosial. Hobbes akan berpendapat bahwa dalam situasi seperti ini, negara memiliki otoritas mutlak untuk melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merusak tatanan sosial—termasuk ancaman dari KKB yang memanfaatkan perlindungan HAM. Hobbes percaya bahwa tanpa adanya otoritas absolut, ketertiban akan runtuh dan kehidupan manusia akan jatuh dalam kekacauan (state of nature).

Namun, di sisi lain, masalah muncul ketika tindakan negara bertentangan dengan prinsip HAM yang ingin dilindungi, dan KKB dengan sengaja memanfaatkan prinsip HAM untuk mendapatkan perlindungan. Hobbes mungkin tidak terlalu khawatir dengan hal ini, karena tujuannya adalah mengutamakan keselamatan dan keamanan kolektif—meskipun pada tingkat praktis, hal ini akan menimbulkan perdebatan tentang seberapa jauh negara dapat menggunakan kekerasan dalam konteks ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun