"Logika sebagai kapasitas adaptif".
“Jika hari ini hujan, maka jalanan basah. Hari ini hujan, maka saya ketiduran”. Ini penyimpulan yang logis atau tidak? Dan mengapa demikian? Apa yang sebetulnya dimaksud dengan logis dan apa yang sebetulnya dimaksud dengan tidak logis? Mari kita bahas dalam artikel ini untuk melihat jawabannya.
Kita biasa berpikir tentang yang logis dan yang tidak logis. Kita seringkali merasa bahwa pendapat orang itu tidak logis. Misalnya seperti contoh tadi di awal paragraf, “Jika hari ini hujan, maka jalanan basah. Hari ini hujan, maka saya ketiduran”. Kesimpulannya, pada umumnya orang-orang mengharapkan jalanan basah, tetapi muncul “saya ketiduran”. Hal tersebut merupakan satu hal yang tidak simultan dengan premis-premis di awal. Karena diawal tadi dinyatakan bahwa “jika hari ini hujan, maka jalanan basah”, bukan “maka saya tertidur”.
Kenapa orang bisa beranggapan bahwa penyimpulan seperti tadi itu tidaklah logis? Kenapa orang punya sense atau perasaan atau kepekaan terhadap apa yang logis dan yang tidak logis? Lalu dari mana sebetulnya datangnya kepercayaan kita pada logika tersebut? Tentu yang saya persoalkan disini adalah apakah logika itu bisa dipegang atau bisa dipercayai 100%, ataukah dia hanya bisa diandalkan dalam kasus-kasus tertentu saja. Kalau kita bicara tentang penyimpulan, apakah kita dalam penyimpulan kita harus berpegang pada logika atau sebetulnya itu opsional saja sifatnya.
Ada beberapa argumen yang ingin menunjukkan bahwa logika itu sifatnya opsional saja dalam penyimpulannya. Satu argumen misalnya disebut sebagai argumen Psychologistic, yaitu argumen bahwa logika sebetulnya adalah bagian dari cara kita merespon situasi di sekitar. Dia adalah produk dari mentalitas kita, cara kita mengalami sesuatu, merasakan, dan menyimpulkan merupakan bagian dari proses yang tidak terpisahkan. Tidak ada suatu hal yang secara khusus bersifat logika. Dia berpadu dengan keseluruhan hidup kita yang mengandung dimensi perasaan, mengandung dimensi-dimensi yang lain. Bukan hanya rasionalitas saja.
Teori pikiran ini berasumsi bahwa logika adalah konstruksi mental. Artinya, masyarakat menciptakan pedoman pengambilan keputusan, yang kemudian disepakati oleh banyak orang. Sehingga, didasarkan pada suatu konvensi yang pada dasarnya sifatnya psikologis. Argumen semacam ini adalah suatu argumen yang usianya tua dan sampai sekarang masih berjaya di kalangan tertentu.
Misalnya, jika seseorang mempelajari psikologi atau ilmu saraf, berarti mereka mempelajari proses kognitif. Tentang bagaimana orang mendekati keputusan atau pengetahuan tertentu. Ini semua didasarkan pada proses yang logis. Dalam keadaan apa pun, ini dapat dianggap sebagai proses neurologis. Proses yang terjadi di otak kita.
Jadi, bisa dibayangkan jika manusia saat ini tidak terbuat dari bahan organik tubuh kita, melainkan terbuat dari seng atau besi, mereka mungkin akan berpikir berbeda. Misalnya, seperti modus tollens "jika p maka q", "jika tidak q maka tidak p". Ini adalah penyimpulan yang sahih. Dia selalu benar di sembarang kesempatan.
Tapi boleh jadi ketika manusia itu struktur otaknya, atau proses neurofisiologis nya beda, misal dia terbuat dari seng atau dari emas atau dari apa, yang disebut sebagai modus tollens tadi bisa dianggap tidak sahih ya, mungkin saja begitu. Mungkin semua hukum logika yang kita miliki didasarkan pada organisme yang dibangun berdasarkan pemikiran yang sama seperti contoh ini. Jangan sampai semua aturan logika hanya sekedar memberi manfaat bagi syaraf-syaraf kita. Inilah argumen kontemporer dari psikologi tadi.
Nah, argumen yang sifatnya Psychologistic semacam ini mengalami kendala atau ada cacatnya. Yaitu ketika dia berusaha menjelaskan misalnya seperti pengetahuan matematis. Pengetahuan matematis sepenuhnya didasarkan pada logika. Kenapa orang bisa sampai pada kesimpulan 1 + 1 = 2.
Hal tersebut tidak dipengaruhi oleh adanya sebuah kultur. Yang artinya, orang dimanapun diseluruh dunia ini dari zaman kapanpun akan bisa sepakat bahwa 1 + 1 = 2 tanpa ada yang mengajarkan. Mereka sendiri mampu untuk mengkonfirmasinya melalui penjumlahan sederhana, mereka akan sampai pada konsep tentang 2 yang didapat dari penjumlahan 1 ditambah 1.
Artinya, ada suatu proses yang sifatnya objektif. Bukan semata subjektif berakar pada mental kita. Namun, bagian dari satu objektivitas. Dan misalnya jika matematika ini didasarkan pada suatu proses syaraf manusia ,sesuatu yang sangat subjektif yang tergantung dari komposisi kimia organik seperti tadi. Maka, kalian tentu saja punya matematika yang berbeda. Kalau dia dibentuk oleh misalnya silikon bukan dari karbon, maka tentu saja dia punya matematika yang berbeda.
Anehnya, hukum matematis yang kita temukan lewat fisika kita ini, yang berlaku di bumi itu berlaku juga di tempat-tempat lain di seluruh alam semesta yang kita ketahui. Tidak ada satu sudut alam semesta dimana hukum matematikanya beda. Dari hal tersebut bisa disimpulkan bahwa, kalaupun ada makhluk alien yang komposisi syaraf otaknya itu terbentuk dari unsur-unsur kimiawi yang beda dari manusia maka, dia akan juga menghitung 1 + 1 = 2. Karena, hukum matematika itu berlaku di seluruh alam semesta ini.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa argumen Psychologistic tadi tidak memadai, tidak cukup kuat untuk menggagalkan keyakinan kita pada logika. Tapi masih ada argumen lainnya, argumen kedua ini saya beri nama argumen Ontologi. Argumen ini juga mempertanyakan kepercayaan kita pada logika.
Tadi ketika kita menyanggah argumen Psychologistic, kita menggunakan alasan-alasan objektivitas. Jadi, matematika itu berlaku di seluruh alam semesta ini dan seterusnya. Bahwa matematika dan logika yang mendasari matematika bukan hanya dari produk pikiran kita (yang kebetulan makhluk yang punya struktur kimia biologi seperti ini). Namun juga berlaku di semua makhluk yang nantinya akan ada, yang akan menghitung 1 + 1 = 2 dan menemukan hasil yang sama.
Lalu, bagaimana jika alam semestanya kita ubah?. Bayangkan suatu alam semesta dimana modus ponens atau hukum-hukum logika yang lain itu tidak pernah terlaksana. Pola-pola penyimpulan itu tidak akan pernah terkonfirmasi di kenyataan. Modus ponens kita tahu itu adalah suatu model penyimpulan yang kita sebutkan di awal tadi, yaitu “jika hari ini hujan, maka jalanan basah. hari ini hujan, maka jalanan basah”. Itu adalah modus ponens yang dimana bentuk formalnya adalah “jika p maka q, p maka q”. Ini adalah bentuk penyimpulan logis yang diakui dimanapun sebagai sesuatu yang sahih. Tidak pernah ada modus ponens yang gagal. Kalau modus ponens gagal itu sama saja dengan tidak ada logika sama sekali. Saking fundamentalnya sampai bisa dikatakan seperti itu .
Nah, sekarang bayangkan dunia dimana modus ponens itu gagal. Dimana ketika kita ingin menarik kesimpulan “jika hari ini hujan, maka jalanan basah. hari ini hujan, maka jalanan tidak basah”. Misalnya hal seperti itu terjadi di kenyataan dan berulang-ulang sehingga membentuk satu pola.
Pola dimana modus ponens tidak pernah terlaksana. Ketika kita ingin mengambil kesimpulan modus ponens, kesimpulan akhirnya itu tidak pernah ketemu dengan kenyataan. Lama-kelamaan kita akan merasa bahwa penyimpulan modus ponens ini salah, karena tidak sesuai dengan kenyataan.
Tantangan yang dikemukakan oleh argumen Ontologis ini adalah bahwa seberapapun kita yakin pada logika kita, jika kenyataan berkata lain, logika kita pelan-pelan akan ikut berkata lain. Karena bahwa bagaimanapun logika adalah cara kita mengerti kenyataan. Kalau kenyataannya tidak bisa kita mengerti lewat logika yang satu, misalnya modus ponens itu maka kita tidak akan percaya bahwa modus ponens adalah suatu hukum logika. Inilah cara berpikir dari argumen Ontologi tadi. Implikasinya, jika dunia ini bekerja dengan cara tertentu secara regular, maka regularitas itu akan membekas pada pikiran kita sebagai logika.
Jadi, argumen Ontologis ini mengatakan persis seperti itu bahwa segala macam hukum logika yang kita bangun selama ini seperti modus ponens, modus tolens semuanya berdasarkan pada pengalaman kita berhadapan dengan dunia yang regular. Dunia yang memungkinkan suatu pola yang teratur, yang memungkinkan kita akhirnya menarik satu kanon pemikiran atau pakem pemikiran yang “pasti seperti ini”. Karena dunia toh selama ini regular. Jadi, intinya adalah bahwa regularitas dunia mengkondisikan regularitas berpikir yang kemudian kita sebut sebagai logika.
Nah, apakah kita akan menggunakan logika yang sama? Tentu logika kita akan bergeser berubah mengikuti kenyataannya. Cara kita menyimpulkan pun akan berubah mengikuti pola di kenyataan. Sehingga, logika dalam arti itu bisa dikatakan objektif dan oleh karena itu tidak sepenuhnya bisa dipercaya.
Karena objektivitas ini memiliki banyak versi, ada versi objektivitas yang berangkat dari pola regularitas tertentu dan ada versi objektivitas yang berangkat dari pola regularitas yang lain. Jadi, argumen objektivitas bisa dibalikkan sebagai satu senjata makan tuan. Dia justru bisa digunakan untuk menggagalkan klaim kepercayaan kita pada logika. Untuk mengeksplisitkan poin ini kita bisa membayangkan misalnya, Andaikan Tuhan ini menciptakan dunia dengan satu logika yang tidak mengenal modus ponens dan modus tollens.
Tuhan menciptakan dunia yang struktur logisnya itu bukan modus ponens dan bukan modus tollens, yang dimana 2 modus yang dianggap sahih ini tidak berlaku. Bayangkan Tuhan menciptakan dunia dengan model penyimpulan “non sequitur”. Non Sequitur adalah pola penyimpulan yang dianggap salah di semua diktat logika itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak sahih karena dia sifatnya kontradiktif.
Contohnya, “jika hari ini hujan, maka jalanan basah. hari ini hujan maka tertidur”. Contoh tersebut merupakan kesimpulan yang tidak ada kesinambungan. Antara kesimpulan dan premis tiba-tiba ada lompatan-lompatan seperti itu. Nah, bayangkan Tuhan bekerja dengan cara seperti itu ketika menciptakan dunia. Artinya, hukum alam keseluruhan dunia ini diwujudkan dengan pola penyimpulan non sequitur yang sifatnya random. Pertanyaannya adalah apakah logika kita yang akan kita rumuskan sebagai hukum logika adalah hukum logika non sequitur? Apakah kita akan percaya pada logika semacam itu?
Rasanya sulit jika kita mempercayai suatu logika yang bekerja atas dasar hukum non sequitur. Karena non sequitur itu adalah ketiadaan logika. Kita berangkat dengan premis ada apa saja sampai kesimpulan apa saja, itu sama saja kita tidak menggunakan logika apapun (bicara asal-asalan). Lalu, apakah mungkin kita menjadikan cara bicara asal seperti ini sebagai suatu yang kita percayai sebagai logika. Rasanya tidak mungkin, ya.
Dari situ bisa kita simpulkan bahwa, logika kita percayai karena mengantarkan kita pada semacam regularitas. Logika yang tidak mengantarkan kita pada kesadaran atau pemahaman tentang regularitas, tidak bisa kita jadikan pedoman untuk mengambil tindakan secara konsisten dan tidak akan bisa kita percayai.
Jadi, sebetulnya yang kita percayai ketika kita percaya pada logika itu bukanlah logikanya. Melainkan manfaatnya, konsistensinya, kemungkinan untuk bisa dijadikan patokan atau pegangan dan seterusnya. Itulah alasan mengapa kita percaya betul pada logika. Kenapa kita sangat suka bilang “kamu nggak logis, kamu logis" - dan seterusnya.
Memilah-milah mana yang logis dan mana yang tidak. Sebenarnya semua itu adalah ekspresi dari keinginan kita untuk pegangan. Kita ingin membayangkan satu tatanan hidup dunia yang teratur, yang tidak chaos. Inilah yang sebenarnya melandasi kepercayaan kita pada logika. Apa yang kita percayai pada momen seperti itu sebetulnya bukan logika, melainkan keinginan kita sendiri untuk mendapat pegangan, untuk mendapatkan keteraturan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H