Mohon tunggu...
Muhammad Ali
Muhammad Ali Mohon Tunggu... Lainnya - Berdaulat Atas Diri Sendiri

AKU MENULIS, MAKA AKU ADA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bisakah Logika Dipercaya?

10 September 2024   16:15 Diperbarui: 15 November 2024   08:25 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Pixabay.com 

Contohnya, “jika hari ini hujan, maka jalanan basah. hari ini hujan maka tertidur”. Contoh tersebut merupakan kesimpulan yang tidak ada kesinambungan. Antara kesimpulan dan premis tiba-tiba ada lompatan-lompatan seperti itu. Nah, bayangkan Tuhan bekerja dengan cara seperti itu ketika menciptakan dunia. Artinya, hukum alam keseluruhan dunia ini diwujudkan dengan pola penyimpulan non sequitur yang sifatnya random. Pertanyaannya adalah apakah logika kita yang akan kita rumuskan sebagai hukum logika adalah hukum logika non sequitur? Apakah kita akan percaya pada logika semacam itu?

Rasanya sulit jika kita mempercayai suatu logika yang bekerja atas dasar hukum non sequitur. Karena non sequitur itu adalah ketiadaan logika. Kita berangkat dengan premis ada apa saja sampai kesimpulan apa saja, itu sama saja kita tidak menggunakan logika apapun (bicara asal-asalan). Lalu, apakah mungkin kita menjadikan cara bicara asal seperti ini sebagai suatu yang kita percayai sebagai logika. Rasanya tidak mungkin, ya. 

Dari situ bisa kita simpulkan bahwa, logika kita percayai karena mengantarkan kita pada semacam regularitas. Logika yang tidak mengantarkan kita pada kesadaran atau pemahaman tentang regularitas, tidak bisa kita jadikan pedoman untuk mengambil tindakan secara konsisten dan tidak akan bisa kita percayai.

Jadi, sebetulnya yang kita percayai ketika kita percaya pada logika itu bukanlah logikanya. Melainkan manfaatnya, konsistensinya, kemungkinan untuk bisa dijadikan patokan atau pegangan dan seterusnya. Itulah alasan mengapa kita percaya betul pada logika. Kenapa kita sangat suka bilang “kamu nggak logis, kamu logis" - dan seterusnya. 

Memilah-milah mana yang logis dan mana yang tidak. Sebenarnya semua itu adalah ekspresi dari keinginan kita untuk pegangan. Kita ingin membayangkan satu tatanan hidup dunia yang teratur, yang tidak chaos. Inilah yang sebenarnya melandasi kepercayaan kita pada logika. Apa yang kita percayai pada momen seperti itu sebetulnya bukan logika, melainkan keinginan kita sendiri untuk mendapat pegangan, untuk mendapatkan keteraturan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun