Mohon tunggu...
Muhammad Ali
Muhammad Ali Mohon Tunggu... Lainnya - Berdaulat Atas Diri Sendiri

AKU MENULIS, MAKA AKU ADA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Bisa Bikin Gila, Benarkah?

17 April 2023   01:49 Diperbarui: 2 Juni 2023   00:34 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: idntimes.com

"Apakah belajar filsafat itu bisa membuat orang jadi gila, hilang akal, telanjang lari-lari di pinggir jalan?" 

Hal ini merupakan suatu mitos yang berkembang diakar para kalangan pembelajar filsafat.  Dan di artikel kali ini kita akan mencoba mengupasnya. Jadi, ada suatu kepercayaan entah darimana asalnya tepatnya dikalangan masyarakat umum bahwa orang yang belajar filsafat itu bisa jadi sangat mungkin menjadi orang gila pada kemudian harinya. Sehingga orang yang terlalu memikirkan masalah-masalah filsafat itu akan tenggelam dalam kegilaan. 

Dan hal seperti ini kita temukan juga ditingkat Universitas. Jika kita belajar di kampus-kampus filsafat biasanya itu kita ketika masuk semester semester awal itu mendapat cerita-cerita dari kakak kelas. 

Salah satunya tentunya adalah cerita tentang siapa yang gila di angkatan kesekian. Selalu ada cerita bahwa di masa sekian atau bahkan di masa kita masuk itu ada kakak kelas kita yang mengalami gejala-gejala kejiwaan. Mulai jadi telanjang di kampus, kemudian teriak-teriak dan ketawa-ketawa sendiri di lapangan, dst. 

Gejala-gejala yang menunjukkan pada kegilaan itu seringkali dijumpai dalam kehidupan kampus filsafat di Indonesia dan itu bukan hanya di 1-2 kampus, namun saya juga menemukan di beberapa tempat yang paling tidak di SMP saya mengalami situasi seperti itu. Ada semacam kegilaan di dalam filsafat di kampus lain juga sama. Jadi, banyak sekali aneka bentuk ekspresi dari kegilaan. 

Nah, ini merupakan suatu hal yang menarik mengapa filsafat itu bukan hanya dikira dekat dengan kegilaan, tetapi juga di dalam prakteknya ketika kita belajar filsafat dia memang dekat dengan kegilaan. Bukan hanya sesuatu yang dikira orang saja.

Alasan mengapa demikian, mengapa filsafat itu mungkin dekat dengan kegilaan antara lain bisa jadi karena filsafat itu mempertanyakan segala sesuatu termasuk hal-hal yang kita terima sebagai common sense, sebagai akal sehat. Misalnya bahwa orang itu harus mengikuti aturan, bahwa orang itu harus patuh pada orang yang lebih tua, harus menolong orang lain, harus tidak mengganggu ketertiban umum dan seterusnya. 

Petuah-petuah yang kita terima itu kemudian dipertanyakan ulang oleh filsafat. Jadi, bukan hanya sekedar masalah etika seperti itu. Pasalnya, hakikat dunia saja dipertanyakan oleh filsafat, apalagi hanya sekedar perkara patuh pada orang tua atau mengikuti aturan masyarakat. Dan itu adalah semacam pedang bermata dua. 

Ketika orang diberi kebebasan untuk mempertanyakan hal yang paling mendasar dalam kenyataan, orang itu bisa disatu sisi menggunakannya untuk kemudian mencetuskan suatu teori yang baru, katakanlah secara produktif mau berkontribusi pada perkembangan diskusi filsafat tetapi bisa juga pada sisi lain dari mata pisau itu adalah yang menggunakannya untuk mengintrogasi keseluruhan hidupnya sampai akhirnya dia tidak tahu harus berbuat apa. 

Akhirnya jadi gila, telanjang dan seterusnya. Ada semacam pedang bermata dua yang dibawa oleh nalar kritis. Ketika kita kritis memandang sesuatu, kita juga kritis memandang ideal-ideal diri kita sendiri. Ketika kita sudah bisa kritis terhadap ideal-ideal yang kita sayangi sendiri, cita-cita kita yang besar itu, maka sebetulnya kita seperti kehilangan landasan. 

Lalu, untuk apa hidup ini kalaupun ternyata ideal-ideal yang selama ini aku dambakan toh juga bisa aku permasalahkan, juga bisa aku gugat, bisa aku sanggah dan seterusnya. Jadi buat apa hidup ini? Disitulah mungkin berkembang suatu cara pendekatan terhadap hidup yang mulai dipersepsi oleh orang lain sebagai kegilaan. Dan kita tahu bahwa sebenarnya kegilaan itu bukan sesuatu yang pada dasarnya saklek. 

Yang disebut gila atau tidak gila waras itu sebenarnya suatu gradasi. Ada yang dianggap gila karena dia jauh sekali dari pola-pola masyarakat. Ada yang tidak dianggap gila, namun sebetulnya dia juga sudah agak jauh. Tapi posisinya mungkin di tengah-tengah. Jadi dia tidak dianggap terlalu gila. Hal ini adalah masalah gradasi sebetulnya bukan sesuatu yang hitam putih. 

Dan sebaliknya, orang yang sangat dipandang gila itu bisa melihat masyarakat juga dengan ekstremitas yang sama, seperti halnya dia dipandang oleh masyarakat. Sebenarnya itu suatu hal yang sifatnya perspektif, tergantung darimana kita menempatkan diri untuk melihat gejala tersebut. 

Itu adalah satu alasan kenapa orang yang belajar filsafat bisa gila. Yaitu, bahwa dengan mendapat nalar kritis, orang dapat  membongkar segala macam teori atau anggapan atau citra diri yang kemudian berujung pada penghancuran citra diri atau tentang masa depannya sendiri. Yang kemudian hal itu dapat membuatnya kehilangan orientasi (kehilangan arah) dan akhirnya menjadi gila. 

Itu merupakan 1 gejala. Nah, gejala kedua itu adalah suatu kegilaan dalam belajar filsafat yang muncul karena tidak menemukan outlet untuk mencurahkan ide-idenya. Ini juga seringkali saya jumpai dalam hal pengalaman saya ketika belajar filsafat. Aktivitas berfilsafat menurut saya itu sama sekali tidak bisa dilepaskan dari aktivitas tulis-menulis, terutama tulis-menulis bukan hanya sekedar diskusi-diskusi ngobrol-ngobrol. Tetapi, betul-betul menulis.

Kegilaan filsafat atau kegilaan yang bersifat filosofis pada dasarnya saya lihat sebetulnya adalah suatu frustrasi. Jadi,  frustrasi melihat dunia ini tidak berjalan sebagaimana yang diangankan. Kurang lebih pada hakikatnya seperti itu. 

Dan frustrasi ini muncul terutama karena dia tidak bisa mencurahkan ide-idenya atau dikenali sebagai orang yang memiliki ide-ide tersebut di dalam satu medium publikasi yang jelas. Artinya, dia hanya mencurahkan ide-ide jeniusnya itu secara lisan, lewat diskusi, berdebat menyerang orang lain secara lisan dan seterusnya. Tetapi ketika menulis malah berakhir mampet atau buntu. 

Nah, apa yang terjadi sebetulnya dalam situasi seperti itu? Apa yang terjadi ketika seseorang yang belajar filsafat secara serius itu tidak mampu menulis secara sistematis, secara layak untuk penerbitan? Hasilnya, situasi itu akan menghasilkan keadaan dimana seseorang yang belajar filsafat ini merasa tidak dipahami. 

Merasa seperti dia sudah punya pikiran-pikiran cemerlang yang bisa disampaikan secara lisan, dalam diskusi-diskusi di komunitas, namun ketika menulis dia tidak mampu atau gagap. Sehingga, publik tidak mengenal dia itu siapa. "Anda ini siapa?". 

Hal tersebut semacam diceraikan dari gambaran diri dia yang seharusnya. Dia ini harusnya dianggap oleh orang lain sebagai seorang intelektual. Tetapi, berhubung dia tidak menulis, pada akhirnya orang tidak tahu jika dia adalah seorang intelektual atau bukan. Dan oleh karena itu orang melihatnya sebagai orang yang biasa-biasa saja, orang yang suka diskusi-diskusi. Hal tersebut yang mungkin membuat yang bersangkutan ini kemudian merasa mampet atau buntu. 

Buntu kenapa dia tidak mampu merealisasikan roh absolut yang ada dalam dirinya. Yang kemudian tidak sanggup dikeluarkan sehingga itu berputar-putar didalam dirinya tanpa bisa diselesaikan. Pada akhirnya ketika mendapati masalah apa saja tiba-tiba bisa jadi meluap sebagai suatu kegilaan. Dan itu ditemukan dalam kondisi pembelajaran fisafat di Indonesia.

Saya memiliki  teman yang seperti itu yang jago sekali dalam membaca suatu permasalahan filsafat. Bahkan, dia yang memperkenalkan saya caranya mendekati suatu persoalan filsafat, mendekati teks-teks dari Barat seperti Marcus Aurelius, Karl Marx dan Nietzsche. Tetapi ketika dia mendapat giliran untuk menulis artikel untuk jurnal atau majalah dan semacamnya, tata bahasa yang diberikan sangat kacau balau. Struktur kalimat yang diberikan tidak benar. Sehingga orang tidak bisa menerbitkannya karena tidak bisa dipahami oleh pembaca umum. 

Kita tahu filsafat itu memang pada dasarnya sulit dipahami, tetapi ketika filsafat itu sendiri dituliskan secara sistematis pada hakikatnya bisa dipahami oleh masyarakat. Pada permasalahan ini, sudah filsafatnya sulit dipahami, kalimat dalam bahasa Indonesianya pun tidak bisa dipahami juga, pada akhirnya tidak mampu untuk dicerna sama sekali oleh masa atau publik. Oleh karena itu tulisan-tulisan yang telah dibuatnya tidak bisa terbit. Dan itu memberikan semacam hal yang dimana dia merasa diberangus, dia merasa tidak dipahami. 

Saya melihatnya sebagai semacam fenomena waham tertentu, delusi, undiscover genius (seorang jenius yang belum ditemukan). Jadi citraan diri seperti itu yang membuatnya semakin hari semakin berhadapan dengan situasi seperti "Mengapa dunia tidak berterima kasih kepada saya?" Padahal saya ini kan sudah punya pikiran-pikiran yang cemerlang". Nah, rasa mampet yang tak terselesaikan yang dialaminya pada akhirnya jadi suatu kegilaan. Problem utama dari kegilaan dalam filsafat itu boleh jadi adalah suatu problem mengenai kemampuan menulis sebetulnya. Itu yang kurang lebih yang mau saya garisbawahi di artikel kali ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun