Saya memiliki  teman yang seperti itu yang jago sekali dalam membaca suatu permasalahan filsafat. Bahkan, dia yang memperkenalkan saya caranya mendekati suatu persoalan filsafat, mendekati teks-teks dari Barat seperti Marcus Aurelius, Karl Marx dan Nietzsche. Tetapi ketika dia mendapat giliran untuk menulis artikel untuk jurnal atau majalah dan semacamnya, tata bahasa yang diberikan sangat kacau balau. Struktur kalimat yang diberikan tidak benar. Sehingga orang tidak bisa menerbitkannya karena tidak bisa dipahami oleh pembaca umum.Â
Kita tahu filsafat itu memang pada dasarnya sulit dipahami, tetapi ketika filsafat itu sendiri dituliskan secara sistematis pada hakikatnya bisa dipahami oleh masyarakat. Pada permasalahan ini, sudah filsafatnya sulit dipahami, kalimat dalam bahasa Indonesianya pun tidak bisa dipahami juga, pada akhirnya tidak mampu untuk dicerna sama sekali oleh masa atau publik. Oleh karena itu tulisan-tulisan yang telah dibuatnya tidak bisa terbit. Dan itu memberikan semacam hal yang dimana dia merasa diberangus, dia merasa tidak dipahami.Â
Saya melihatnya sebagai semacam fenomena waham tertentu, delusi, undiscover genius (seorang jenius yang belum ditemukan). Jadi citraan diri seperti itu yang membuatnya semakin hari semakin berhadapan dengan situasi seperti "Mengapa dunia tidak berterima kasih kepada saya?" Padahal saya ini kan sudah punya pikiran-pikiran yang cemerlang". Nah, rasa mampet yang tak terselesaikan yang dialaminya pada akhirnya jadi suatu kegilaan. Problem utama dari kegilaan dalam filsafat itu boleh jadi adalah suatu problem mengenai kemampuan menulis sebetulnya. Itu yang kurang lebih yang mau saya garisbawahi di artikel kali ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI