Lalu, untuk apa hidup ini kalaupun ternyata ideal-ideal yang selama ini aku dambakan toh juga bisa aku permasalahkan, juga bisa aku gugat, bisa aku sanggah dan seterusnya. Jadi buat apa hidup ini? Disitulah mungkin berkembang suatu cara pendekatan terhadap hidup yang mulai dipersepsi oleh orang lain sebagai kegilaan. Dan kita tahu bahwa sebenarnya kegilaan itu bukan sesuatu yang pada dasarnya saklek.Â
Yang disebut gila atau tidak gila waras itu sebenarnya suatu gradasi. Ada yang dianggap gila karena dia jauh sekali dari pola-pola masyarakat. Ada yang tidak dianggap gila, namun sebetulnya dia juga sudah agak jauh. Tapi posisinya mungkin di tengah-tengah. Jadi dia tidak dianggap terlalu gila. Hal ini adalah masalah gradasi sebetulnya bukan sesuatu yang hitam putih.Â
Dan sebaliknya, orang yang sangat dipandang gila itu bisa melihat masyarakat juga dengan ekstremitas yang sama, seperti halnya dia dipandang oleh masyarakat. Sebenarnya itu suatu hal yang sifatnya perspektif, tergantung darimana kita menempatkan diri untuk melihat gejala tersebut.Â
Itu adalah satu alasan kenapa orang yang belajar filsafat bisa gila. Yaitu, bahwa dengan mendapat nalar kritis, orang dapat  membongkar segala macam teori atau anggapan atau citra diri yang kemudian berujung pada penghancuran citra diri atau tentang masa depannya sendiri. Yang kemudian hal itu dapat membuatnya kehilangan orientasi (kehilangan arah) dan akhirnya menjadi gila.Â
Itu merupakan 1 gejala. Nah, gejala kedua itu adalah suatu kegilaan dalam belajar filsafat yang muncul karena tidak menemukan outlet untuk mencurahkan ide-idenya. Ini juga seringkali saya jumpai dalam hal pengalaman saya ketika belajar filsafat. Aktivitas berfilsafat menurut saya itu sama sekali tidak bisa dilepaskan dari aktivitas tulis-menulis, terutama tulis-menulis bukan hanya sekedar diskusi-diskusi ngobrol-ngobrol. Tetapi, betul-betul menulis.
Kegilaan filsafat atau kegilaan yang bersifat filosofis pada dasarnya saya lihat sebetulnya adalah suatu frustrasi. Jadi, Â frustrasi melihat dunia ini tidak berjalan sebagaimana yang diangankan. Kurang lebih pada hakikatnya seperti itu.Â
Dan frustrasi ini muncul terutama karena dia tidak bisa mencurahkan ide-idenya atau dikenali sebagai orang yang memiliki ide-ide tersebut di dalam satu medium publikasi yang jelas. Artinya, dia hanya mencurahkan ide-ide jeniusnya itu secara lisan, lewat diskusi, berdebat menyerang orang lain secara lisan dan seterusnya. Tetapi ketika menulis malah berakhir mampet atau buntu.Â
Nah, apa yang terjadi sebetulnya dalam situasi seperti itu? Apa yang terjadi ketika seseorang yang belajar filsafat secara serius itu tidak mampu menulis secara sistematis, secara layak untuk penerbitan? Hasilnya, situasi itu akan menghasilkan keadaan dimana seseorang yang belajar filsafat ini merasa tidak dipahami.Â
Merasa seperti dia sudah punya pikiran-pikiran cemerlang yang bisa disampaikan secara lisan, dalam diskusi-diskusi di komunitas, namun ketika menulis dia tidak mampu atau gagap. Sehingga, publik tidak mengenal dia itu siapa. "Anda ini siapa?".Â
Hal tersebut semacam diceraikan dari gambaran diri dia yang seharusnya. Dia ini harusnya dianggap oleh orang lain sebagai seorang intelektual. Tetapi, berhubung dia tidak menulis, pada akhirnya orang tidak tahu jika dia adalah seorang intelektual atau bukan. Dan oleh karena itu orang melihatnya sebagai orang yang biasa-biasa saja, orang yang suka diskusi-diskusi. Hal tersebut yang mungkin membuat yang bersangkutan ini kemudian merasa mampet atau buntu.Â
Buntu kenapa dia tidak mampu merealisasikan roh absolut yang ada dalam dirinya. Yang kemudian tidak sanggup dikeluarkan sehingga itu berputar-putar didalam dirinya tanpa bisa diselesaikan. Pada akhirnya ketika mendapati masalah apa saja tiba-tiba bisa jadi meluap sebagai suatu kegilaan. Dan itu ditemukan dalam kondisi pembelajaran fisafat di Indonesia.