Artikel pilihan kali ini tentang Stigma pada suami tentang penghasilan. Sungguh topik yang menarik dan pernah dialami oleh salah satu teman baik saya.
Jadi teringat beberapa bulan lalu ketika teman baik saya memutuskan untuk memilih berpisah dengan suami (sekarang mantan) dan karena kapasitas teman saya sebagai PNS harus proses dulu ke tingkat dinas kabupaten dan harus melalui berbagai proses baru bisa ke pengadilan. Pada saat itu ternyata bukan teman saya saja yang memutuskan untuk berpisah, namun ada lebih dari lima PNS yang juga mengajukan proses perceraian.
Faktor terbesarnya ternyata sama karena masalah ekonomi. Bahkan di masa pandemi ini jumlah pasangan yang mendaftar ke Pengadilan Agama lebih banyak dibanding ketika masa sebelum pandemi.
Menurut teman saya yang bekerja di Pengadilan Agama mengatakan bahwa selama pandemi ini sudah lebih dari 500 pasangan dan itu terjadi di beberapa daerah. Rata-rata melakukan gugatan perceraian yang kebanyakan disebabkan karena faktor ekonomi, perselingkuhan, KDRT bahkan hutang piutang.
Tidak bisa dipungkiri, di masa pandemi kondisi perekonomian kita dalam tahap menurun sedangkan harga kebutuhan pokok semakin tinggi. Banyak perusahaan yang bangkrut dan membuat karyawannya di PHK. Sehingga mereka yang di PHK harus memutar balik mencari celah usaha agar dapur rumah tetap ngebul dan agar kebutuhan keluarga tetap tercukupi.
Proses perceraian karena ekonomi itu seharusnya tidak terjadi jika dari awal sudah ada komunikasi dan komitmen yang disepakati bersama sebelum menikah.
Kasus teman baik saya karena perkenalannya singkat dengan pasangannya dan karena faktor perjodohan jadi tidak sempat ada pembicaraan soal keuangan. Dia hanya tahu bahwa suaminya bekerja namun penghasilan suaminya yang hanya karyawan koperasi simpan pinjam lebih kecil dari penghasilannya sebagai PNS dan saat itu dia menerimanya yang penting pasangannya bekerja dan punya penghasilan.
Namun ada yang temanku lupa bahwa yang namanya bukan karyawan tetap, suatu waktu bisa diberhentikan pekerjannya dan itu terbukti ketika pandemi, suaminya di rumahkan tanpa pesangon sehingga semenjak pandemi tidak ada pemasukan dari suaminya apalagi setelah tahu bahwa ternyata suaminya tipikal pemalas dan ketergantungan keluarga.
Karena tidak ada komunikasi dan komitmen bersama soal penghasilan akhirnya kondisi keuangan tidak dapat terkontrol dan sering menimbulkan konflik.
Selain itu seharusnya seorang suami atau lelaki dalam keadaan apapun tetap harus bertanggung jawab pada pasangannya. Berusaha bekerja walaupun itu sebagai ojek online atau berjualan.
Jangan mentang-mentang istrinya bekerja dan punya penghasilan tetap dan bisa membiaya kebutuhan rumah tangga terus suami lepas tanggung jawab begitu saja. Bagaimanapun suami tetap harus bertanggung jawab karena dia adalah kepala rumah tangga.
Beberapa ulama sepakat bahwa pemberian nafkah merupakan suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan dan terkait dengan kebutuhan pokok manusia. Kebutuhan pokok yang sebelumnya hanya mencakup kebutuhan makan, pakaian, dan tempat tinggal, saat ini mengalami perluasan, seperti kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, kewajiban suami dalam menafkahi istri juga bertambah.
Suami adalah tulang punggung dalam keluarga sementara penghasilan istri hanya membantu menutupi kekurangan penghasilan suami. Suami seharusnya jangan malas bekerja, jangan malas mencari nafkah hanya karena kebutuhannya dan kebutuhan rumah tangga sudah tercukupi oleh gaji istrinya. Seorang suami jangan pernah berkata "kamu ini PNS, kamu ini sudah bekerja tetap jadi tidak dinafkahi tidak apa-apa"
Padahal buat seorang istri, meskipun penghasilan suami sedikit namun karena penghasilan itu didapat dari kerja keras suami tentu saja istri menerima penghasilan suaminya itu.
Seorang suami harusnya bersifat lebih terbuka dan jujur kepada istri khususnya dalam hal penghasilan dan keuangan lainnya. Meskipun suami memberi penghasilan bulannya pada istrinya, meskipun penghasilannya sedikit namun tak jarang suami tidak pernah memberi tahu istri tentang pemasukan lain yang dia dapat dari pekerjaannya maupun pemberian dari keluarganya.Â
Ketidakterbukaan suami soal keuangan inilah yang bisa menimbulkan konflik rumah tangga apalagi ketika istri tahu dari orang lain tentang uang masuk selain dari gaji tetap suaminya.Â
Jangan sampai istri berjuang cari nafkah sendiri sementara di sisi lain suami malah membohongi istrinya dengan berkata tidak punya uang padahal ada uang di dompetnya.Â
Lalu sebaiknya jika istri punya penghasilan lebih besar dari suami, seharusnya menjadi motivasi untuk suami agar bekerja lebih ekstra apalagi ada istilah uang istri adalah uang istri tapi uang suami adalah uang istri. Istri itu "dibeli" dari orang tuanya dan wajib dinafkahi. Apalagi mengingat setiap tahun harga kebutuhan pokok dan biaya anak sekolah semakin mahal.
Alangkah baiknya jika penghasilan suami digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan penghasilan istri selain untuk membantu kekurangan juga bisa ditabung untuk keperluan di saat urgent atau untuk di masa depan.
Lalu jika istri bekerja dan suami tidak bekerja sebaiknya seorang suami berbuat sesuatu yang tidak membebani istrinya. Misalnya dengan membuka usaha di rumah ataupun membantu pekerjaan istri di rumah. Apa jadinya jika seorang istri yang bekerja di luar namun juga harus tetap melayani suaminya, mengurusi rumah tangganya sementara suami tidak bekerja dan malah asyik main hp, tidur ataupun ngumpul dengan teman-temannya atau pergi ke rumah keluarganya.Â
Betapa berat beban seorang istri sementara suami tidak membantunya sama sekali.Â
Harusnya suami lebih peka dan lebih memahami kondisi istrinya yang bekerja. Berusaha membahagiakan istrinya dengan cara membantu pekerjaan rumah disaat istri bekerja ataupun menyenangkan hati istrinya ketika istrinya kelelahan setelah bekerja.Â
Ingatlah, membahagiakan istri menjadi salah satu jalan pembuka lebar pintu rejeki paling lebar bagi suami. Menyakiti istri dan melukai hatinya justru bisa menutup rejeki suami.
Satu hal lagi yang utama adalah jangan menjadi suami yang selalu mengadahkan tangan kepada keluarga. Hanya karena suami tidak bekerja, sulit mendapatkan pekerjaan ataupun malas untuk mencari nafkah kemudian suami lebih sering meminta bantuan pada keluarganya yang justru menjadi ada perasaan tidak enak bagi istrinya karena hidup dibantu oleh keluarga suami sementara suami tidak mampu mencari nafkah.
Cerita teman saya bahwa keluarga dari pihak suaminya kadang mempertanyakan uang yang mereka beri pada suami dipakai untuk kebutuhan apa saja. Sementara di sisi lain tidak semua uang yang diberikan keluarga suami diberikan semua pada istrinya. Biasanya oleh suami dibagi dua dan lebih sedikit diterima istri dengan alasan suami juga punya kebutuhan pribadi.Â
Jadi mau penghasilan istri lebih besar, suami tetaplah kepala rumah tangga yang wajib menafkahi istrinya meskipun penghasilannya kecil. Seorang suami harus lebih peka akan tanggung jawabnya sebagai tulang punggung keluarga. Apalagi di masa sulit ini harusnya suami lebih aktif lagi, lebih semangat lagi mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Jangan jadikan Istri seperti pembantu di rumah tangga sementara suami seperti majikan yang hanya bisa menyuruh dan enak sendiri.
Jangan sampai kepemimpinan rumah tangga berpindah tangan dari yang harusnya menjadi tugas suami tetapi karena beban istri yang terlalu berat entah itu bekerja di rumah maupun bekerja di luar, maka kepemimpinan rumah tangga bisa beralih ke istri.Â
Tetap semangat para suami dalam mencari nafkah. Teruslah mengumpulkan pahala dengan bertanggung jawab mencari nafkah dan membahagiakan istri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H