Keinginan Indonesia untuk semakin unjuk gigi di kancah olahraga Dunia semakin memuncak setelah keberhasilannya menyelenggarakan Asian Games dan Asian Para Games di tahun 2018. Keberhasilan ini membuat Indonesia ikut serta dalam bidding tuan rumah Piala Dunia sepakbola U-20 di tahun 2021 (CNN Indonesia, 2019) dan Olimpiade di tahun 2032 (The Associated Press, 2019). Terkhusus untuk sepakbola bahkan Pemerintah dalam hal ini Presiden memberikan perhatian khusus dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No.3 tahun 2019 Tentang Percepatan pembangunan Sepakbola Nasional (CNN Indonesia, 2019). Merespon hal ini terlebih untuk mendapatkan prestasi di event terdekat yaitu Piala Dunia U-20 dimana Indonesia bertindak sebagai tuan rumah, PSSI sebagai induk sepakbola Indonesia merancang banyak cara dari mulai pengadaan kompetisi Elite Pro Academy usia U-16 dan U-20, menggaet sponsor swasta untuk mengadakan pelatihan di Eropa bahkan yang terbaru adalah PSSI dalam sebuah webinar mengungkapkan bahwa mereka akan melakukan "Cara-cara luar biasa" untuk meraih prestasi dalam event tersebut (IDN Times, 2020).Â
Isu naturalisasi tampaknya menjadi primadona bagi negara-negara untuk mendapatkan prestasi olahraga dalam jangka pendek, hal ini tidak hanya terjadi di sepakbola, di cabang olahraga lainnya seperti basket, badminton dan tenis meja dan lainnya banyak kita lihat nama -- nama yang cukup mencolok diantara nama -- nama lokal dalam satu tim seperti Ebrahim Enguio Lopez dan Jamarr Johnson di timnas basket Indonesia ataupun ketika Indonesia kehilangan Mia Audina yang memilih untuk membela Belanda di bidang Bulutangkis atau Tony Gunawan yang berpindah dari Indonesia ke Amerika Serikat.Â
Dalam tulisan ini saya berupaya untuk memahami motif sebuah negara, organisasi maupun seseorang untuk mengaburkan batas-batas geografis maupun menghilangkan identitas nasionalismenya demi prestasi olahraga terutama di olahraga sepakbola. Sebab dalam beberapa pandangan menunjukan bahwa atlet merupakan representasi sebuah negara dihadapan negara -- negara asing, namun akan menjadi pertanyaan ketika naturalisasi membuat sebuah negara menjadikan orang asing sebagai representasinya di mata dunia serta munculnya pandangan buruk kepada sebuah negara atau organisasi yang melakukan naturalisasi kepada orang yang bukan warganegara tersebut.
Pembahasan
Di masa modern ini, atlet yang berprestasi dapat dikatakan sebagai pahlawan bangsa, hal ini terjadi akibat ketika seorang atlet mampu berprestasi  di tingkat internasional maka melekat pula lah identitas sebagai warga negara, hal ini dapat dilihat ketika dalam sebuah perlombaan ditunjukkan pula dari mana atlet tersebut berasal atau ketika dia mampu meraih juara maka seorang atlet akan diperdengarkan lagu kebangsaannya serta bendera negara asalnya akan dikibarkan. Selain itu prestasi yang dicapai tersebut akan menjadi kebanggaan bagi warga negara yang diwakili oleh atlet tersebut. Secara langsung ini menunjukan bahwa atlet tersebut adalah representasi dan kebanggan negara di kancah internasional serta menjadi role model bagi seluruh rakyat yang diharapkan oleh pemerintah.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Glenniza (2018) bahwa Jika dahulu negara dan nasionalisme dipupuk melalui konflik (perang) bahkan sampai genosida, sekarang ajang olahraga seperti Piala Dunia dan Olimpiade adalah acara yang terus melanjutkan konsep negara dan nasionalisme untuk banyak manusia. Oleh karena itu, atlet masih terus relevan dianggap sebagai duta dan pahlawan negara di era modern. Maka dalam hal ini olahraga yang pada awalnya hanya menjadi sebuah cara untuk mencapai kesehatan atau kebugaran tubuh kini malah menjadi sebuah ajang untuk mencapai prestasi, kebanggaan bahkan kejayaan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Frey dan Eitzen (1991) yang menyatakan bahwa telah terjadi transformasi bentuk olahraga dari yang awalnya berupa kegiatan yang dilakukan secara sukarela dan mendorong agar banyak orang untuk ikut serta namun kini olahraga menjadi lebih serius dikomersilkan dan kini lebih berorientasi kepada prestasi dibandingkan kegiatan olahraganya, bahkan dalam beberapa kasus olahraga menjadi memiliki kontribusi untuk dalam relasi internasional dan menjadi alat pembangunan nasional (Frey & Eitzen, 1991). Hal ini dapat menjelaskan seorang atlet, tim atau bahkan negara melakukan banyak cara untuk mendulang prestasi baik yang sesuai aturan seperti pembinaan yang serius ataupun cara-cara curang seperti doping, salah satu dari cara yang dibenarkan secara peraturan namun sering menjadi bahan perbincangan adalah naturalisasi.
Nasionalisme
Nasionalisme adalah gagasan dan gerakan yang mengedepankan kepentingan bangsa tertentu  terutama dengan tujuan untuk memperoleh dan memelihara kedaulatan bangsa  atas tanah airnya (Smith, 2010). Dalam olahraga sering kali rasa nasionalisme muncul ketika kita mendengar atau melihat sesuatu yang berkaitan dengan negara kita, misalnya rasa haru ketika kita melihat bendera negara berkibar di puncak tertinggi ataupun ketika mendengar lagu kebangsaan, bahkan pada titik tertentu mendengar atau melihat simbol yang menunjukan identitas negara kita yang digunakan oleh orang asing dapat memunculkan rasa bangga akan negara kita.Â
Naturalisasi adalah tindakan atau proses hukum di mana non-warga negara suatu negara dapat memperoleh kewarganegaraan negara itu. Atas dasar apa proses ini dapat ditetapkan, berbeda dari satu negara bagian ke negara bagian lain. Dengan konsep kebangsaan yang mengacu pada hubungan hukum antara individu dan negara, kewarganegaraan juga mencakup yurisdiksi negara atas seseorang dan memberikan perlindungan negara kepada orang tersebut (Sassen, 2002). Jika kita memahami pengertian diatas maka kita dapat menyimpulkan bahwa naturalisasi adalah cara seseorang untuk mendapatkan kewarganegaraan di suatu negara dan setiap negara memiliki aturan yang berbeda-beda mengenai naturalisasi.Â
Mengenai aturan kewarganegaraan yang berbeda-beda di tiap negara juga memudahkan terjadinya naturalisasi, beberapa negara yang mengakui kewarganegaraan ganda memungkinkan individu yang mereka naturalisasi untuk tetap memiliki kewarganegaraan aslinya. Bahkan beberapa ahli menganggap dengan semakin terbukanya dunia kita saat ini, di masa depan seseorang yang memiliki kewarganegaraan ganda ataupun lebih akan menjadi sebuah kenormalan (Rubenstein & Adler, 2000). Selain itu menurut Steinhardt (2008) Dengan keputusan seseorang  untuk melakukan naturalisasi, individu tersebut mengungkapkan keinginannya untuk tinggal secara permanen di negara tersebut, menunjukkan keterampilan bahasa yang memadai, membuktikan bahwa ia telah tinggal selama beberapa tahun di dalam negara tersebut dan berkomitmen pada hukum yang berlaku.
Naturalisasi Dalam Sepakbola
Seperti yang saya tuliskan di atas, saya akan berfokus pada masalah naturalisasi di dalam olahraga sepakbola, dalam sejarah sepakbola sudah sangat banyak terjadi naturalisasi pemain oleh sebuah negara yang saya anggap paling sukses adalah Luis Monti dan Raimundo Orsi yang menjadi runner-up piala dunia 1930 bersama Argentina dan kemudian menjadi juara dunia di Piala Dunia 1934 bersama Italia, setelahnya semakin banyak negara -- negara yang melakukan naturalisasi untuk meraih prestasi di sepakbola, yang cukup mencengangkan adalah bagaimana di Piala Dunia 2018 Brasil mampu mengirimkan 28 orang pemainnya, dengan 23 orang berada di Timnas Brasil dan 5 orang lainnya tersebar di negara negara lain (Glenniza, 2018). Â Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa Brasil merupakan sebuah jaminan mutu untuk mengangkat prestasi sepakbola, selain itu Brasil juga mengakui kewarganegaraan ganda, sehingga para pemain Brasil tidak perlu takut untuk kehilangan kewarganegaraannya ketika membela negara asing.Â
Di Asia, sangat banyak kasus naturalisasi yang dilakukan atas nama prestasi. Jepang, China, Qatar, Singapura, Filipina bahkan Indonesia melakukan naturalisasi untuk mendapatkan prestasi di sepakbola. Bahkan Singapura memiliki program yang bernama Foreign Sports Talent Scheme (FST) sebuah program untuk mencari atlet asing yang dianggap mampu membawa prestasi bagi olahraga Singapura. Hasilnya? Dalam gelaran Piala AFF Singapura sudah mampu 4 kali juara.
Lantas Bagaimana dengan Indonesia? Sejak pertama kali menyertakan pemain naturalisasi di Piala AFF 2010, prestasi tertinggi yang pernah dicapai oleh Indonesia adalah menjadi Runner-up di tahun 2010 dan 2016. Sampai saat ini tercatat puluhan nama pemain asing yang sudah menjadi warga negara Indonesia dari nama yang terkenal seperti Cristian Gonzales dan Stefano Lilipaly bahkan nama yang belum pernah anda dengar seperti Godstime Ouseloka dan Mufilutau Opeyemi Ogunsola, bahkan dalam kasus di Indonesia seringkali naturalisasi digunakan untuk mengakali regulasi liga yang mengatur banyaknya jumlah pemain asing dalam satu klub.Â
Sebagaimana yang disebutkan oleh Glenniza (2018) tidak semua, tapi mayoritas dari pesepakbola yang dinaturalisasi adalah pesepakbola yang "terbuang" dari negara asalnya, artinya jika mereka tidak pindah kewarganegaraan, mereka mungkin tak akan pernah sama sekali merasakan pertandingan level internasional. Bermain di level internasional adalah portofolio yang bagus untuk seorang atlet.
Dari pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa alasan mereka untuk mau dinaturalisasi adalah ketika mereka menganggap bahwa diri mereka tidak cukup bagus dan merasa tidak mampu bersaing untuk bermain di tim nasional negaranya sebagai contoh adalah Elkesson yang mau berpindah kewarganegaraan menjadi China dan Mario Fernandes yang berpindah kewarganegaraan menjadi Russia. Di sisi lain negara negara yang inferior dibidang sepakbola menganggap bahwa pemain buangan dari negara yang lebih superior ini adalah pemain yang baik. Dalam podcast yang dirilis oleh Footballeur (2020) dikatakan bahwa pemain yang tidak terpakai di negara yang lebih superior ini mungkin adalah pemain kelas C atau bahkan D di negaranya, namun ketika dia berpindah ke negara yang lebih inferior maka kelasnya meningkat menjadi kelas A di negara tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika Timnas Sepakbola Indonesia di Asian Games 2018 dimana pada saat itu Alberto Goncalves yang sudah berumur 37 tahun menjadi motor utama Tim.Â
Lantas Adakah Rasa Nasionalisme Di Dalam Pemain Naturalisasi?
Menjadi pertanyaan besar ketika kita membahas nasionalisme pemain naturalisasi, banyak yang menganggap bahwa pemain yang bermain di tim nasional dengan status naturalisasi sama halnya dengan pemain yang bermain di klub mereka dapat berpindah--pindah sesuka hatinya. Hal ini terjadi di masa lampau seperti yang terjadi pada Alberto di Stefano yang pernah membela tiga tim nasional (Argentina-Kolombia-Spanyol). Bahkan yang luar biasa, di Stefano mengantongi 4 penampilan di Kolombia tanpa pernah memegang paspor Kolombia walaupun Kolombia saat itu mengalami pembekuan oleh FIFA. Untuk mengatasi masalah ini FIFA sebagai induk Sepakbola dunia mengeluarkan regulasi yang mengatur bahwa seorang pemain hanya boleh berpindah kewarganegaraan jika mereka belum pernah membela negara asalnya sama sekali dalam sebuah agenda resmi FIFA di kelompok senior.Â
Masalah "orang asing" yang membela sebuah negara ini memang banyak menjadi sorotan, bahkan pada kasus Mesut Ozil yang sudah menjadi warga negara Jerman sejak lahir sering disoroti ketika Ozil tidak terlihat menyanyikan lagu kebangsaan Jerman. Hal ini lantas menjadi pertanyaan, jika seorang yang sudah menjadi warga negara tersebut selama beberapa generasi saja masih dianggap berperilaku yang kurang etis bagaimana lagi dengan orang yang tidak punya ikatan apapun dengan sebuah negara namun dengan cara yang "luar biasa" mampu menjadi representatif sebuah negara.
Jika kita membahas pemain yang sudah lama bermain di sebuah negara seperti Cristian Gonzales dan Osas Saha atau mereka yang mendapatkan naturalisasi berdasarkan jalur keturunan (ius sanguinis) seperti Irfan Bachdim dan Stefano Lilipaly hal ini dapat mereka jelaskan bahwa mereka memiliki rasa terikat dengan sebuah negara, baik karena sudah lama menetap, memiliki rasa terikat dengan asal nenek moyangya ataupun sudah memiliki pasangan di tempat tersebut. Namun bagaimana jika kasusnya adalah orang yang memang sengaja dipanggil untuk membela sebuah negara? Apakah dia memiliki rasa bangga akan nasionalismenya atau hanya bermain bagaikan tentara bayaran? Â
Pada kasus Qatar, Reiche dan Tilnaz dalam Schulting (2019) mengungkapkan bahwa "kami (Qatar) mengidentifikasi atlet dan menawarkan mereka untuk berkompetisi di Qatar karena mereka tidak mendapatkan dukungan  yang memadai di negaranya" selain itu mereka juga menawarkan untuk berlatih di sebuah pusat pelatihan yang sangat mewah dan lengkap yang disebut dengan Aspire Academy sekaligus Qatar juga menawarkan diri mereka sebagai sebuah institusi pelatihan olahraga yang mewah ketika di negara asal atlet tersebut tidak dapat memenuhi fasilitas latihan mereka untuk mencapai performa terbaik (Schulting, 2019). Sehingga dapat dilihat bahwa alasan dari seorang atlet mau diajak untuk berpindah kewarganegaraan walaupun mereka tidak memiliki hubungan pertalian darah dengan negara tersebut adalah ketika dia menganggap negara yang ditujunya merupakan tempat yang lebih baik daripada tempat asalnya ataupun ataupun menganggap bahwa jika mereka sudah pernah bermain untuk sebuah tim nasional walaupun bukan dari negara asal mereka hal ini dapat memperbaiki portofolio karir mereka. Dan sekali lagi bermain untuk sebuah negara yang bukan negara aslinya mempunyai nilai yang seperti tentara bayaran. Mereka berperang untuk mereka yang membayar lebih mahal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H