Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Awaludien
Muhammad Iqbal Awaludien Mohon Tunggu... Penulis - Penulis konten suka-suka!

Berbagi informasi dan gagasan. Tergila-gila pada sastra, bola, dan sinema. Email: iqbalawalproject@gmail.com Blog: https://penyisirkata.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Antara Aku, "Kompas" Minggu, dan "Kompasiana" yang Sabar Menunggu

21 November 2017   10:33 Diperbarui: 21 November 2017   17:16 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: terlaluriski

Dunia tulis menulis sangat asing bagi saya, pada awalnya. Meski membaca sudah menjadi rutinitas sejak masa SMP, saya baru benar-benar giat menulis saat kuliah. Itu pun hanya untuk menulis paper dan tugas makalah, aktivitas mayoritas dari perkuliahan saya di Jurusan Ilmu Sejarah.

Menulis ketika itu bikin kepala pening, blingsatan ke sana-ke mari mencari sumber referensi. Belum lagi merangkai kata biar enak dibaca, minimal biar gak dicoret-coret oleh dosen, dan dapat nilai yang memuaskan. Pengen bunuh diri rasanya. Perpustakaan menjadi favorit saya menghadapi rutinitas seperti itu, hening dan tenang. Selain itu, kurun 2016-2011 mencari sumber dari internet belumlah populer dan juga karena kecenderungan disipilin ilmu kami (ilmu sejarah!) yang menomorsekiankan sumber dari dunia maya tersebut. Pokoknya harus dari buku dan dokumen tertulis serta wawancara kalau mau menulis makalah. 

Namun lama-lama, menulis menjadi candu. Terbiasa menjadi suka, dari tersiksa menjadi tergila-gila, addicted. Tapi dasar gaptek memang, tahun 2008 saya masih saja menggunakan diary dan notes untuk menulis. Tentu saja dengan bermodalkan pena, padahal waktu itu Raditya Dika sudah lama nge-blog dan Kambing Jantan-nya telah berbentuk buku. Di saat bersamaan, kalau tak salah, tahun 2008 ini juga Kompasiana mulai mengudara. Mohon betulkan kalau saya salah?!

Kendati demikian, saya tidak pernah melirik sedikitpun ke portal jurnalisme warga yang termasuk pelopor ini. Kegandrungan saya justru terhadap saudaranya, harian KOMPAS.  Kadar gandrungnya bisa dibilang tak wajar karena perkenalan saya terhadap dunia cerpen, dan KOMPAS rutin menerbitkan buku antologi cerpen pilihan sejak tahun 1992. 

Saya membaca hampir semua buku antologi cerpen pilihan Kompas mulai dari Kado Istimewa, Pelajaran Mengarang, Lampor, Derabat, Waktu Nayla, hingga Jalan Asamaradana. Dulu kemewahan itu hanya bisa saya nikmati di perpustakaan fakultas yang memang koleksinya cukup lengkap. Maklum, seorang mahasiswa, kapan punya bujet lebih untuk membeli buku. Pikiran justru habis untuk menimbang-nimbang di mana makan yang murah dan bisa ngambil sendiri agar bisa ngirit. Dan yang paling penting, wareg.

Antologi cerpen pilihan KOMPAS yang terbit sejak tahun 1992. (dokumentasi: Agus Noor)
Antologi cerpen pilihan KOMPAS yang terbit sejak tahun 1992. (dokumentasi: Agus Noor)
Tapi saya tak mau menyerah, saya terus berpikir keras bagaimana caranya agar dapat menikmati dan tak ketinggalan cerpen-cerpen KOMPAS tanpa harus membeli bukunya. Keptusan saya jatuhkan dengan siasat: berlangganan harian KOMPAS. Dan lucunya, saya hanya berlangganan koran KOMPAS Minggu yang memang menyediakan rubrik cerpen. Hahahahaha

Saya utarakan hal itu pada mas-mas loper koran yang lokasinya cukup jauh dari kos. Dia hanya terbengong-bengong mendengarnya. Paling dalam hatinya bilang, "dasar mahasiswa kere". Meski begitu, ia mengiyakan dengan syarat saya harus mengambilnya sendiri, koran yang diantar hanya untuk yang berlangganan tiap hari. Tapi dia, dengan senang hati akan menyimpankan edisi Minggu khusus buat saya. Jabat tangan, kesepakatan pun dimulai dengan term pembayaran tiap awal bulan.

Dalam kurun waktu sekitar 3 tahun, dari 2009 hingga 2011 saya berlangganan KOMPAS Minggu. Dari sanalah saya mulai mengenal cerpenis dan sastrawan Indonesia, mulai dari yang senior seperti Seno Gumira Ajidarma, Indra Tranggono, Yanusa Nugroho, Budi Darma, Agus Noor, Linda Christanty, Djenar Maesa Ayu, hingga Triyanto Tiwikromo dan kemudian nama-nama yang lebih muda seperti Guntur Alam, Eko Triono, Dewi Ria Utari, Ugoran Prasad, S. Prasetyo Utomo, dan Nukila Amal, untuk menyebut sejumlah nama. 

Dari berlangganan itulah saya mulai terlecut untuk menekuni dunia tulis-menulis. Membaca dan terus membaca membuat saya ingin memuntahkan apa yang saya dapat ke dalam untaian kata.  Tidak hanya rubrik cerpen, tapi saya lahap juga puisi, esai budaya, resensi buku, rubrik 'Sosialita', 'Parodi' dari Samuel Mulia, dan rubrik 'Kehidupan' yang berbentuk feature. Sayang rubrik yang terakhir ini, "Kehidupan" plus "Sosialita" sudah tidak ada lagi, kalau tak salah sejak tahun 2013 atau 2014. Mohon benarkan kalau saya salah!

Dalam proses belajar menulis, notes tetap menjadi media oret-oret. Menyimpan notes kecil di saku dan membawa pena terasa keren. Saya menganggapnya sebagai syarat utama seorang penulis. Akan tetapi, saat sumber-sumber sudah terkumpul dan siap menulis, saya memberanikan diri menulisnya langsung di dalam laptop.

Dan momentumnya terjadi tahun 2011. Cukup aneh sebenarnya karena saya lupa kenapa bisa memutuskan untuk menulis cerpen di Kompasiana. Padahal, ketika itu saya sangat memimpikan nama saya bisa muncul di KOMPAS Minggu. Hahahaha. Entah tersambar petir atau apa, alhasil, saya menuliskan cerpen karya saya yang pertama sekaligus terakhir di rubrik 'fiksi' tanggal 21 September 2011. Berikut ini gambarnya:

Akun awal saya di Kompasiana tahun 2011.
Akun awal saya di Kompasiana tahun 2011.
Sekarang, saya membaca cerpen tersebut sambil mesem-mesem sendiri. Ada semacam perasaan aneh dan rindu dalam diri untuk menulis fiksi. Pertanyaan paling menohok yang muncul, "kok bisa ya nulis fiksi?" Terlepas dari banyaknya kesalahan penempatan tanda baca dan pemenggalan kata, ternyata saya pernah punya imajinasi yang lumayan oke.

Setelah menulis cerpen itu, saya hilang. Lulus kuliah tahun 2012, mencari kerja demi menghindari status penganguran dan cibiran orang, justru saya terlupa akan hal yang sangat hakiki dalam hidup saya; membaca. Saya merasa itu paling hakiki karena, apakah bisa menjadi seorang penulis tanpa membaca?

Itulah yang terjadi dengan saya medio tahun 2012 hingga 2014. Saya berhenti menulis. Saya juga memutuskan hubungan dengan mas-mas loper koran. Keganderungan akan sastra pun perlahan menurun, meski saya masih sesekali membeli KOMPAS Minggu sebagai pelepas kangen dan untuk baca dalam sekali duduk.

Saat itu hidup saya lebih banyak dipenuhi kekhawatiran tentang target pekerjaan yang tidak sampai, energi yang terkuras akibat selalu berpikir bagaimana caranya mendapat kerja yang mapan, sampai sibuk mencari pendapatan lain untuk biaya pernikahan dan menafkahi sanak saudara. Tanpa dibarengi membaca dan menulis, semua itu tentu saja sangat menyiksa. Kebosanan saya memuncak, hingga di suatu hari, saya memantapkan diri; saya ingin menjadi penulis, apa pun risikonya. Saya keluar dari pekerjaan untuk meredefinisi hidup!

****

Kalau tidak salah pada medio tahun 2014; saya sempat terlunta-lunta selama setahun menjadi pengangguran di Yogyakarta dan belajar menulis sambil bekerja serabutan; menjadi guru bimbel dan les, dan kemudian takdir mengarahkan saya bekerja di sebuah penerbitan sebagai editor bahasa untuk buku mata pelajaran.

Hal ini berhasil memompa kembali semangat hidup saya yang mulai dekaden. Bekerja di penerbit menurut saya, adalah jalan terbaik dalam menggapai cita-cita menjadi seorang penulis. Betapa bersyukurnya saya saat itu. Dan di sini, di Bandung, sebuah kota yang adem ayem serta ramah, saya mulai membaca lagi KOMPAS Minggu. Saya mulai mengejar ketertingalan saya dengan cara membeli buku antologi cerpen KOMPAS. Kemewahan yang sudah lama saya tunggu-tunggu. Dan ini saatnya pikir saya, menyisihkan pendapatan untuk membeli buku-buku. Tidak hanya sebagai pelipur lara dan balas dendam, lebih dari itu menambah referensi belajar serta memperkaya insight.

Koleksi antologi cerpen pilihan KOMPAS. (dokumentasi: koleksi pribadi)
Koleksi antologi cerpen pilihan KOMPAS. (dokumentasi: koleksi pribadi)
Anehnya, Kompasiana sendiri masih luput dari dalam diri saya. Sumpah, ini entah apa alasannya. Tahun 2014 hingga 2015 saya sepertinya sangat asing dengan portal-portal online dan jurnalisme warga berbasis forum. Padahal ketika itu, Kompasiana sudah mendapat pesaing-pesaing serius dari platform serupa yang berafiliasi dengan media-media nasional. Sebut saja di antaranya Blogdetik (Detik) dan Indonesiana (Tempo). Saya tetap gaptek, lebih suka membaca buku cetak, menulis  catatan di notes lalu menuliskannya di laptop tanpa ada dorongan untuk memublikasikan. Save dan masukan folder. Done. 

****

Jalan hidup siapa yang tahu. Tak jarang, meski sudah kita rencanakan dengan matang, hidup berjalan ke arah yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Prediksi meleset, planning porak poranda. Itulah sedikit gambaran perjalanan hidup saya saat mengalami titik balik pada awal tahun 2015. Dari seorang yang gaptek dan tak pernah update, justru saya harus bekerja di dunia yang serba digital.

Sebuah dunia yang asing bahkan sangat asing dan seakan tak ada yang lebih asing kalau kata Seno Gumira Ajidarma. Dan di dunia baru ini saya dituntut up date terhadap berita, perkembangan teknologi, dan platform digital lain seperti media sosial dan mobile apps. Sempat merasa tersiksa di awal, tapi saya memilih bertahan karena ditempatkan dalam mimpi yang sejak dulu saya idamkan; menjadi seorang penulis. Lebih tepatnya sebagai content writer, profesi yang sangat baru bagi saya. Dari editor bahasa buku pelajaran ke penulis yang memasarkan secara halus (soft selling) produk-produk. Betul-betul jomplang.

Masih butuh waktu setahun untuk saya menulis kembali di Kompasiana, dalam arti membuat akun baru dengan tujuan menuangkan ide dan menjaga kewarasan. Karena menurut saya, dan ini sudah mulai saya rasakan sekarang, saat menulis sudah menjadi profesi utama, kebebasan menulis pun menjadi terbatas. Apalagi saya yang menjadi perpanjangan produk, di mana menulis sekadar untuk memasarkannya dan keperluan campaign perusahaan. 

Statement ini bukan berarti saya harus meninggalkan profesi menulis dan mencari hal baru (lagi!). Tidak, tidak, bukan itu. Mana mungkin saya melepaskan impian saya begitu saja, mustahil. Akan tetapi lebih kepada, adanya kebutuhan mendesak untuk menulis di luar pekerjaan. Menulis bebas tanpa ada instruksi dan batas-batas dari pemesan (baca: klien). 

Dalam permenungan itulah saya terpikirkan Kompasiana. Di sinilah saya pikir saya bisa menuangkan ide-ide secara lebih bebas. Di sinilah tempat yang tepat untuk mengasah kemampuan saya menulis. Ruang diskusi untuk memperkaya perspektif dari para penulis berbakat seantero negeri. Akhirnya, saya putuskan membuat aku baru -- waktu itu nama saya Iqbal Awal -- pada tanggal 04 Januari 2016. Tulisan pertama saya adalah Urgensi Religiositas Kehidupan (Sastra) di Balik Cerpen Kuntowijoyo. Tulisan yang telah terpendam selama lebih dari dua tahun di dalam laptop. Lega, laksana mencapai klimaks setelah sekian lama memendam rasa.

Hingga kini, meski tidak seaktif nama-nama beken seperti  Tjiptadinata Effendi, Ronald Wan, Ahmad Suwefi, S Aji, Yon Bayu, Zulfikar Akbar, Yayat, dan Kompasianers beken lain yang mohon maaf tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu, saya tetap menulis di Kompasiana. Ya itu tadi, saya ingin tetap waras dan suka dengan sudut pandang yang beda dan baru, daripada hanya membaca berita dari media-media mainstream yang saya kira -- mayoritas beritanya sama semua. Dalam konteks ini, saya merasa bahwa Kompasiana menjadi salah satu oase pelepas dahaga terkait  pertukaran ide dan kisah-kisah menarik yang tak memiliki banyak ruang di media-media mainstream. Lebih dari itu, dari sisi subyektif pribadi, Kompasiana adalah salah satu tempat yang paling tepat untuk  belajar agar saya bisa menulis lebih baik, dan terus lebih baik lagi. 

****

Kompasiana, terima kasih telah sabar menunggu saya sejak tahun 2011, saat sudah membuat akun dengan hanya satu posting dan baru menulis aktif lagi pada tahun 2016 kemarin. Mudah-mudahan di umur yang mendekati satu dekade ini, Kompasiana tetap jaya dan bisa terus berinovasi menjadi forum terdepan yang memberikan kebebasan bagi tumbuhnya ide-ide dan gagasan baru dari para penulis berbakat di seluruh penjuru Indonesia.  Amien. Sekali lagi, selamat ulang tahun yang ke-9 Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun