Setelah menulis cerpen itu, saya hilang. Lulus kuliah tahun 2012, mencari kerja demi menghindari status penganguran dan cibiran orang, justru saya terlupa akan hal yang sangat hakiki dalam hidup saya; membaca. Saya merasa itu paling hakiki karena, apakah bisa menjadi seorang penulis tanpa membaca?
Itulah yang terjadi dengan saya medio tahun 2012 hingga 2014. Saya berhenti menulis. Saya juga memutuskan hubungan dengan mas-mas loper koran. Keganderungan akan sastra pun perlahan menurun, meski saya masih sesekali membeli KOMPAS Minggu sebagai pelepas kangen dan untuk baca dalam sekali duduk.
Saat itu hidup saya lebih banyak dipenuhi kekhawatiran tentang target pekerjaan yang tidak sampai, energi yang terkuras akibat selalu berpikir bagaimana caranya mendapat kerja yang mapan, sampai sibuk mencari pendapatan lain untuk biaya pernikahan dan menafkahi sanak saudara. Tanpa dibarengi membaca dan menulis, semua itu tentu saja sangat menyiksa. Kebosanan saya memuncak, hingga di suatu hari, saya memantapkan diri; saya ingin menjadi penulis, apa pun risikonya. Saya keluar dari pekerjaan untuk meredefinisi hidup!
****
Kalau tidak salah pada medio tahun 2014; saya sempat terlunta-lunta selama setahun menjadi pengangguran di Yogyakarta dan belajar menulis sambil bekerja serabutan; menjadi guru bimbel dan les, dan kemudian takdir mengarahkan saya bekerja di sebuah penerbitan sebagai editor bahasa untuk buku mata pelajaran.
Hal ini berhasil memompa kembali semangat hidup saya yang mulai dekaden. Bekerja di penerbit menurut saya, adalah jalan terbaik dalam menggapai cita-cita menjadi seorang penulis. Betapa bersyukurnya saya saat itu. Dan di sini, di Bandung, sebuah kota yang adem ayem serta ramah, saya mulai membaca lagi KOMPAS Minggu. Saya mulai mengejar ketertingalan saya dengan cara membeli buku antologi cerpen KOMPAS. Kemewahan yang sudah lama saya tunggu-tunggu. Dan ini saatnya pikir saya, menyisihkan pendapatan untuk membeli buku-buku. Tidak hanya sebagai pelipur lara dan balas dendam, lebih dari itu menambah referensi belajar serta memperkaya insight.
****
Jalan hidup siapa yang tahu. Tak jarang, meski sudah kita rencanakan dengan matang, hidup berjalan ke arah yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Prediksi meleset, planning porak poranda. Itulah sedikit gambaran perjalanan hidup saya saat mengalami titik balik pada awal tahun 2015. Dari seorang yang gaptek dan tak pernah update, justru saya harus bekerja di dunia yang serba digital.
Sebuah dunia yang asing bahkan sangat asing dan seakan tak ada yang lebih asing kalau kata Seno Gumira Ajidarma. Dan di dunia baru ini saya dituntut up date terhadap berita, perkembangan teknologi, dan platform digital lain seperti media sosial dan mobile apps. Sempat merasa tersiksa di awal, tapi saya memilih bertahan karena ditempatkan dalam mimpi yang sejak dulu saya idamkan; menjadi seorang penulis. Lebih tepatnya sebagai content writer, profesi yang sangat baru bagi saya. Dari editor bahasa buku pelajaran ke penulis yang memasarkan secara halus (soft selling) produk-produk. Betul-betul jomplang.