Persaingan bisnis tersebut ternyata berujung pada pertemanan. Tjoa Thay Yoe dan Wasih akhirnya menjadi teman dan sering bertukar resep tentang masakan.
Ada pepatah Jawa, "Witing Tresno Jalaran Soko Kulino" yang memilki arti bahwa cinta hadir atau tumbuh karena terbiasa. Hal tersebutlah yang dialami Tjoa Thay Yoe dan Wasih, sehingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk menikah.
Selain menjadi bukti persatuan dua budaya, pernikahan Tjoa Thay Yoe dan Wasih juga menghasilkan suatu masakan baru yang identik dengan latar belakang mereka berdua. Lalu lahirlah masakan Lumpia Semarang yang dengan luaran kulit lumpia dan isian rebung yang dicampur dengan udang, ayam dan telur dengan cita rasa manis. Tentunya Lumpia Semarang ini menjadi masakan halal karena tidak menggunakan bahan makanan dari babi.
Usaha Tjoa Thay Yoe dan Wasih terus dilanjutkan oleh putrinya (Tjoa Po No) dan generasi selanjutnya seperti Lumpia Gang Lombok, Lumpia Pemuda (Mbak Liem) dan Lumpia Mataram.
Diakui UNESCO Sampai Ada Kampung Lumpia
Lumpia Semarang memiliki sejarah yang panjang dan tak terlepas dari dinamika sosial masyrakat Indonesia. Meski pada era Orde-Baru terdapat pembatasan aktivitas budaya atau asimiliasi etnis Tionghoa, namun Lumpia Semarang yang notabene merupakan warisan budaya Tionghoa dan Jawa terus bertahan bahkan terus eksis hingga saat ini.
Dikarenakan sudah menjadi masakan yang lekat dengan masyarakat, bahkan sampai terdapat kampung yang khusus memproduksi kulit lumpia tertua di Indonesia.
Kampung Kranggan yang terletak di Kelurahan Kranggan, Semarang Tengah, Kota Semarang ini diresmikan sebagai tempat wisata sentra kulit lumpia pada Februari tahun 2018.
Di tenpat ini Sobat Minilemon dapat mengunjungi 45 rumah yang memproduksi kulit lumpia. Tempat usaha ini sudah dimulai sejak 20 tahun yang lalu atau diperkirakan dirintis pada tahun 2003. Kampung Kulit Lumpia ini terbentuk karena tingginya permintaan untuk kulit lumpia.
Kelezatan Lumpia Semarang ini sampai dijadikan warisan budaya nusantara oleh UNESCO pada 2014 lalu, bahkan sempat ingin diklaim oleh Malaysia.
Ternyata Lumpia Semarang bukan berasal dari hanya budaya Tionghoa atau Jawa saja, namun merupakan hasil akulturasi budaya keduanya. Lumpia Semarang mengajarkan pada kita bahwa perbedaan bukan menjadi halangan untuk hidup berdampingan. Justru dengan adanya perbedaan dapat menciptakan suatu yang indah, seperti hadirnya Lumpia Semarang ini.