Sang owner lalu melanjutkan cerita tentang ramen. Saya baru tahu kalau beberapa bahan yang dipakai di kedai yang tidak terlalu luas ini ternyata bahan impor langsung dari Jepang. Ada macam bahan yang saya lupa namanya; ingatnya cuma udon, ocha dan kecap, yang demi menjaga kualitas maka harus import.
Untuk bahan ramen juga tidak main-main, meski enggak import tapi sudah punya suplayer yang terpercaya dan mumpuni.
"Enggak sembarangan ambil barang. Sudah ada langganan. Kalau untuk sayur dan daging segar memang belinya harus hari itu. Kami menjaga kualitas bahan agar selalu fress dan sehat."
Dua gelas es teh tandas. Berpindah dari gelas ke dalam perut saya. Sepanjang penuturan David-san, saya tidak henti-hentinya kabum dan diam-diam menyelipkan doa agar bisa juga sekeren beliau.
"Bagi orang Jepang, Kuliner adalah seni." David-san sebelum mengakhiri ceritanya justru melemparkan fakta yang membuat saya kepikiran, ingin banyak tanya dan rasa yang semakin semakin ingin ke Jepang.
*
Jika kalian sedang di Yogyakarta dan ngidam ingin ngicip ramen maka datanglah ke Nagoya jl. Prof. Sardjito.Â
Barat Terban. Kalau dari bundaran UGM lurus aja terus ke barat.
Ponsel saya kembali berdering saat mulut penuh dengan udon. Sebuah nama yang sama dengan nama sebelumnya.
Saya tidak lekas mengangkat telpon. Saya tahu apa yang ingin dia bilang dan saya tahu ramen dan udon ini sayang jika dilewatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H