Filosofi Kopi
Saya mengenal Filosofi Kopi untuk pertama kali adalah dalam sebuah buku. Buku fiksi karya Ibu Suri Dee Lestari.
Agaknya bukan hanya saya seorang yang mengalami perkenalan serupa ini.
Setelah dari sebuah buku fiksi berlanjut ke film. Film Filosofi Kopi (pertama). Saya nonton film ini dengan perasaan seperti layaknya seorang anak kecil menunggu hari libur untuk diajak jajan es krim di taman. Sangat dinanti-nanti, manis dan ada rasa mendebarkan.
Perjumpaan saya selanjutnya dengan Filosofi Kopi adalah tahun lalu.Â
Bukan dalam sebuah kedai atau mobil combi yang keliling Indonesia, namun melalui ajang pencarian identitas untuk kelanjutan film Filosofi kopi. Ya meski ide saya belum berkesempatan untuk tampil jadi cerita Ben Jody selanjutnya. Setidaknya saya cukup lega sudah mencoba dan sadar diri ketika Mas Sutradara kece Angga Dwimas Sasangko berkabar bahwa ide yang masuk dari ajang pencarian ide cukup banyak.
Filosofi Kopi Movie
Di film Filosofi Kopi 2 Ben Jody masih banyak ditemukan karakter-karakter lawas. Ben Jody tentu dua yang tidak bisa digantikan atau dihilangkan.
Bicara ekspetasi, sejujurnya sejak awal saya masih belum bisa meraba akan dibawa ke mana film ini. Ya tahu sendiri film kalau dilanjutkan pasti ada aja celahnya, ada aja bagian yang wajib dibandingkan dengan film sebelumnya. Dan ini yang juga saya lakukan.
Singkatnya, menjaga pikiran agar tetap jernih dan tidak sok tahu adalah kunci kekhusukan dalam menonton film.
Keberuntungan menghampiri saya dari Kompasiana Jogja yang bekerjasama dengan Visinema yang mengundang untuk menjadi 1000 orang pertama yang menyaksikan film. Yogyakarta istimewa juga dari kota pertama yang didatangi.
Untuk keseluruhan cerita, menarik adalah satu kata untuk mewakili perasaan saya. Dari awal hingga ending film ini dihajar dengan konflik. Okey, silakan bayangkan rasa degdegan dan air mata memenuhi bioskop. Bayangkan.
Karakter Ben dan Jody masih seperti yang dulu; penuh pesona meski tidak semisterius dulu. Akting Luna Maya (Tara) tidak buruk namun tidak terlalu istimewa secara pribadi. Cukuplah membuat konflik berjalan meski ada beberapa konflik yang masih menimbulkan prasangka, seolah-olah tanpa konflik itu sebenarnya itu film sudah baik-baik saja. Untuk para pemain pendukung, saya justru mengapresiasi keberadaan mereka. Tanpa mereka film ini bagai sayur tanpa garam.
Kehadiran pemain pendukung selain mewarnai cerita juga sebagai pelengkap puzzel yang bolong di sana sini.
Kampanye dalam Film Filosofi Kopi
Secara menyeluruh film ini bercerita tentang persahabatan sejati. Filosofi kopi yang dulu berkonsep nomaden dengan combi yang menelusuri kota-kota Indonesia mendadak harus berganti gaya sebab konflik telah dimulai; satu persatu personil setianya mengundurkan diri.
Balik ke Jakarta dan berusaha menetap bukan perkara mudah dalam sebuah bisnis. Pula bisnis kafe tidak bisa disulap hanya dalam sekejap mata. Butuh perencanaan, modal, SDM, lokasi bahkan hari keberuntungan untuk memulainya. Ribet dan tentu tidak sedikit dana yang harus disediakan. Lagi-lagi konflik datang menghajar kekokohan Ben Jody.
Ada yang tumbang, ada yang berdiri kuat. Ada yang mati ada yang lahir. Yang jatuh dan yang bangun. Yang patah dan terlahir kembali. Begitulah Filosofi kopi menjalani hari-harinya.
Jelas sekali jika film ini tidak semata-mata menyajikan hiburan dengan bertaburan bintang melainkan juga mengembalikan pemahaman kepada para penonton bahwa kebersamaan, kepercayaan dan mimpi adalah kunci sukses.
Ada banyak kampanye dalam Film ini. Satu yang pasti bahwa mengangkat keistinewaan kopi Nusantara. Memang tidak banyak disebut macem-macem kopi seperti layaknya film dokumenter yang membahas kopi. Hanya saja cukup bahwa hanya dengan menghadirkan petani dan kebun kopi dalam cerita membuat film ini hidup menghidupi.
Yang membuat senewen juga adalah kehadiran beberapa pemain figuran yang aktingnya justru menganggu. Ada juga semacam pengambilan gambar yang kurang rapi. Paham sih kalau di lokasi syuting pasti banyak banget manusia yang antusias untuk nonton tapi kalau sampai ikut kesorot kamera? Bisa saja itu disengaja karena adegannya memang mendukung atau memang itu ketidakrapian seperti yang saya rasa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H