Mohon tunggu...
Ines Lesawengen
Ines Lesawengen Mohon Tunggu... Jurnalis - Bachelor of Political Science

Belajar Tanpa Batas

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perkuat Pendidikan Moral, Hindari Korupsi

2 Mei 2020   12:06 Diperbarui: 2 Mei 2020   12:18 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio, yang berarti busuk atau rusak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, korupsi memiliki pengertian "penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara, perusahaan dan sebagainya, untuk keuntungan pribadi atau orang lain." Tindakan ini juga mencemari jabatan publik yang sudah dimandatkan.

Saya mengutip kalimat dari Mahatma Gandhi "Bumi ini masih mampu memenuhi kebutuhan manusia, namun tidak akan pernah mampu memenuhi keserakahan manusia."

Korupsi adalah sebuah tindakan yang merugikan negara yang diakibatkan oleh kecelekaan berpikir dari seorang pelaku tindakan korupsi atau disebut koruptur. Kenapa saya katakan itu akibat dari sebuah kecelakaan berpikir? Karena kalau mereka berpikir bagus atau berpikir dengan benar maka tidak akan mungkin mereka melakukan hal yang tidak bermoral itu, memakan yang bukan seharusnya menjadi santapan mereka, kerakusan dan ketidakpuasan dengan apa yang dimiliki atau apa yang telah didapat, serakah bukan?. Korupsi sudah menjadi tradisi yang tidak mengherankan.

Fenomena korupsi adalah sebuah fenomena yang hangat dibicarakan diberbagai media. Selain karena efek yang ditimbulkan, terungkapnya isu korupsi sebagai headline dimedia-media. Banyak pandangan bahwa praktek korupsi lahir dari akibat moral seseorang yang rendah sehingga memungkinkan praktek korupsi marak terjadi.

Ini sebuah masalah laten namun seperti hal biasa di Negeri tercinta ini. Praktik korupsi bisa menimpa siapa saja, mulai dari masyarakat biasa, karyawan swasta, elit politik, bahkan penegak hukum sekalipun.

Yang lebih banyak mendominasi keinginan untuk korupsi adalah faktor internal  yakni faktor manusia. Karena manusia adalah makhluk ekonomi yang selalu berupaya memaksimalkan manfaat atas setiap aktivitas dengan biaya seminimal mungkin. Akal atau muslihat manusia akan terdorong ketika melihat adanya peluang yang mendorong melakukan korupsi.

Mari kita coba memandang penyebab korupsi dari persepktif pekerjaan berkaitan dengan moralitas, karena untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai makhluk ekonomi tentunya pekerjaan menjadi unsur penting tercapainya kebutuhan ekonomi manusia.

Misalnya seseoarang termarjinalkan dari pekerjaan dalam artian bekerja hanya karena tuntutan hidup. Seharusnya pekerjaan dilakukan secara sepenuh hati, sekalipun dengan gajih yang kurang tetapi benar-benar menjiwai pekerjaan itu tersebut. Kalau pekerjaan menjadi sarana perealisasian diri manusia, seharusnya bekerja mesti menggembirakan. 

Semisal menjadi  anggota Dewan representatifnya dari rakyat yang benar-benar karena keterpanggilan hasrat untuk mempejuangkan hidup banyak orang bukan segelintir orang atau kepentingan partai politik yang mengusungnya. Tetapi karena pekerjaan adalah tindakan hakiki manusia, maka dengan memperalat pekerjaannya semata-mata demi tujuan kepentingan sendiri atau segelintir orang.

Persoalan semacam itu akan saya kaitkan dengan teori antara willingness dan upportunity (keinginan dan kesempatan). Tulisan Wijayanto dalam buku Korupsi  Mengorupsi Indonesia (2009) mencoba membangun teori korupsi dalam dua faktor itu. 

Korupsi hanya akan terjadi jika dua faktor, yang pertama keinginan untuk korupsi (willingness to corrupt) bertemu dengan faktor kedua yaitu kesempatan untuk korupsi (uppportunity to corruprt). 

Wijayanto mengutip perkataan seorang ekonom yang menyebut fenomena itu sebagai utility maximization, yang dalam banyak kasus, prinsip itu sulit dibedakan dari fenomena selfish, atau mengutamakan diri sendiri. Faktor kedua yang memungkinkan orang melakukan korupsi adalah upportunity atau terbukanya kesempatan.

Dari faktor tersebut jika seorang dalam kehidupan pekerjaannya masih merasa kebutuhanya belum terpenuhi atau belum merasa puas dengan apa yang sudah didapatkan maka akan timbul keinginan untuk mendapatkan hal lebih dengan menghalkan hal yang tidak halal didorong adanya peluang maka akan mengakibatkan seseorang melakukan 'korupsi'.

Namun, jika seseorang tersebut memiliki moralitas yang tinggi maka sulit bagi dirinya untuk melakukan hal buruk seperti itu yang terbutakan oleh uang karena desakan ekonomi dan keinginan, jadi bisa disimpulkan moralitas seseorang berperan penting terhadap tindakan yang akan dia lakukan.

Demikian pula dengan analisis Marxis yang selau bertitik pusat pada 'karakter kelas' ketika menganalisis suatu aksi kriminal. Korupsi juga sebagai aksi kriminal yang didukung oleh kekuatan politik, merupakan karekter turunan dari karakter besar sebuah kelas. Sebuah kelas yang mampu menurunkan karakter kriminal yang bernama "korupsi" tak lain adalah kelas kapitalis. 

Dalam perspektif Marxis, ekonomi-politik kapitalisme memiliki watak yang bersifat akumulatif, eksploitatif, dan ekspansif. Korupsi secara materialis adalah watak turunan dari ketiga dasar kapitalisme tersebut. Jika korupsi saya definisikan sebagai tindakan yang mengambil hal orang lain melalui kekuatan politik maka dari analisis Marx watak kapitalis ada dalam diri seorang koruptor.

Korupsi tidak bisa dilakukan tanpa adanya kekuatan politik, terjadinya korupsi selalu terkait dengan kekuasaan dan kekuatan politik. Itulah kredo politik yang pernah dikatakan Lord Acton, "Power tends to corrupt, absolute power, corrupt absolutely," kekuasaan tanpa batas juga kian mendorong terjadinya korupsi. Korupsi bukan lagi sekedar tindakan oknum per oknum melainkan sudah menjadi sistem tersendiri yang hidup dalam pengelolaan negara.

Miris sekali melihat realita yang terjadi, budaya korup yang terus membudaya dinegeri ini diakibatkan ulah dari beberapa atau sekelompok oknum yang lebih memikirkan kepentingan individual atau kepentingan golongan tertentu. Skandal budaya korupsi yang terus merajalela dikalangan elit orang berdasi, jadi wajar bila mereka disebut tikus-tikus berdasi. 

Tetapi tunggu dulu, di Tanah Air kita ini ada lembaga pemberantas Korupsi yang namanya Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK. KPK sudah cukup baik melakukan pemberantasan korupsi. Dimana sudah dari hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK sudah ada beberapa kepala daerah yang terjerat kasus korupsi baik dari eksekutif maupun legisltatif bahkan dari pihak penegak hukum atau yudikatif juga terjerat korupsi.

Dalam ranah institusi politis, masyarakat warga juga memberi dukungan yang kuat untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sehingga institusi ini menghasilkan prestasi yang tidak dapat dibayangkan, dimana hasil-hasil tanggkapan KPK tergolong 'spektakuler' karena gumpalan besar kleptokrasi yang sangat berurat berakar dalam sistem politik Indonesia. Saat ini harapan publik atas good governance praktis ditautkan pada kemampuan lembaga ini dalam membongkar korupsi yang sistematis itu.

Namun bagaimana dengan Revisi daripada Undang-Undang KPK yang sebelumnya telah menuai kontoversi dengan tanggapan bahwa ini akan memperlemah lembaga tersebut. Apakah dengan memperkuat atau memperlemah UU KPK dapat memberantas masalah korupsi? 

Bagi saya itu semua tergangtung aktor yang bermain didalamnya, sebaik apapun produk dari UU itu kalau di jalankan oleh orang-orang yag tidak memiliki moralitas yang baik atau watak yang buruk maka bagi saya sama saja masalah korupsi tidak akan terselesaikan. Analoginya begini 'baik kucing putih maupun kucing hitam yang penting dia kucing yang mampu menangkap tikus'.

Artinya bagaimanapun juga kalau lembaga tersebut dijalankan oleh aktor-aktor yang buruk maka persoalan korupsi tidak akan pernah bisa selesai. Jadi saya rasa pendidikan morallah yang harus diperkuat dinegara ini sebagai langkah awal pencegahan korupsi, karena jika seseorang memiliki moralitas dan watak yang baik maka sukit bagi dirinya terkjerumus padal hal-hal bobrok seperi itu. 

Kemudian adanya upaya menekan kesempatan untuk terjadinya korupsi dapat dilakukan dengan memperbaiki sistem yang terbuka, transparan dan akuntabel. Mekanisme penunjukan hakim yang terbuka, bisa mengurangi peluang terjadinya korupsi. 

Akhir kata, saya mengajak kita semua untuk mengedukasi sasama kita melaui sarana-sarana yang ada baik melaui media, untuk membentuk moral yang baik sehingga kita mampu sama-sama menjadi warga negara yang antikorupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun