Mohon tunggu...
Cathaleya Soffa
Cathaleya Soffa Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga

Bersyukur dan jalani saja hidup ini. Man jadda wa jadaa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hati (2)

7 Februari 2019   20:57 Diperbarui: 12 Februari 2019   09:54 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertemuan yang tak pernah dia duga. Setelah delapan belas tahun tak bersua. Setelah surat-suratnya berkarat di udara. Setelah hari-harinya tanpa warna. Setelah perpisahan itu, Ade telah mendorongnya ke jurang paling dalam. Tak ada lagi yang bisa membuat hatinya berbahagia. Bahkan untuk mendaki melewati tangga darurat saja Mia enggan.

Melakukan hal-hal kecil juga tak mampu ia kerjakan. Untuk sekedar menyiram suplir, kuping gajah, anggrek, beras tumpah, bunga-bunga kertas penuh warna dan kerumunan bunga-bunga bugenvil digantikan oleh ibunya. Benar-benar hidupnya sangat menyedihkan. Dinding kamarnya saja bosan melihatnya setiap hari berkeluh kesah. Andai dinding itu punya kaki. Ditendangnya jauh-jauh dari ruang tempatnya memenjarakan diri. Namun sayangnya dinding itu tak punya kaki. Jadi tak ada yang bisa dilakukannya. Cukuplah ia sebagai tempat bercerita. Mewartakan hatinya, bahwa hari-harinya dipenuhi tumpukan ranting-ranting patah. 

Ya, ranting-ranting patah yang terus saja begitu. Berjatuhan tak tentu arah. Berserakan. 

Kadang ia punguti satu-satu ranting-ranting itu. Ia kumpulkan. Tertiup angin. Terserak. Ia kumpulkan kembali. Kadang ia acuhkan saja. Terserak tertiup angin. Dipungutinya lagi. Tak lama, terserak kembali tertiup angin. Dan hambur. Lalu dikumpulkannya lagi. 

Sewaktu-waktu diikatnya dengan sulur air mata, diletakkannya di sudut hati. Mia jadikan sebagai perapian kepada hatinya yang dingin dan  beku. Berharap bisa mencair. Tidak terus-terusan menjadikan hatinya beku dan tajam. Mirip bongkahan stalagtit dan stalagmit. Benar-benar mengerikan. Di jiwanya benar-benar tak ada kehidupan.

Aktivitas  sehari-harinya adalah omong kosong. Menimba ilmu di sebuah universitas ternama hanya sebagai papan nama saja. Tak ada pemahaman di situ. Tak ada jiwanya di sana. Ruhnya hanya puting beliung yang sukanya memporakorandakan dirinya sendiri. Pulang dan pergi dari ia mengenyam pendidikan hanyalah retorika perjalanan dia saja. Jiwanya ada diantara tembok persegi empat itu. Terkungkung. Terpenjara dalam ruang kamarnya sendiri.

Sampai suatu ketika Mia memahami tentang sesuatu. Lima tahun sudahlah cukup untuk menimang rasa. Bahwa Mia harus membuka hatinya. Membuka dunia barunya. Membuka pikirannya. Tentang dirinya yang juga punya hak untuk hidup bahagia. Mia punya hak untuk hidup lebih baik dari masa lalunya. 

Kemudian sejak saat itu, di sudut matanya tak ada lagi air mata menggenang. Dia keringkan dengan derajat celcius paling mematikan. Tak peduli bara panasnya. Dia bertekad megubur masa lalunya tanpa tersisa. Tanpa ada kenangan tercecer di benaknya. Mia berazam untuk itu. Dia benar-benar meninggalkan kenangannya bersama Ade, untuk selamanya. Dan tidak akan lagi terus berkubang dengan kemurungan. Ya Mia harus bangkit lagi.

Segala cara dilakukannya. Demi melupakan cinta kandasnya, Mia rela melepaskan semua kenangan-kenangan indahnya. 

Berbagai kegiatan dia lakukan. Bekerja, dimana Mia banyak bersentuhan dengan orang-orang, menjadi karyawan di bagian HRD membuatnya merasa lebih banyak memiliki teman dan saling bersinergi. Tentang apapun. 

Mia bekerja di salah satu perusahaan jasa pembangunan proyek infrastruktur. Dia bekerja keras di bidangnya. Sampai beberapa tahun ia berhasil mencapai puncak kesuksesan. Mia menjadi leader di perusahaan yang dia geluti. Mengambil posisi strategis yang tak pernah dibayangkan sama sekali. Itu tak lepas dari tangan terampilnya, kegigihan hatinya, dan kesungguhannya untuk mau berubah.

Kegiatan pemuda di lingkungannya bertempat tinggal, juga berfungsi berkat sentuhan-sentuhannya. Berbagai aksi sosial kemasyarakatan digelutinya. Menyantuni panti-panti sosial seperti anak yatim, panti jompo, anak-anak berkebutuhan kusus, terjun langsung ke tempat bencana alam, membuka taman bacaan menjadi kepuasan tersendiri bagi Mia. Sampai menemani sang ibu tercinta ke mana pun pergi. Ini menjadi pemandangan yang tak aneh lagi. 

Bertahahun-tahun Mia berkecimpung di dunia karir. Segala rintangan dan ketidakmungkinan dia tenggelamkan. Prestasi demi prestasi dia raih. Dunianya telah berubah. Tak ada satu pun hal dahsyat yang bisa mengubah takdirnya. Apapun keinginannya dapat dengan mudah dipenuhi.  

"Mia, kapan kau kenalkan laki-laki itu kepada ibu."

"Laki-laki yang mana, Bu."

"Laki-laki yang mana...?! Laki-laki yang sering kau ceritakan itu. Udah tiga kali dia datang ke sini."

"Yang suka pake baju kotak-kotak biru."

"Celana belel hitam. Murah senyum. Grapyak, nduk."

"Mas Prabu...?!" Mia tergelak sesaat sembari menutup mulutnya. Kemudian melanjutkan, "Dia...?! Dia itu teman biasa, Bu. Tak ada perasaan apa-apa padanya. Selain pertemanan, Bu...."

"Teman kok mesra...?!" Ibu Mia menyanggah.

"Iyakah....? Haha...." Mia tidak bisa menahan tawanya.

"Ibu pengen cepat punya cucu dari kamu. Lihat, Galih sama adimu, si cendil, Tini. Mau punya anak dua sebentar lagi tiga. La... kamu, usiamu segini kok ga ada laki-laki yang mendekat." Ibu Mia cemas dengan kondisi anaknya yang hingga kini belum juga dapat jodoh.

"Bukan ga ada yang mendekat. Tapi Mia masih ingin sendiri."

"Oalaaah, sampai kapan tho nduuk ... nduk. Lihat mas-mu. Dah punya momongan." Ibu mengulang kembali pernyataannya tentang Mas Galih. 

"Lo, Mas Galih sudah setahun menikah, jika sekarang ada momongan wajar kan, Bu. Selisih kami terpaut setahun."

"Justru itu, kapan kamu menyusul saudara-saudaramu?"

"Tuhan belum kasih jodoh Mia."

"Dicari, Nduk."

"Prabu juga orangnya baik kok. Suka sekali mengantarkan kamu pulang. Dia juga sopan dan suka humor. Ibu suka sama dia. Bakalan jadi mantu yang asyik..." Ibu Mia menahan tawanya. "Dia juga ngemong kayaknya. Cocok buat kamu jadiin suami. Karirnya juga ga jelek-jelek amat." Ibu Mia menambahkan.

"Mas Prabu hanya teman biasa, Bu. Mia tidak mencintainya. Mia hanya senang dengan kebaikannya. Kalo bercanda yaa... kami memang seperti itu." Mia berusaha menjelaskan kepada ibunya. Tapi entahlah. Apa benar yang dikatakan ibunya itu? Teman tapi mesra?

"Maksud ibu, bukan seperti itu Mia. Kamu ini perempuan. Sudah mateng, ibarat buah kamu itu tinggal dipetik. Nanti lama kelamaan kalo dibiarin gitu saja, gantung di pohon, buahnya jadi bosok. Kematengan. Dengan pekerjaan kamu yang mapan, punya rumah sendiri, mobil sendiri, apapun yang kamu mau kamu bisa beli, itu sudah lebih dari cukup. Usiamu sudah sangat matang untuk menikah, Nduk. Usia dua puluh tujuh tahun itu, bukanlah usia remaja lagi, tapi sudah masuk usia dewasa. Kamu harus paham itu."

Mia hanya bisa menghela nafas panjang. Ditelannya ludah yang memang tak ada. Didiamkan bibirnya tanpa getar Mia tidak menyahut perkataan ibunya. Puluhan kali Mia mendengar ibu membicarakan itu. Kalimatnya juga hampir sama. Sesak rasanya. Saluran pernafasan di paru-paru Mia serasa menyempit.

"Apa perlu Ibu yang bicara sama Nak Prabu." Ibu melirik Mia.

"Eh... jangan... jangan Bu." Mia menyergah. Mia setengah kaget dengan pertanyaan ibunya.

"Kenapa?"

"Bu, Ini kan masalah masa depan dan kebahagiaan Mia. Mia yang menentukan. Mau menikah dengan siapa. Jika Mia tidak cinta apa justru ga tambah bikin hati sengsara? Apa bisa bahagia nantinya jika tidak didasari rasa cinta? Lagian Mas Prabu belum tentu juga suka sama Mia."

"E.. e... e... e... ini nih ya... Cinta itu datangnya belakangan. Lihat ibu sama bapak dulu. Memang kenal cinta?! Setelah dijodohkan kemudian dinikahkan, ibu jadi cinta sama bapakmu. Mungkin karena mertua ibu itu bersahabat dengan mbahmu. Jadi ada kaitan batin dengan ibu sama bapakmu. Si mbah sudah sama-sama kenal baik. Saat menikah, awalnya ibu malu-malu begitu. Pura-pura ga mau tapi mau." 

Mia tersenyum lebar mendengarkan cerita ibunya. Memang bapak sama ibu itu pasangan yang serasi dan harmonis. Kelemahlembutan dan kepiawaian ibu dalam menata dan mengelola rumah tangga bersama bapak jarang sekali terdengar saling selisih. Bapaklah yang sering mengalah. Dan ibu sabar menghadapi keinginan bapak yang terkadang tidak bisa dibendung. Mereka pasangan yang saling memahami dan melengkapi. 

Ibu masih berbenah di ruang jahitnya. Mengumpulkan kain perca. Menjadikan satu kemudian dikumpulkannya ke dalam keranjang.

"Mia, pikirkan baik-baik semua yang sudah ibu katakan. Ambil baiknya. Ini demi kebahagiaanmu, Nduk. Prabu itu menyukaimu. Tapi kamu ga menyadarinya."

Suasana ruang jahit ibu Mia menjadi hening. Beberapa saat sunyi menghampiri. Mia tertegun. Memikirkan semua perkataan ibunya.

#

Di pagi yang teduh.

"Bu, berangkat dulu." Mia mencium pipi kanan dan kiri ibunya. 

"Lo... ga makan dulu Mia, ini nasi goreng kesukaanmu."

"Ga sempat... " dia balik lagi ke lantai atas. "Ada yang lupa." Sambil berjinjit memakai kaos kaki, ia berjingkrak setengah berlari. 

"Anak itu penyakitnya ga sembuh-sembuh. Dasar pelupa." Gumam ibu lirih.

Ibu segera lekas menaruh nasi goreng milik Mia ke dalam kotak nasi berukuran mini. Bersama air minum dan perlengkapannya dia letakkan dalam satu bagpaper.

"Bu, Mia berangkat dulu..." Kembali tangannya merangkul ibunya. Mengecup pipi kanan dan kirinya. 

Setengah berlari Mia menuju garasi. 

"Mia, ini bekalmu." Ibu mengingatkan Mia. Bekalnya tertinggal  di atas meja makan.

Mia terus saja setengah berlari tidak mendengar teriakan ibunya. Di balik tembok depan ruang tamu Mia telah menghilang. Sementara ibunya mengikuti dari ruang tamu. Berusaha dengan langkah tertatihnya mengejar Mia. 

Namun Mia tidak sadar ada ubin yang berlumut. Kakinya tak sempat menghindar.

Dan ....

Gedebug...!

Mia terjatuh... terpeleset.

Next 

Ciputat, 7 Februari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun