"Eh... jangan... jangan Bu." Mia menyergah. Mia setengah kaget dengan pertanyaan ibunya.
"Kenapa?"
"Bu, Ini kan masalah masa depan dan kebahagiaan Mia. Mia yang menentukan. Mau menikah dengan siapa. Jika Mia tidak cinta apa justru ga tambah bikin hati sengsara? Apa bisa bahagia nantinya jika tidak didasari rasa cinta? Lagian Mas Prabu belum tentu juga suka sama Mia."
"E.. e... e... e... ini nih ya... Cinta itu datangnya belakangan. Lihat ibu sama bapak dulu. Memang kenal cinta?! Setelah dijodohkan kemudian dinikahkan, ibu jadi cinta sama bapakmu. Mungkin karena mertua ibu itu bersahabat dengan mbahmu. Jadi ada kaitan batin dengan ibu sama bapakmu. Si mbah sudah sama-sama kenal baik. Saat menikah, awalnya ibu malu-malu begitu. Pura-pura ga mau tapi mau."Â
Mia tersenyum lebar mendengarkan cerita ibunya. Memang bapak sama ibu itu pasangan yang serasi dan harmonis. Kelemahlembutan dan kepiawaian ibu dalam menata dan mengelola rumah tangga bersama bapak jarang sekali terdengar saling selisih. Bapaklah yang sering mengalah. Dan ibu sabar menghadapi keinginan bapak yang terkadang tidak bisa dibendung. Mereka pasangan yang saling memahami dan melengkapi.Â
Ibu masih berbenah di ruang jahitnya. Mengumpulkan kain perca. Menjadikan satu kemudian dikumpulkannya ke dalam keranjang.
"Mia, pikirkan baik-baik semua yang sudah ibu katakan. Ambil baiknya. Ini demi kebahagiaanmu, Nduk. Prabu itu menyukaimu. Tapi kamu ga menyadarinya."
Suasana ruang jahit ibu Mia menjadi hening. Beberapa saat sunyi menghampiri. Mia tertegun. Memikirkan semua perkataan ibunya.
#
Di pagi yang teduh.
"Bu, berangkat dulu." Mia mencium pipi kanan dan kiri ibunya.Â