Kegiatan pemuda di lingkungannya bertempat tinggal, juga berfungsi berkat sentuhan-sentuhannya. Berbagai aksi sosial kemasyarakatan digelutinya. Menyantuni panti-panti sosial seperti anak yatim, panti jompo, anak-anak berkebutuhan kusus, terjun langsung ke tempat bencana alam, membuka taman bacaan menjadi kepuasan tersendiri bagi Mia. Sampai menemani sang ibu tercinta ke mana pun pergi. Ini menjadi pemandangan yang tak aneh lagi.Â
Bertahahun-tahun Mia berkecimpung di dunia karir. Segala rintangan dan ketidakmungkinan dia tenggelamkan. Prestasi demi prestasi dia raih. Dunianya telah berubah. Tak ada satu pun hal dahsyat yang bisa mengubah takdirnya. Apapun keinginannya dapat dengan mudah dipenuhi. Â
"Mia, kapan kau kenalkan laki-laki itu kepada ibu."
"Laki-laki yang mana, Bu."
"Laki-laki yang mana...?! Laki-laki yang sering kau ceritakan itu. Udah tiga kali dia datang ke sini."
"Yang suka pake baju kotak-kotak biru."
"Celana belel hitam. Murah senyum. Grapyak, nduk."
"Mas Prabu...?!" Mia tergelak sesaat sembari menutup mulutnya. Kemudian melanjutkan, "Dia...?! Dia itu teman biasa, Bu. Tak ada perasaan apa-apa padanya. Selain pertemanan, Bu...."
"Teman kok mesra...?!" Ibu Mia menyanggah.
"Iyakah....? Haha...." Mia tidak bisa menahan tawanya.
"Ibu pengen cepat punya cucu dari kamu. Lihat, Galih sama adimu, si cendil, Tini. Mau punya anak dua sebentar lagi tiga. La... kamu, usiamu segini kok ga ada laki-laki yang mendekat." Ibu Mia cemas dengan kondisi anaknya yang hingga kini belum juga dapat jodoh.