Mohon tunggu...
Mimpin Sembiring
Mimpin Sembiring Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Psikologi pada Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura Delitua Medan

Suka belajar dan berenang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berdamai dengan Diri Sendiri, Sesama, Takdir, dan Tuhan Lewat Jalan Mindfulness

15 Januari 2025   11:41 Diperbarui: 15 Januari 2025   11:46 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, tahukah Anda apa yang terjadi jika ini dibiarkan terus? Otak kita mulai membentuk pola. Setiap kali kita menyalahkan, kita menciptakan jalan pintas baru di otak—sebuah kebiasaan neurologis. Lama-lama, menyalahkan menjadi respons otomatis, bahkan tanpa alasan yang jelas. Dan semakin kita terjebak dalam pola ini, semakin sulit bagi kita untuk melihat sisi baik dari dunia, dari orang lain, bahkan dari diri kita sendiri.

Tetapi, seperti setiap jalan yang pernah kita tempuh, kita selalu bisa memilih untuk berbalik arah. Otak kita memiliki kemampuan yang luar biasa untuk berubah—neuroplastisitas. Saat kita mulai menggeser fokus dari menyalahkan menjadi memahami, dari marah menjadi menerima, prefrontal cortex kita kembali mengambil kendali. Amigdala menjadi lebih tenang. Kita mulai melihat dunia dengan kacamata yang berbeda.

Penerimaan bukan berarti menyerah. Penerimaan adalah keberanian untuk berkata, “Aku tidak bisa mengubah semua hal, tetapi aku bisa mengubah cara aku melihatnya.” Ketika Anda berhenti menyalahkan, Anda memberi ruang pada otak untuk tumbuh. Anda membuka pintu pada rasa syukur, meskipun kecil. Dan dari rasa syukur itu, lahirlah kekuatan.

Menyalahkan adalah tanda bahwa Anda sedang berjuang. Tetapi jangan biarkan perjuangan itu membuat Anda lupa pada keindahan kecil di sekitar Anda—sebuah senyum, sebuah doa, atau bahkan detak jantung Anda sendiri yang masih setia menemani. Tuhan tidak pernah menjauh, bahkan ketika Anda meragukan-Nya.

Di balik semua rasa lelah itu, ada ruang untuk kedamaian. Dan Anda, sesungguhnya, lebih dekat dengan ruang itu daripada yang Anda kira.

C. Mindfulness

1. Apa itu?

Mindfulness itu seperti orang yang pulang ke rumah setelah perjalanan panjang. Ia, mindfulness, bukan sesuatu yang rumit, tidak pula hanya milik para meditator di puncak gunung. Mindfulness adalah kesadaran sederhana, hadir utuh di sini dan sekarang. Saat kita duduk dan benar-benar merasakan hembusan angin di kulit, mendengar riuh rendah kehidupan tanpa terburu-buru memberi nama atau makna, di situlah mindfulness lahir. Ia bukan tentang menghapus kekacauan hidup, melainkan berdamai dengannya, seperti menerima gerimis di sore hari tanpa berusaha menghentikannya.

Mindfulness mengajarkan kita untuk tidak selalu berlari ke masa depan atau tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Hidup yang sering terasa berat menjadi lebih ringan karena kita tidak lagi memikul beban yang tak perlu. Saat Anda makan, cobalah hanya makan—rasakan tekstur, aroma, dan rasa yang sering luput. Saat berbicara, dengarkan dengan sepenuh hati, tanpa mempersiapkan jawaban. Dalam mindfulness, kita belajar menjadi manusia yang lebih hadir, bukan sekadar terburu-buru menyelesaikan hidup. Seperti menyeruput  kopi hangat di pagi hari, mindfulness mengajak kita berhenti sejenak dan menikmati apa yang ada, apa adanya.

  • Mindfulness dan Penerimaan Diri

Mengapa kita bersungut-sungut dan menyesali diri? Mungkin karena ada saat-saat di mana kita merasa hidup ini tidak adil. Ketika cobaan datang bertubi-tubi, ada suara kecil dalam hati yang berbisik penuh getir, “Mengapa mesti aku?” Kita melihat orang lain berjalan dengan ringan, sementara langkah kita terseret beban yang tak terlihat. Kita merasa terperangkap, seperti seorang pemain yang dipaksa ikut dalam permainan yang aturannya tidak pernah kita pahami. Ada luka yang belum sembuh, harapan yang berulang kali runtuh, dan rasa lelah yang mengendap di sudut hati, diam-diam menggerogoti kepercayaan diri kita. Dan dalam keheningan itu, pertanyaan “mengapa mesti aku?” terasa begitu menyakitkan, seolah menjadi bukti bahwa hidup tidak berpihak pada kita.

Saat kita terjebak dalam perasaan itu, dalam pertanyaan "mengapa mesti aku?" itu, kita cenderung menyalahkan diri sendiri, seolah segala yang buruk dalam hidup adalah akibat dari kelemahan kita. Kita bersungut-sungut, berputar-putar dalam rasa frustasi, seolah dunia ini hanya memberi kita cobaan tanpa henti. Dalam keadaan seperti itu, kita lupa bahwa menyalahkan diri tidak akan mengubah apapun. Sebaliknya, itu hanya memperburuk perasaan kita, membiarkan rasa kecewa dan sakit hati tumbuh lebih besar. Dan semakin kita terperangkap dalam penyesalan itu, semakin kita merasa terpenjara—terpenjara dalam pikiran dan perasaan yang tidak kunjung usai. Kita seperti terkurung dalam sebuah ruangan yang tak memiliki pintu, terus berputar dalam kesedihan dan rasa bersalah, tak tahu harus ke mana lagi. Kita akan semakin bersungut-sungut, semakin menyalahkan diri sendiri, justru semakin terperosok lebih dalam lagi ke dalam kebuntuan itu, seolah kita hanya berputar di tempat yang sama tanpa pernah keluar. Dalam keterpenjaraan itu, kita lupa bahwa kebebasan datang ketika kita berhenti mengurung diri dengan penyesalan yang tak berarti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun