Berdamai dengan Diri Sendiri, Sesama, Takdir, dan Tuhan Lewat Jalan Mindfulness
Oleh: Dr. Drs. Mimpin Sembiring, M.Psi. C.Ht®
A. Pendahuluan
1. Konflik dengan Diri Sendiri
"Pernahkah Anda merasa terjebak dalam konflik dengan diri sendiri?”
Pernahkah, di tengah malam yang sunyi, Anda berbaring menatap langit-langit kamar, bukan karena Anda ingin tidur, tapi karena ada sesuatu di dalam diri yang terasa berat? Ada percakapan yang tidak kunjung selesai. Anehnya, percakapan itu terjadi bukan dengan orang lain, melainkan dengan diri sendiri.
Kita ini sering menjadi hakim bagi diri sendiri. Kita menghakimi keputusan yang “salah”, sikap yang “keliru”, dan bahkan perasaan yang kita tahu seharusnya tak perlu ada. “Kenapa aku begini? Kenapa aku tidak seperti dia?” Pertanyaan itu seperti tamparan yang tak berhenti, memukul bagian hati yang paling rapuh.
Tapi, tidakkah itu melelahkan?
Bayangkan: Anda berjalan sendirian di sebuah jalan yang panjang. Tidak ada siapa-siapa, hanya diri Anda. Tapi anehnya, langkah Anda terasa begitu berat, bukan karena medan yang sulit, melainkan karena Anda membawa sesuatu yang tak terlihat—penyesalan, kesedihan, kemarahan, keraguan, dan harapan yang tak kesampaian.
Bukankah itu ironis? Kita tahu ada yang tidak beres, ada beban berat yang kita pikul, tapi kita tidak tahu bagaimana cara melepaskannya. Alih-alih untuk berdamai, kita malah terperosok dalam sikap mengutuki diri sendiri.
Sebenarnya, hidup ini tidak selalu harus rumit. Mungkin yang perlu kita lakukan bukan bersikeras untuk mencari jawabannya: “Kenapa, kenapa, kenapa?” , melainkan untuk menerima kenyataan bahwa hidup kita ini adalah sebuah perjalanan panjang. Bahwa setiap kegagalan, setiap kepedihan, setiap pertanyaan yang tanpa jawaban, adalah bagian dari cerita perjalanan kehidupan yang masih tanda koma, belum selesai, belum tanda titik.
Memang, untuk berdamai dengan diri sendiri, sejatinya kita hanya perlu berhenti sejenak. Bukan untuk menyerah kalah, tetapi untuk mendengar apa yang selama ini disampaikan oleh hati secara diam-diam melalui berbagai sensasi tubuh atau pikiran, yang kadang-kadang tidak normal.
Sebab, berdamai bukanlh soal mencari kesempurnaan, apa lagi pembenaran diri. Itu adalah soal menerima, soal hati yang “legowo” ketika kita mendapatkan diri kita, tak sehebat yg kita harapkan, tapi justru dalam segala kekurangan, kelemahan, bahkan dengan segala kesakitannya. Namun diri ini tetaplah layak untuk mendapatkan penghargaan, mendapatkan cinta—terutama dari kita sendiri. Sebab, sesungguhnya diri kita itu masih saja memiliki sejumlah kelebihan, walau sering kita abaikan demi memperhatikan kekurangan kelemahan kita.
2. Terjebak dalam sikap Mempersalahkan Orang Lain
Pernahkah Anda merasa hidup ini seperti sebuah drama yang tak kunjung selesai, di mana Anda selalu menjadi pemeran utama yang terjebak dalam amarah dan kesal terhadap seseorang? Seseorang yang seakan menjadi hantu hitam dalam cerita hidup Anda—dengan segala kata-kata, sikap, atau tindakan yang tidak bisa Anda terima? Setiap kali Anda berpikir tentang dia, entah mengapa, dada Anda terasa penuh sesak, seperti ada beban yang tak pernah hilang.
Dan saat itu, Anda merasa seperti dunia ini adalah tempat yang sangat tidak adil. Anda berusaha keras, tetapi selalu saja ada orang lain yang menjadikannya lebih sulit. “Kalau dia tidak begitu, saya pasti bisa lebih bahagia. Kalau dia tidak mengungkapkan itu, saya pasti bisa lebih tenang. Kalau saja dia bisa berubah, saya tidak akan merasa seperti ini.” Begitu banyak kalimat yang berputar-putar, mengisi setiap ruang pikiran Anda, mengisi setiap detik yang Anda lalui.
Mereka—mereka itulah yang menurut Anda harus bertanggung jawab atas kekecewaan Anda, atas nasib “sial” Anda. Mereka-mereka itulah yang selalu berada di pihak yang salah, yang menjadi “kambing hitam” kesusahan Anda. Sementara Anda sendiri hanyalah korban dari sikap, perkataan, atau perbuatan mereka. Anda merasa terjebak dalam lingkaran itu. Setiap kali Anda berusaha melepaskan, setiap kali Anda mencoba untuk melupakan, mereka muncul lagi, lagi dan lagi. Seperti bayangan yang tak pernah hilang meskipun matahari bersinar terang.
Tapi, sebenarnya, apakah Anda merasa lebih lega setelah menyalahkan mereka? Apa yang Anda dapatkan setelah melemparkan beban itu ke muka orang lain? Ya. Paling-paling kelegaan sesaat. Sebuah rasa puas karena bisa “merasa” benar! Tapi setelah itu, apakah Anda merasa hidup ini lebih ringan? Apakah Anda merasa ada perubahan yang aignifikan? Heheheh. Saya menyangsikannya!
Tidak jarang, kita terjebak dalam perangkap itu. Kita merasa lebih baik setelah membenarkan diri kita dengan cara menyalahkan orang lain. Namun, tanpa kita sadari, kita justru semakin terperosok ke dalam lembah “kegalauan, dan semakin menjauh dari sumber-sumber kedamaian yang kita cari. Kita merasa seolah kita telah melepaskan beban, tapi yang kita lakukan hanyalah memindahkannya, dan beban itu tetap ada—hanya berpindah tempat, dari lengan kiri ke lengan kanan, atau dari punggung ke pinggang. Ia, beban itu, tidak pernah hilang dari hidup kita.
Seiring waktu, Anda mulai menyadari sesuatu yang lebih dalam. Ketika Anda terus mempersalahkan orang lain, maka yang sebenarnya terjadi adalah Anda sedang memberi mereka __daftar kesalahan orang itu__ kekuatan untuk mengendalikan emosi Anda. Mereka menjadi penguasa atas kedamaian batin Anda. Bukankah itu ironis?
Pada akhirnya, mempersalahkan orang lain hanya akan membuat kita semakin terperangkap dalam “jariing laba-laba” rasa galau yang lebih besar, lebih dalam, lebih tak kendali. Kita merasa kalah, lelah, dan tak pernah benar-benar bebas. Akan tapi, saat kita berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan bertanya pada diri sendiri, “Mengapa ini begitu mengganggu?” kita mungkin mulai menemukan jawaban yang lebih jujur: bukan orang itu yang mengendalikan kita, tetapi perasaan kita terhadap mereka—harapan yang tak terpenuhi, luka yang belum sembuh, atau bahkan rasa tidak dihargai yang terus menggerogoti jiwa.
Mungkin, untuk pertama kalinya, kita perlu berhenti menyalahkan mereka dan mulai melihat ke dalam diri sendiri. Mungkin kita harus menyadari bahwa untuk meraih kedamaian, kita tidak perlu menunggu orang lain berubah. Kita hanya perlu belajar menerima, untuk melepaskan—bukan demi orang lain, tapi untuk diri kita sendiri. Agar beban itu tidak lagi menguasai, agar kita tidak lagi merasa terjebak.
Dalam perjalanan itu, kita mulai mengerti bahwa yang kita cari bukanlah perubahan orang lain, melainkan perubahan dalam diri kita. Sebab, kedamaian sejati bukan ditemukan dalam mempersalahkan, tetapi dalam melepaskan—memaafkan diri kita sendiri, memaafkan orang lain, dan akhirnya, berdamai dengan perjalanan hidup kita yang penuh liku.
3. Terperangkap dalam Sikap Menyalahkan Takdir dan Tuhan
Pernahkah Anda merasa seperti dunia ini seolah berbalik melawan Anda? Ketika segala yang Anda lakukan terasa sia-sia, ketika kebahagiaan yang Anda impikan seakan semakin menjauh, tak jarang kita tiba-tiba merasa begitu kecil dan tak berarti. Di tengah rasa sakit yang datang begitu mendalam, kita mulai bertanya, "Mengapa ini harus terjadi padaku?" Dan begitu pertanyaan itu keluar, yang datang kemudian adalah sebuah perasaan ingin menyalahkan. Kita menyalahkan takdir, merasa dunia ini tidak adil. Kita menyalahkan Tuhan, merasa Dia tak mempedulikan kita
Terkadang, di tengah kegalauan itu, kita merasa begitu hampa, seolah tak ada yang mengerti, tidak ada yang peduli. Seringkali, kita bertanya pada Tuhan dengan suara bergetar, "Mengapa Engkau membiarkan semua ini terjadi, ya Tuhan…?" Sebuah pertanyaan yang datang dari hati yang penuh dengan luka, dari jiwa yang berbeban berat. Dan dalam keputusasaan itu, kita berharap Tuhan akan memberi kita jawaban, memberi kita penghiburan. Tapi seringkali, jawaban itu tidak pernah datang. Lantas kita makin kecewa lagi dan lagi. Kita terpuruk dalam rasa kecewa yang lebih dalam lagi.
Hidup kita memang tak selalu bisa kita kendalikan. Tak semua yang kita harapkan akan terjadi. Tapi, bukankah hidup juga tentang menerima? Tentang memahami bahwa tak semua jawaban akan kita dapatkan sekarang? Bahwa tak semua luka akan sembuh dengan cepat? Kadang, yang kita butuhkan bukanlah untuk menyalahkan, tetapi untuk berhenti sejenak, untuk merenung, dan membuka hati kita untuk menerima kenyataan. Bahwa meskipun hidup tidak selalu sesuai harapan, tapi masih ada banyak hal berharga yang bisa kita dapatkan di dalamnya—hal-hal yang akan menguatkan kita untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik.
Mungkin Tuhan tidak memberi kita apa yang kita inginkan, tapi Dia memberi kita kesempatan untuk belajar, untuk tumbuh, dan untuk menemukan kedamaian di tengah kekacauan, oase di tengah padang gurun. Mungkin kita tidak pernah benar-benar tahu mengapa segala sesuatu terjadi, tetapi kita selalu bisa memilih untuk berjalan dengan hati yang lebih terbuka, dengan pikiran yang lebih lapang, dan dengan jiwa yang lebih sabar.
Jika kita berhenti menyalahkan, kita mulai belajar untuk merangkul. Jika kita berhenti mencari siapa yang salah, kita mulai menemukan siapa kita sebenarnya. Dan pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa hidup ini bukan tentang untuk sekedar mendapatkan semua yang kita inginkan, bukan sekedar “mengubah batu jadi roti” tetapi tentang menerima segala yang diberikan: “untung atau malang” , dengan penuh rasa syukur dan cinta.
B. Apa Reaksi Otak ketika:
1. Anda Menyalahkan diri Sendiri?
Ada sebuah lorong sunyi di dalam kepala kita. Sebuah ruang kecil yang tak terlihat kasat mata, namun tak pernah berhenti berbisik. Suaranya halus, sangat lembut, tapi efeknya, sering kali terasa lebih keras dari petir. Di sanalah rasa bersalah mulai tumbuh, seperti benih kecil yang kita tanam tanpa sadar—dengan penyesalan yang diulang-ulang, dengan harapan yang pelan-pelan kita kubur sendiri.
Ketika Anda menyalahkan diri sendiri, otak Anda bekerja tanpa henti. Tapi bukan untuk menyelesaikan masalah. Ia justru menciptakan lingkaran rasa sakit, menjadi benang kusut yang semakin sulit diurai. Prefrontal cortex, bagian otak yang bertugas membuat Anda berpikir jernih, perlahan melemah. Sebaliknya, amigdala—penjaga alarm emosi—menyala terang, mengirimkan sinyal-sinyal cemas yang menyebar ke seluruh tubuh. Napas terasa berat, dada sesak, dan pikiran seperti dihantui bayangan-bayangan yang terus berputar.
Pernahkah Anda merasa seperti ini? Berbaring di kasur, menatap langit-langit yang kosong, tapi kepala Anda terasa penuh. Setiap kesalahan kecil seolah membesar, memburu Anda tanpa ampun. “Kenapa aku begini?” atau “Apa aku memang tak bisa?” Pertanyaan-pertanyaan itu datang seperti hujan deras, tanpa jeda, tanpa kesempatan untuk berhenti.
Yang mungkin Anda belum tahu, otak tidak bermaksud menyakiti Anda. Ia hanya berusaha melindungi Anda, memastikan kesalahan tidak terulang. Tapi dalam upayanya itu, ia kadang tersesat. Ia lupa bahwa Anda adalah manusia—bukan mesin yang sempurna. Ketika rasa bersalah itu tinggal terlalu lama, zat-zat kebahagiaan seperti dopamin mulai surut. Sebaliknya, hormon stres seperti kortisol terus meningkat, membuat luka kecil di hati semakin sulit menganga lebar.
Namun, di balik semua ini, ada kabar baiknya. Bisikan-bisikan itu bisa Anda peluk, tidak perlu dilawan. Rasa bersalah, meskipun menyakitkan, adalah sebuah simbol bahwa Anda peduli. Ia adalah sebuah “sinyal” bahwa Anda masih punya hati.
Di sinilah letak keajaiban otak Anda: ia bisa sembuh, bahkan dari luka yang terdalam sekalipun. Saat Anda memilih berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan berkata lembut pada diri sendiri, “Aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa,” maka bagian prefrontal cortex Anda bangkit kembali. Amigdala perlahan mereda, dan pikiran yang tadinya seperti badai pelan-pelan berubah menjadi air yang tenang.
Menyalahkan diri sendiri adalah hal yang lumrah. Sesekali, kita semua pernah melakukannya—terjebak dalam rasa bersalah yang menyiksa. Namun, yang menjadi bahaya adalah ketika rasa itu dibiarkan tumbuh menjadi penguasa dalam diri Anda, mendikte setiap langkah dan merampas ketenangan hati Anda.
Untuk melepaskan diri dari jeratnya, Anda perlu memberi ruang pada diri Anda sendiri—ruang untuk menerima bahwa ketidaksempurnaan adalah bagian dari siapa kita. Belajarlah memaafkan diri, bukan karena kesalahan itu tidak penting, tetapi karena kesalahan adalah guru yang mengajarkan arti bertumbuh. Tanpa salah, kita tak akan pernah tahu bagaimana rasanya belajar, memperbaiki, dan memahami diri sendiri. Pada akhirnya, inilah yang menjadikan kita manusia seutuhnya.
2. Anda Menyalahkan Sesama, Takdir, dan Tuhan?
Ada rasa lelah yang sering kali tak kita sadari, terbungkus dalam amarah dan ketidakpuasan. Lelah karena dunia tidak pernah sesuai dengan keinginan kita. Lelah karena hidup tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Ketika seseorang terus menyalahkan sesama, nasib, bahkan Tuhan, sebenarnya ia sedang mencoba melawan sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri.
Di otak, proses ini lebih dari sekadar reaksi emosional. Amigdala—pusat rasa takut, marah, dan kewaspadaan—bekerja seperti alarm yang terus-menerus menyala. Setiap kali seseorang menyalahkan, amigdala mengirimkan sinyal bahaya ke seluruh tubuh, seakan-akan hidup ini adalah medan perang yang penuh musuh. Akibatnya, tubuh terus-menerus berada dalam kondisi “siap tempur”—detak jantung meningkat, otot menegang, dan hormon stres seperti kortisol membanjiri darah.
Namun, ada bagian lain di otak, prefrontal cortex, yang seharusnya membantu kita berpikir jernih dan menemukan solusi. Ketika menyalahkan menjadi kebiasaan, bagian ini perlahan kehilangan kendali. Akibatnya, kita lebih sering bereaksi tanpa berpikir. Kita menjadi seperti kapal tanpa nakhoda, terombang-ambing di lautan emosi.
Dan di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih dalam. Menyalahkan sering kali adalah pelarian. Sebuah cara untuk menghindari rasa sakit di dalam diri sendiri. Ketika kita merasa terluka, tidak berdaya, atau kehilangan harapan, menyalahkan menjadi tameng. Rasanya lebih mudah menunjuk orang lain, keadaan, atau bahkan Tuhan, daripada menerima bahwa hidup memang tidak selalu adil.
Namun, tahukah Anda apa yang terjadi jika ini dibiarkan terus? Otak kita mulai membentuk pola. Setiap kali kita menyalahkan, kita menciptakan jalan pintas baru di otak—sebuah kebiasaan neurologis. Lama-lama, menyalahkan menjadi respons otomatis, bahkan tanpa alasan yang jelas. Dan semakin kita terjebak dalam pola ini, semakin sulit bagi kita untuk melihat sisi baik dari dunia, dari orang lain, bahkan dari diri kita sendiri.
Tetapi, seperti setiap jalan yang pernah kita tempuh, kita selalu bisa memilih untuk berbalik arah. Otak kita memiliki kemampuan yang luar biasa untuk berubah—neuroplastisitas. Saat kita mulai menggeser fokus dari menyalahkan menjadi memahami, dari marah menjadi menerima, prefrontal cortex kita kembali mengambil kendali. Amigdala menjadi lebih tenang. Kita mulai melihat dunia dengan kacamata yang berbeda.
Penerimaan bukan berarti menyerah. Penerimaan adalah keberanian untuk berkata, “Aku tidak bisa mengubah semua hal, tetapi aku bisa mengubah cara aku melihatnya.” Ketika Anda berhenti menyalahkan, Anda memberi ruang pada otak untuk tumbuh. Anda membuka pintu pada rasa syukur, meskipun kecil. Dan dari rasa syukur itu, lahirlah kekuatan.
Menyalahkan adalah tanda bahwa Anda sedang berjuang. Tetapi jangan biarkan perjuangan itu membuat Anda lupa pada keindahan kecil di sekitar Anda—sebuah senyum, sebuah doa, atau bahkan detak jantung Anda sendiri yang masih setia menemani. Tuhan tidak pernah menjauh, bahkan ketika Anda meragukan-Nya.
Di balik semua rasa lelah itu, ada ruang untuk kedamaian. Dan Anda, sesungguhnya, lebih dekat dengan ruang itu daripada yang Anda kira.
C. Mindfulness
1. Apa itu?
Mindfulness itu seperti orang yang pulang ke rumah setelah perjalanan panjang. Ia, mindfulness, bukan sesuatu yang rumit, tidak pula hanya milik para meditator di puncak gunung. Mindfulness adalah kesadaran sederhana, hadir utuh di sini dan sekarang. Saat kita duduk dan benar-benar merasakan hembusan angin di kulit, mendengar riuh rendah kehidupan tanpa terburu-buru memberi nama atau makna, di situlah mindfulness lahir. Ia bukan tentang menghapus kekacauan hidup, melainkan berdamai dengannya, seperti menerima gerimis di sore hari tanpa berusaha menghentikannya.
Mindfulness mengajarkan kita untuk tidak selalu berlari ke masa depan atau tenggelam dalam bayang-bayang masa lalu. Hidup yang sering terasa berat menjadi lebih ringan karena kita tidak lagi memikul beban yang tak perlu. Saat Anda makan, cobalah hanya makan—rasakan tekstur, aroma, dan rasa yang sering luput. Saat berbicara, dengarkan dengan sepenuh hati, tanpa mempersiapkan jawaban. Dalam mindfulness, kita belajar menjadi manusia yang lebih hadir, bukan sekadar terburu-buru menyelesaikan hidup. Seperti menyeruput kopi hangat di pagi hari, mindfulness mengajak kita berhenti sejenak dan menikmati apa yang ada, apa adanya.
- Mindfulness dan Penerimaan Diri
Mengapa kita bersungut-sungut dan menyesali diri? Mungkin karena ada saat-saat di mana kita merasa hidup ini tidak adil. Ketika cobaan datang bertubi-tubi, ada suara kecil dalam hati yang berbisik penuh getir, “Mengapa mesti aku?” Kita melihat orang lain berjalan dengan ringan, sementara langkah kita terseret beban yang tak terlihat. Kita merasa terperangkap, seperti seorang pemain yang dipaksa ikut dalam permainan yang aturannya tidak pernah kita pahami. Ada luka yang belum sembuh, harapan yang berulang kali runtuh, dan rasa lelah yang mengendap di sudut hati, diam-diam menggerogoti kepercayaan diri kita. Dan dalam keheningan itu, pertanyaan “mengapa mesti aku?” terasa begitu menyakitkan, seolah menjadi bukti bahwa hidup tidak berpihak pada kita.
Saat kita terjebak dalam perasaan itu, dalam pertanyaan "mengapa mesti aku?" itu, kita cenderung menyalahkan diri sendiri, seolah segala yang buruk dalam hidup adalah akibat dari kelemahan kita. Kita bersungut-sungut, berputar-putar dalam rasa frustasi, seolah dunia ini hanya memberi kita cobaan tanpa henti. Dalam keadaan seperti itu, kita lupa bahwa menyalahkan diri tidak akan mengubah apapun. Sebaliknya, itu hanya memperburuk perasaan kita, membiarkan rasa kecewa dan sakit hati tumbuh lebih besar. Dan semakin kita terperangkap dalam penyesalan itu, semakin kita merasa terpenjara—terpenjara dalam pikiran dan perasaan yang tidak kunjung usai. Kita seperti terkurung dalam sebuah ruangan yang tak memiliki pintu, terus berputar dalam kesedihan dan rasa bersalah, tak tahu harus ke mana lagi. Kita akan semakin bersungut-sungut, semakin menyalahkan diri sendiri, justru semakin terperosok lebih dalam lagi ke dalam kebuntuan itu, seolah kita hanya berputar di tempat yang sama tanpa pernah keluar. Dalam keterpenjaraan itu, kita lupa bahwa kebebasan datang ketika kita berhenti mengurung diri dengan penyesalan yang tak berarti.
Kebebasan dari “penjara mental” itu hanya bisa datang ketika kita mulai menerima diri apa adanya. Menerima bukan berarti menyerah, melainkan berhenti melawan kenyataan yang ada. Kita tidak lagi terjebak dalam kekesalan atau penyesalan yang berlarut-larut, tetapi memberi ruang bagi diri untuk merasakan kedamaian, meski hidup tak selalu berjalan seperti yang kita harapkan. Dalam penerimaan, kita belajar untuk melihat kekurangan kita bukan sebagai aib, tetapi sebagai bagian dari siapa kita yang utuh. Kita mulai mengerti bahwa luka, kegagalan, dan ketidakpastian adalah bagian dari perjalanan, bukan akhir dari cerita.
Dengan menerima diri, kita membuka pintu keluar dari ruang sempit yang kita ciptakan sendiri dengan perasaan bersalah dan penyesalan. Kita memberi izin kepada diri untuk bernafas lagi, untuk melihat ke depan dengan hati yang lebih ringan. Penerimaan diri bukan tentang mengabaikan kesulitan, tetapi tentang memilih untuk tidak membiarkan kesulitan itu mendefinisikan siapa kita. Dalam kesadaran ini, kita menyadari bahwa kebebasan sejati bukan berasal dari menghindari kesalahan atau rasa sakit, tetapi dari keberanian untuk berdamai dengan diri sendiri—menerima diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan melangkah maju dengan penuh harapan.
Untuk mengubah kebiasaan bersungut-sungut dan menyalahkan diri sendiri menjadi perilaku menerima diri dapat dibangun melalui mindfulness. Mindfulness mengajarkan kita untuk benar-benar hadir, untuk merasakan setiap detik yang kita jalani tanpa terburu-buru atau melarikan diri dari kenyataan. Dalam keheningan itu, kita diajak untuk melihat diri kita dengan lebih jernih, tanpa topeng, tanpa penilaian yang menghakimi. Kita berhenti untuk terjebak dalam bayang-bayang penyesalan masa lalu, dan kekhawatiran akan masa depan. Setiap napas yang kita tarik menjadi pengingat bahwa kita tidak perlu lari dari perasaan kita, bahwa kita tidak perlu takut merasakannya. Rasa kecewa, rasa sakit, dan bahkan rasa bersalah yang kita bawa, semuanya hanyalah bagian dari kita yang harus diterima, bukan dilawan. Dan saat kita menerima itu semua dengan penuh kesadaran, kita mulai menemukan kedamaian dalam diri kita sendiri.
Dengan mindfulness, kita belajar untuk membuka hati kita pada setiap momen, tanpa beban atau ekspektasi. Ketika kita terjebak dalam rasa bersalah atau penyesalan, mindfulness mengajarkan kita untuk kembali ke saat ini, kembali ke diri kita yang sebenarnya. Kita mulai menyadari bahwa meskipun hidup penuh dengan tantangan, kita masih memiliki kemampuan untuk memilih bagaimana kita meresponinya. Kita bisa memilih untuk merasa lega, untuk melepaskan beban yang selama ini kita bawa tanpa kita sadari. Dalam setiap momen yang kita hadapi dengan kesadaran penuh, kita menemukan kebebasan yang sejati—bukan kebebasan dari masalah, tetapi kebebasan untuk melihat dan menghadapinya dengan hati yang terbuka, tanpa takut, tanpa penilaian. Di situlah kita menyadari bahwa kita tidak perlu sempurna untuk diterima, baik oleh diri sendiri maupun oleh dunia di sekitar kita.
2. Minfulness dan Menerima Sesama, Takdir, dan Tuhan
Sering kali dalam hidup, kita merasa frustrasi dan terjebak dalam perasaan tidak adil, lalu dengan mudah kita menyalahkan sesama, takdir, bahkan Tuhan. Ketika sesuatu tidak berjalan seperti yang kita harapkan, kita mencari alasan di luar diri kita. “Kenapa dia bisa, dan saya tidak?” atau “Mengapa takdirku harus seperti ini?” Kadang, kita bertanya pada Tuhan, “Mengapa engkau memberi ujian ini padaku?” Perasaan itu datang begitu saja, seperti hujan yang tak diundang, mengisi hati kita dengan amarah, rasa kecewa, dan ketidakpahaman. Kita merasa terasing, seolah dunia ini tidak berpihak pada kita. Menyalahkan orang lain, takdir, atau Tuhan membuat kita merasa lebih baik sejenak, tetapi pada akhirnya hanya semakin mengunci kita dalam ketidakpuasan dan kesedihan yang tiada habisnya. Perasaan ini membangun jarak antara kita dan orang-orang di sekitar kita, juga antara kita dan Tuhan. Kita lupa bahwa dalam setiap momen, kita punya pilihan untuk melihat dengan cara yang berbeda, bukan dengan pandangan penuh kemarahan, tetapi dengan hati yang lebih lapang.
Menerima sesama, takdir, dan Tuhan bukanlah hal yang mudah. Terutama ketika hidup membawa kita pada pertemuan dengan ketidakadilan, kesulitan, atau kehilangan yang begitu mendalam. Ketika seseorang menyakiti kita, atau ketika harapan-harapan yang kita bangun runtuh begitu saja, kita sering merasa sulit untuk menerima kenyataan itu. Namun, dalam setiap momen yang penuh luka dan kebingungannya, ada pelajaran berharga yang bisa kita temukan. Menerima sesama berarti melihat mereka dengan lebih manusiawi, dengan segala kelemahan dan keterbatasan mereka. Kita tidak bisa berharap orang lain selalu sesuai dengan harapan kita, karena mereka pun sedang berjuang dengan pergumulannya sendiri. Dengan menerima sesama, kita belajar untuk tidak membebani mereka dengan tuntutan yang tak realistis, tetapi memberi ruang untuk mereka menjadi diri mereka yang sejati.
Begitu juga dengan takdir. Takdir kadang memberi kita hal-hal yang sulit dipahami, bahkan terasa sangat tidak adil. Namun, dalam kesabaran dan kesadaran yang datang dengan mindfulness, kita mulai melihat bahwa takdir bukanlah musuh. Takdir adalah bagian dari perjalanan hidup yang lebih besar dari apa yang kita lihat dengan mata telanjang. Menerima takdir berarti berdamai dengan kenyataan, meskipun kita tidak selalu mengerti alasan di baliknya. Akhirnya, kita juga belajar menerima Tuhan dalam segala ketidakpastian yang ada. Tuhan bukanlah sosok yang menghukum atau memberi ujian tanpa tujuan, melainkan sumber dari segala yang kita butuhkan untuk bertumbuh. Ketika kita bisa menerima Tuhan dengan hati yang penuh, kita merasakan kedamaian yang jauh lebih dalam daripada sekadar pemahaman logis. Menerima sesama, takdir, dan Tuhan bukanlah tentang menyerah, tetapi tentang menemukan kekuatan dalam penerimaan, bahwa dalam segala yang kita hadapi, kita tidak sendirian.
Menerima sesama, takdir, dan Tuhan melalui mindfulness adalah perjalanan yang dimulai dari dalam diri kita sendiri—dari kesadaran bahwa kita tidak bisa mengontrol segala hal yang terjadi dalam hidup ini, namun kita bisa memilih untuk meresponsnya dengan penuh kesadaran dan penerimaan. Ketika kita berlatih mindfulness, kita belajar untuk tidak terjebak dalam kebencian atau penolakan terhadap sesama. Kita belajar melihat mereka tanpa prasangka, tanpa melibatkan ego kita yang seringkali menghalangi kasih sayang. Menerima sesama berarti menerima segala kekurangan, kesalahan, bahkan ketidaksempurnaan mereka, karena kita pun tidak lepas dari kekurangan yang sama. Kita belajar untuk tidak melabeli orang lain dengan kegagalan atau kekecewaan, karena setiap orang membawa kisah dan beban hidup mereka sendiri. Dalam ketenangan hati yang ditawarkan oleh mindfulness, kita mulai memahami bahwa setiap pertemuan adalah peluang untuk saling belajar, memberi, dan menerima dengan penuh kasih.
Penerimaan terhadap takdir melalui mindfulness bukan berarti kita menyerah atau pasrah tanpa usaha. Sebaliknya, ini adalah tentang membuka hati untuk menerima kenyataan, meski seringkali kenyataan itu tidak seperti yang kita inginkan atau harapkan. Ketika hidup membawa kita pada kehilangan yang dalam, pada kegagalan yang tak terduga, atau pada perubahan yang memaksa kita keluar dari zona nyaman, mindfulness membantu kita untuk tidak terus-menerus bertanya, “Mengapa ini terjadi pada saya?” Melalui praktik mindfulness, kita mulai melihat bahwa takdir bukanlah sesuatu yang harus dilawan, tetapi diterima dengan lapang dada. Dalam ketenangan yang terlahir dari penerimaan ini, kita menemukan ruang untuk merasakan setiap emosi—kesedihan, kemarahan, kekecewaan—tanpa harus menghindar dari mereka. Kita belajar bahwa takdir, meskipun terkadang terasa sangat berat, adalah bagian dari perjalanan panjang yang mengarah pada pembelajaran dan kedewasaan kita sebagai manusia.
Penerimaan terhadap Tuhan melalui mindfulness adalah sebuah pencarian yang penuh kerendahan hati. Dalam praktik ini, kita tidak hanya mencari Tuhan dalam doa yang tertulis atau dalam kata-kata, tetapi juga dalam setiap detik kehidupan yang kita jalani. Mindfulness mengajarkan kita untuk merasakan kehadiran-Nya dalam setiap nafas, dalam setiap momen kebahagiaan, dalam setiap kesulitan yang kita alami. Kita mulai menyadari bahwa Tuhan tidak selalu hadir dalam bentuk yang kita inginkan atau dengan cara yang kita pahami, tetapi Dia hadir dalam segala hal—dalam keheningan yang dalam, dalam kedamaian hati, dalam kesulitan yang mengajarkan kita untuk bersabar, dalam kasih sayang yang tak terucapkan. Dalam mindfulness, kita belajar untuk menerima Tuhan bukan hanya sebagai sosok yang memberi berkat atau cobaan, tetapi sebagai cahaya yang selalu menyinari langkah kita, meski kadang kita merasa tersesat dalam gelap. Penerimaan ini memberi kita kedamaian yang jauh lebih dalam daripada pemahaman atau pengetahuan semata. Dengan demikian, kita belajar untuk hidup dalam hubungan yang lebih intim dengan Tuhan, bukan berdasarkan apa yang kita harapkan, tetapi dengan penuh penerimaan terhadap segala yang Dia berikan dalam hidup kita.
D. Kesimpulan
Berdamai dengan diri sendiri dan sesama lewat jalan mindfulness adalah sebuah perjalanan penuh kedamaian yang diawali dengan penerimaan. Penerimaan terhadap diri kita yang tidak sempurna, terhadap luka-luka yang telah menggores jiwa, dan terhadap kenyataan hidup yang seringkali tidak sesuai dengan harapan. Mindfulness mengajarkan kita untuk melihat diri kita dengan mata yang lebih lembut, mengakui setiap perasaan, setiap kegagalan, dan setiap keindahan yang ada dalam diri kita tanpa rasa malu atau penolakan. Dengan mengasah kesadaran dalam setiap detik kehidupan, kita juga belajar untuk menerima sesama, takdir, dan Tuhan dengan lebih lapang hati. Kita berhenti menyalahkan diri atau orang lain, dan mulai mengerti bahwa setiap pertemuan, setiap tantangan, dan setiap pengalaman adalah bagian dari perjalanan yang penuh makna. Dalam keheningan hati yang lahir dari mindfulness, kita menemukan kebebasan—kebebasan untuk menerima kenyataan apa adanya, tanpa melawan atau menghakimi. Inilah jalan yang membawa kita menuju kedamaian sejati, sebuah jalan yang tidak hanya menyembuhkan luka di dalam diri, tetapi juga menghubungkan kita dengan dunia sekitar dengan lebih penuh kasih dan pengertian.
E. Saran
Jika ada satu hal yang dapat saya sarankan, itu adalah untuk memberi diri Anda kesempatan—kesempatan untuk berhenti sejenak, untuk menarik napas dalam-dalam, dan merasakan segala yang terjadi dalam hidup ini dengan lebih penuh. Dalam dunia yang begitu cepat dan sering kali memaksa kita untuk terus maju, ada kekuatan besar dalam hadir sepenuhnya di sini dan sekarang. Cobalah untuk tidak terburu-buru menghakimi perasaan Anda, atau mencari cara agar segala sesuatunya menjadi lebih baik. Terimalah diri Anda, dengan segala keraguan dan ketakutan, dengan segala kesalahan dan penyesalan, sebagai bagian dari perjalanan yang membawa Anda menjadi lebih manusiawi. Jangan takut untuk merasa rentan, karena justru dalam kerentanannya itu, Anda akan menemukan kekuatan yang tak terhingga. Bersama mindfulness, Anda akan belajar untuk berdamai dengan diri sendiri, sesama, dan takdir yang tak selalu bisa dipahami. Biarkanlah kebahagiaan dan kedamaian datang, bukan dari apa yang Anda capai, tetapi dari kemampuan Anda untuk menerima setiap bagian dari hidup ini dengan penuh cinta dan pengertian. Amin
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI