Mohon tunggu...
Mimpin Sembiring
Mimpin Sembiring Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Psikologi pada Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura Delitua Medan

Suka belajar dan berenang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berdamai dengan Diri Sendiri, Sesama, Takdir, dan Tuhan Lewat Jalan Mindfulness

15 Januari 2025   11:41 Diperbarui: 15 Januari 2025   11:46 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perjalanan itu, kita mulai mengerti bahwa yang kita cari bukanlah perubahan orang lain, melainkan perubahan dalam diri kita. Sebab, kedamaian sejati bukan ditemukan dalam mempersalahkan, tetapi dalam melepaskan—memaafkan diri kita sendiri, memaafkan orang lain, dan akhirnya, berdamai dengan perjalanan hidup kita yang penuh liku.

3. Terperangkap dalam Sikap Menyalahkan Takdir dan Tuhan

Pernahkah Anda merasa seperti dunia ini seolah berbalik melawan Anda? Ketika segala yang Anda lakukan terasa sia-sia, ketika kebahagiaan yang Anda impikan seakan semakin menjauh, tak jarang kita tiba-tiba merasa begitu kecil dan tak berarti. Di tengah rasa sakit yang datang begitu mendalam, kita mulai bertanya, "Mengapa ini harus terjadi padaku?" Dan begitu pertanyaan itu keluar, yang datang kemudian adalah sebuah perasaan ingin menyalahkan. Kita menyalahkan takdir, merasa dunia ini tidak adil. Kita menyalahkan Tuhan, merasa Dia tak mempedulikan kita

Terkadang, di tengah kegalauan itu, kita merasa begitu hampa, seolah tak ada yang mengerti, tidak ada yang peduli. Seringkali, kita bertanya pada Tuhan dengan suara bergetar, "Mengapa Engkau membiarkan semua ini terjadi, ya Tuhan…?" Sebuah pertanyaan yang datang dari hati yang penuh dengan luka, dari jiwa yang berbeban berat. Dan dalam keputusasaan itu, kita berharap Tuhan akan memberi kita jawaban, memberi kita penghiburan. Tapi seringkali, jawaban itu tidak pernah datang. Lantas kita makin kecewa lagi dan lagi. Kita terpuruk dalam rasa kecewa yang lebih dalam lagi.

Hidup kita memang tak selalu bisa kita kendalikan. Tak semua yang kita harapkan akan terjadi. Tapi, bukankah hidup juga tentang menerima? Tentang memahami bahwa tak semua jawaban akan kita dapatkan  sekarang? Bahwa tak semua luka akan sembuh dengan cepat? Kadang, yang kita butuhkan bukanlah untuk menyalahkan, tetapi untuk berhenti sejenak, untuk merenung, dan membuka hati kita untuk menerima kenyataan. Bahwa meskipun hidup tidak selalu sesuai harapan, tapi masih ada banyak hal berharga yang bisa kita dapatkan di dalamnya—hal-hal yang akan menguatkan kita untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik.

Mungkin Tuhan tidak memberi kita apa yang kita inginkan, tapi Dia memberi kita kesempatan untuk belajar, untuk tumbuh, dan untuk menemukan kedamaian di tengah kekacauan, oase di tengah padang gurun. Mungkin kita tidak pernah benar-benar tahu mengapa segala sesuatu terjadi, tetapi kita selalu bisa memilih untuk berjalan dengan hati yang lebih terbuka, dengan pikiran yang lebih lapang, dan dengan jiwa yang lebih sabar.

Jika kita berhenti menyalahkan, kita mulai belajar untuk merangkul. Jika kita berhenti mencari siapa yang salah, kita mulai menemukan siapa kita sebenarnya. Dan pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa hidup ini bukan tentang untuk sekedar mendapatkan semua yang kita inginkan, bukan sekedar “mengubah batu jadi roti” tetapi tentang menerima segala yang diberikan: “untung atau malang” , dengan penuh rasa syukur dan cinta.

B. Apa Reaksi Otak ketika:

1. Anda Menyalahkan diri Sendiri?

Ada sebuah lorong sunyi di dalam kepala kita. Sebuah ruang kecil yang tak terlihat kasat mata, namun tak pernah berhenti berbisik. Suaranya halus, sangat lembut, tapi efeknya, sering kali terasa lebih keras dari petir. Di sanalah rasa bersalah mulai tumbuh, seperti benih kecil yang kita tanam tanpa sadar—dengan penyesalan yang diulang-ulang, dengan harapan yang pelan-pelan kita kubur sendiri.

Ketika Anda menyalahkan diri sendiri, otak Anda bekerja tanpa henti. Tapi bukan untuk menyelesaikan masalah. Ia justru menciptakan lingkaran rasa sakit, menjadi benang kusut yang semakin sulit diurai. Prefrontal cortex, bagian otak yang bertugas membuat Anda berpikir jernih, perlahan melemah. Sebaliknya, amigdala—penjaga alarm emosi—menyala terang, mengirimkan sinyal-sinyal cemas yang menyebar ke seluruh tubuh. Napas terasa berat, dada sesak, dan pikiran seperti dihantui bayangan-bayangan yang terus berputar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun