Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Orang-orang Menyebut Ayahku Koruptor

10 Desember 2021   04:13 Diperbarui: 10 Desember 2021   04:16 2664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Kompas.Com

Cerpen: Orang-orang Menyebut Ayahku Koruptor

Aku seolah berjalan menyusuri gelapnya lorong kehidupan dengan penuh kesedihan dan deraian airmata. Terhempas dalam gelombang kehidupan yang amat pekat bahkan pelik. Semua mata memandangku sinis. Tak ada rasa persahabatan. Apalagi persaudaraan yang menjadi ciri khas warga kota kami. 

Mereka menjauh dari derap langkah kehidupan kami. Mengucilkan aku sekeluarga. Menjuluki aku anak koruptor. Pemiskin mereka. Penyengsara mereka dan keluarganya yang hidup di alam kaya raya. Dengan bermodalkan tongkat dan kayu saja mereka bisa hidup sebagaimana lirik lagu band legendaris Koes Plus.

Aku tak mengerti. Sama sekali tak mengerti alur pikiran ayahku hingga harus menjerembabkan diri ke dalam sel yang katanya penuh ribuan duka bagi penghuninya. Ayahku bukanlah lelaki yang asing dengan duit. Tak sama sekali. Bagi ayah uang berserakan di atas meja bukanlah sesuatu yang aneh. 

Semenjak aku tahu cahaya dunia, ayah sudah bergelimangan harta. Uang bergepok-gepok di atas meja, di dalam lemari kamar hingga tasnya bukanlah sesuatu yang asing baginya.

Bagaimana tidak, sebagai anak seorang pengusaha, ayah diwarisi berlimpah harta dan sederet usaha yang secara akal sehat tak mungkin memiskinkannya. Uang terus mengalir ke saku celananya hingga ke tabungan bank tiap bulannya dari produk usaha orang tua yang dijalankannya.

Aku sebagai anaknya pun tak habis pikir. Kenapa ayah tak membelanjakan uangnya yang bejibun itu untuk kemashalatan orang banyak dengan membangun pusat-pusat pelatihan anak-anak muda di Kota kami biar mereka pintar dan cerdas sebagai aset masa depan bangsa. Lagi pula uang sebanyak itu tak akan dibawa mati.

"Kamu terlalu banyak membaca buku," ujar ayah saat itu kepadaku.
"Bukankah dengan banyak membaca, cakrawala berpikir kita luas," jawabku.
"Kamu belum tahu kehidupan yang sebenarnya, Nak. Kamu masih mahasiswa. Ayah dulu saat masih kuliah juga berpikiran sama seperti kamu. Idealis," jawab ayah.

Aku juga tak mengerti alur pikiran ayah ketika dia tiba-tiba mencalonkan diri menjadi pemimpin daerah tanpa berbekal ilmu birokrasi yang kuat. Bukankah selama ini ayah tak pernah berkecimpung dalam dunia birokrasi? Ikut dalam kepenguusan organisasi pun ayah tak pernah sama sekali. 

Selama ini ayah hanya sibuk dengan urusan bisnisnya. Dari mulai mentari terbit hingga matahari terbenam, ayah selalu disibukkan dengan urusan bisnis dan bisnis.

"Bagaimana ayah bisa menjadi pemimpin yang baik dan berkwalitas kalau tak menguasai ilmu pemerintahan," pikirku sarat dengan ragu atas kemampuan ayah. Dan aku juga heran dengan cara berpikir para pemilih yang tak cerdas sehingga mereka menghantarkan ayahku menjadi seorang pemimpin. Apakah mereka menerima uang dari ayah dan tim suksesnya saat memilih ayah di TPS? Aku hanya bisa memaki. Hanya bisa menggumam dalam hati. Nasi sudah menjadi bubur.

"Ayah bisa belajar. Bukankah belajar tak mengenal usia? Lagi pula ayah tak akan malu belajar dan bertanya kepada bawahan ayah yang pintar-pintar itu," tegas ayah seolah menjawab keraguanku atas kemampuannya sebagai seorang pemimpin daerah. Aku pun cuma terdiam atas jawaban ayah saat itu.

Ayah kini harus menerima stigma sebagai koruptor. Semua orang menjulukinya demikian dengan nada suara garang berbalut wajah penuh tatapan kebencian. Pengadilan telah memutuskan dia bersalah karena mengkorupsi dana rumah sakit. Anak-anak hingga orang dewasa di kota kami tahu dengan predikat ayah sebagai koruptor yang sangat jahat itu dan pekerjaan paling dimusuhi orang dimuka bumi ini.

"Ayahmu orang jahat. Jahat sekali," ujar seorang teman kepada ku.

"Betul sekali kawan. Koruptor," teriak teman ku yang lain.

"Kami tak mau lagi bersahabat dengan kamu, anak koruptor yang telah memakan uang kami," sambung yang lain.

"Kami kecewa denganmu yang telah memperalat kami untuk demo anti korupsi. Ternyata ayahmu adalah seorang koruptor," cetus teman yang lain dengan nada suara penuh kebencian.

Aku hanya terdiam. Tak menjawab. Membisu. Keheningan siang itu membuat aku sangat terpojok dengan makian dan serapah mereka. Dan aku sangat paham. Bersama mereka, aku yang tergabung dalam Komunitas Air Jahe adalah kumpulan anak muda yang getol memerangi perilaku purba bernama koruptor di kota kami. 

Beberapa kali aku memimpin demo besar di halaman kantor aparat hukum kota kami yang menuntut keberanian para penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus korupsi.

Sementara cahaya matahari yang terik siang itu, seolah menamparku dengan cahayanya. Membuat wajahku memerah seolah hendak membakar seluruh tubuh ku yang lesu ditelan narasi hitam yang terus bersenandung menghantam sekujur tubuhku.

Aku bertandang ke rumah tahanan yang terletak di luar kota dimana ayah kini mendekam. Aku harus menjenguknya, walaupun dia telah dijuluki orang dengan sebutan koruptor. Sebuah julukan untuk penjahat klas berat di negeri ini. Sebuah julukan yang amat memalukan kehormatan kami sebagai keluarganya. Sebuah julukan yang akan kami bawa hingga ke liang lahat dan menjadi aib keluarga yang tak bisa dikonversikan dengan segepok uang.

Aku harus menjenguknya. Biar bagaimana pun dia tetap ayahku. Ya, dia tetap ayahku. Aku masih ingat dengan pesan ibu sebelum beliau wafat.

"Sejelek-jeleknya ayahmu, dia orang tuamu. Engkau harus menghormatinya," kata ibu penuh nasehat.

"Walaupun dia seorang koruptor?" tanyaku.

"Dia ayahmu," jawab ibu sambil menatap wajahku yang sangat marah dengan aksi purba ayah menguntungkan dirinya dan merugikan orang banyak.

Ku tatap wajah ayah. Tampak kesedihan tergambar dalam wajah tuanya. Senyum manisnya yang selama ini menjadi pelipur bahagia kami saat dia tiba dari kantor, seolah tertutup dalam balutan kesedihan yang terpancar diwajahnya tanpa topeng. Ayah seolah merasa malu dengan kehadiranku. Ada rasa sesal yang amat mendalam dari guratan di wajahnya.

"Maafkan kesalahan ayahmu yang telah mencoreng nama baik keluarga," katanya pelan saat kami bertemu di sebuah ruangan di rumah tahanan.

Aku hanya terdiam. Tak menjawab. Suaraku amat berat untuk menjawabnya. Ku cium tangannya sebagai bentuk tanda baktiku sebagai anak kepada orang tua. Biar dia koruptor dan penjahat kemanusiaan, dia tetap ayah ku. Orang tua ku.

Aku menatap langit. Cahaya rembulan bersinar dengan indahnya. Terangi bumi dengan ikhlas. Tak ada basa-basi dalam cahaya terangnya. Rembulan menerangi bumi dengan setulus hati. Tanpa mengharapkan adanya sebuah harapan dari penghuni bumi, para manusia yang hidupnya beragam corak dan latar belakang.

Aku masih ingat dan ingat, pada suatu malam yang diterangi cahaya rembulan indah, saat aku bersama ayah duduk di belakang rumah dinas yang dijaga ketat sambil menikmati kopi.

"Apakah salah ayah mengharapkan sesuatu dari orang yang ayah bantu?" ujar ayah saat aku menanyakan kenapa ayah selalu meminta komisi dari anak buahnya.

"Toh mereka memberikannya dengan ikhlas kok tanpa paksaan," sambung ayah.
"Kalau mereka tak memberikan ayah komisi dari kegiatan di kantor, maka mereka para bawahan ayah itu akan ayah berhentikan dari jabatannya," jawabku dengan nada keras. Baru kali ini aku berbicara dengan ayah dengan nada suara yang kencang bak para orator demo.

"Aku tak mau ayah nanti akan dijuluki sebagai koruptor kalau tak berkuasa lagi," sambungku dengan nada pelan.

"Kamu masih kecil. Belum mengerti apa-apa. Suatu saat nanti kamu akan paham," ujar ayah dengan suara bijaksana.

Ayah kini harus menjalani hidup dalam bui sesuai dengan perbuatannya yang telah merugikan negara lewat aksi purbanya. Predikat koruptor telah distigmakan kepada orang tua ku oleh semua orang di kota kami dengan nada garang. Ayah dinyatakan bersalah karena menerima uang sogokan dari bawahannya dalam sebuah operasi tangkap tangan dari KPK. 

Kami sebagai anak pun harus menerima beban hidup atas perbuatan ayah sebagai anak koruptor. Sebuah julukan yang amat melukai hati dan jiwa kami. Setetes aib yang harus kami tanggung selama badan masih dikandung.

Aku hanya menghela nafas panjang. Sementara malam semakin menua seiring terlelapnya aku dalam mimpi panjang sebagai anak seorang koruptor.

Toboali, Jumat barokkah, 10 Desember 2021

Salam sehat dari Kota Toboali

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun