"Bagaimana ayah bisa menjadi pemimpin yang baik dan berkwalitas kalau tak menguasai ilmu pemerintahan," pikirku sarat dengan ragu atas kemampuan ayah. Dan aku juga heran dengan cara berpikir para pemilih yang tak cerdas sehingga mereka menghantarkan ayahku menjadi seorang pemimpin. Apakah mereka menerima uang dari ayah dan tim suksesnya saat memilih ayah di TPS? Aku hanya bisa memaki. Hanya bisa menggumam dalam hati. Nasi sudah menjadi bubur.
"Ayah bisa belajar. Bukankah belajar tak mengenal usia? Lagi pula ayah tak akan malu belajar dan bertanya kepada bawahan ayah yang pintar-pintar itu," tegas ayah seolah menjawab keraguanku atas kemampuannya sebagai seorang pemimpin daerah. Aku pun cuma terdiam atas jawaban ayah saat itu.
Ayah kini harus menerima stigma sebagai koruptor. Semua orang menjulukinya demikian dengan nada suara garang berbalut wajah penuh tatapan kebencian. Pengadilan telah memutuskan dia bersalah karena mengkorupsi dana rumah sakit. Anak-anak hingga orang dewasa di kota kami tahu dengan predikat ayah sebagai koruptor yang sangat jahat itu dan pekerjaan paling dimusuhi orang dimuka bumi ini.
"Ayahmu orang jahat. Jahat sekali," ujar seorang teman kepada ku.
"Betul sekali kawan. Koruptor," teriak teman ku yang lain.
"Kami tak mau lagi bersahabat dengan kamu, anak koruptor yang telah memakan uang kami," sambung yang lain.
"Kami kecewa denganmu yang telah memperalat kami untuk demo anti korupsi. Ternyata ayahmu adalah seorang koruptor," cetus teman yang lain dengan nada suara penuh kebencian.
Aku hanya terdiam. Tak menjawab. Membisu. Keheningan siang itu membuat aku sangat terpojok dengan makian dan serapah mereka. Dan aku sangat paham. Bersama mereka, aku yang tergabung dalam Komunitas Air Jahe adalah kumpulan anak muda yang getol memerangi perilaku purba bernama koruptor di kota kami.Â
Beberapa kali aku memimpin demo besar di halaman kantor aparat hukum kota kami yang menuntut keberanian para penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus korupsi.
Sementara cahaya matahari yang terik siang itu, seolah menamparku dengan cahayanya. Membuat wajahku memerah seolah hendak membakar seluruh tubuh ku yang lesu ditelan narasi hitam yang terus bersenandung menghantam sekujur tubuhku.
Aku bertandang ke rumah tahanan yang terletak di luar kota dimana ayah kini mendekam. Aku harus menjenguknya, walaupun dia telah dijuluki orang dengan sebutan koruptor. Sebuah julukan untuk penjahat klas berat di negeri ini. Sebuah julukan yang amat memalukan kehormatan kami sebagai keluarganya. Sebuah julukan yang akan kami bawa hingga ke liang lahat dan menjadi aib keluarga yang tak bisa dikonversikan dengan segepok uang.