"Cepat!!" Suara petugas keamanan kembali menghampiri kuping Mbak Muda dengan narasi membentak.Â
Mendengar itu dengan dada renyuh. Jiwanya menangis.
" Rakyat kecil. Oh nasibmu," dia membatin.Â
Bersamaan dengan itu, dirinya berlari menerobos hujan ke seberang jalan. Seluruh tubuhnya basah.
Mbak Muda memanggilnya nama seseorang  ke segerombolan lelaki yang sedang ngopi di sebuah warung. Seorang lelaki paruh baya menoleh, kemudian bangkit setelah menghabiskan kopinya dengan seruputan yang agak lama.
Mbak Muda kembali  ke tempat jualannya. Dengan setengah berlari, pelan membelah hujan. Lelaki yang dipanggilnya itu pun mengikutinya dari belakang sambil sembari membawa becak. Bibir tuanya masih ditancap sebatang rokok yang mengepulkan asap yang membelah hujan. Sementara kakai tuanya terus mengayuh pedal becaknya dengan tempo lemah.
Usai mengisi barang dagangannya ke dalam becak, keduanya dengan segera meninggalkan tempat jualan Mbak Muda yang terletak di pintu masuk sebuah pertokoan pusat perbelanjaan besar yang ada di Kota mereka.
Setiap hari, ketika sudah berada diatas kepala, Â dia dan rekan-rekan lainnya sesama pedagang kaki lima, harus pindah dari lokasi depan pintu masuk. Padahal semua pedagang mengimpikan berada di situ seharian karena ramai dilewati orang-orang.
Setiap panas matahari sudah berada diatas kepala, mereka, para pedagang kaki lima itu diharuskan pindah berjualan di luar  sebuah Pusat pembelajaan moderen. Dirinya rela membayar jasa kepada lelaki  tua yang berprofesi sebagai peneraik becak itu setiap hari untuk bisa mengangkut dagangannya ke tempat itu. Meski penarik becak itu kerap kali usil dengan memegang pantat atau pipinya.
"Terima kasih ya Pak," Mbak muda itu mengulur selembar uang.
"Aduh, kalau hari ini harus sepuluh ribu, Mbak. Aku kan harus kehujanan," jawab lelaki itu dengan lirikan mata menggoda.
"Jaraknya kan dekat Pak," ujar Mbak muda itu