Cerpen : Sang Pengambisi
Isu resufle kabinet di Negeri Lilot dalam sepekan terakhir makin menggema. Berhembus kencang bak angin selatan yang datang secara tiba-tiba. Pergantian para pejabat ini, menurut sumber terpercaya, terkait upaya Kepala Negeri Lilot untuk mengaplikasikan visi dan misinya saat kampanye pada pemilu beberapa waktu lalu. Intinya untuk perubahan pembangunan dan kesejahteraan warga.
Yang paling merasakan ketakutan yang amat sangat hembusan isu resufle itu adalah Kedindil, pejabat di salah satu dinas. Terlebih lagi, Kepala Negeri dalam semingggu terakhir, tak pernah lagi meminta dirinya datang ke ruangan Sang Kepala Negeri sekadar menanyakan tugas-tugas yang sudah dikerjakan. Kondisi ini membuat Kedindil makin percaya dengan isu bahwa dirinya termasuk salah sati pegawai yang akan dilengser.
Siang itu, saat matahari bersinar dengan garangnya diatas kepala, di warung Mang Keliru, sejumlah pejabat negeri sedang berkumpul. Fokus pembicaraan tentang isu rencana resufle kabinet.
"Pak Kedindil. Apa benar Kepala Negeri akan me-resufle kabinet dalam minggu-minggu ini?," tanya  Usen.
"Saya belum dengar. Isu itu pun saya baru dengar dari kawan-kawan. Kepala Negeri belum pernah cerita tentang soal mutasi," jawab Kedindil sambil menyeruput kopi yang terhidang di hadapannya.
"Saya nggak percaya kalau Pak Kedindil tidak tahu isu itu. Bapak kan  tim sukses Kepala Negeri terpilih waktu pemilihan dulu. Pak Kedindil kan orang kepercayaan beliau. Masa tangan kanan pemimpin ndak tahu berita itu," lanjut Usen seraya menyantap pisang goreng.
"Jujur, saya belum tahu rencana itu," jawab Pak Kedindil dengan rasa malas.
"Wah kalau begitu ceritanya, Pak Kedindil tampaknya sudah nggak dipake ama Kepala Negeri lagi nih ceritanya. Pak Carmuk saja udah tahu kalo mau ditempatkan sebagai Kepala Dinas. Masa Pak Kedindil belum tahu posisi diri sendiri?," sela yang lain.
"Mestinya para pegawai tahu diri. Kalau usia sudah masuk masa pensiun, tak harus ngotot minta jabatan. Janganlah dengan jabatan justeru merugikan orang banyak. Buat apa bangga dengan jabatan kalo hanya untuk petantang petenteng dan tidak mampu memberikan kontribusi buat warga? Â Serahkan kepada yang muda-muda dan yang ahlinya. Ada regenerasi. Saya setuju dengan langkah Kepala Negeri untuk melakukan perubahan dengan menempatkan orang yang sesuai bidangnya dan yang energik. Jangan yang diajak yang sudah tua-tua dan uzur. Kasian warga. Kasian Kepala Negeri," ujar Arok, Ketua Organisasi Pemuda.
Pengunjung warung Mang Keliru pun terdiam mendengar celetukan Arok. Dalam hati mareka berkeyakinan, apa yang diucapkan Arok ada benarnya juga dan sangat masuk akal.
Setiba  di rumah, Pak Kedindil diam seribu bahasa. Panggilan dari sang isteri tidak digubrisnya. Entah sudah berapa kali, tawaran minum yang dihidangkan sang isteri di teras depan  rumah mereka, tidak dihiraukankanya. Sang isteri pun bingung. Apa gerangan yang terjadi pada suaminya?
"Pak. Diminum kopinya. Entar kopinya keburu dingin. Ndak enak lho minum kopi dingin," ujar isteri Pak Kedindil.
Pak Kedindil tidak menyahut. Diam seribu bahasa. Wajahnya terkesan gusar. Ada sesuatu yang terpendam. Seakan-akan hendak memecahkan kepalanya yang sudah ditumbuhi  warna putih.
Melihat sang suami tidak menanggapi percakapannya, sang isteri langsung pergi meninggalkan Pak Kedindil seorang diri.
           Â
Usai Maghrib, ketukan pintu depan membuat kaget Pak Kedindil yang sedang asyik nonton TV sendirian. Pintu dibukanya. Terlihat wajah Pak Carmuk tersenyum bahagia.
"Oh, Pak Carmuk. Apa kabar? Mari Masuk," sapa Kedindil sambil mempersilahkan Pak Carmuk duduk di ruang depan rumahnya.
"Kok sepi. Kemana  isteri dan anak-anak," tanya Pak Carmuk seraya menyandarkan badan pada daun kursi.
"Anak-anak bersama ibunya ke rumah mertua. Ada keperluan," jawab Pak Kedindil.
"Oh, ya. Pak Kedindil udah denger belum rencana Kepala Negeri mau merombak susunan personalia pemerintahan kita," tanya Pak Carmuk.
"Belum Pak. Emangnya Pak Carmuk udah dihubungi Kepala Negeri?".
"Belum sih. Cuma info yang saya denger dari Pak Sekretaris, kalau Kepala Negeri mau melakukan perombakan besar-besaran. Beliau mau menempatkan orang-orang terbaik yang akan melaksanakan visi dan misi beliau waktu kampanye dulu."
"Oh.... Kalau begitu, kita-kita ini akan terpental dari posisi kita selama Pak."
"Saya belum tahu Pak Kedindil. Ya, kita pasrah saja. Jabatan kan amanah dan kepercayaan. Kalo kita tidak dipercaya lagi, ya, kita harus bersikap bijaksana. Jabatan jangan dikejar-kejar lah. Ntar kita sendiri yang repot. Apalagi usia kita kan udah tergolong telmi."
"Telmi...?" Pak Kedindil heran.
"Iya. Telat mikir. Maklum kan usia kita udah layak pensiun. Kalah bersaing dengan pegawai-pegawai muda itu. Kita ini kan cuma menang di golongan saja. Kalau soal ilmu, jujur saja, kita ini ketinggalan. Makanya, saya pasrah saja, kalau nggak di pake lagi. Biar pegawai yang muda-muda itu membantu Kepala Negeri mewujudkan visi dan misi beliau agar rakyat lebih sejahtera. Mareka kan masih fresh," Pak Carmuk berseloroh.
Sepulangnya Pak Carmuk, Pak Kedindil langsung tancap gas dengan motor dinasnya. Pria setengah baya ini menuju rumah Mbah Pahing yang terletak di desa seberang. Sudah bukan rahasia umum lagi, Mbah Pahing dikenal sebagai orang pintar. Banyak orang terkenal yang berkunjung ke rumahnya.
"Anu, Mbah. Saya minta pendapat. Bagaimana dengan karier saya? Soalnya ada isu, Kepala Negeri akan merombak kabinetnya," tanya Pak Kedindil hati-hati.
"Saya sudah tahu itu. Posisimu akan digantikan orang yang lebih muda dan cerdas serta penuh vitalitas. Orang-orang ini yang akan dipakai Bos mu," jelas Mbah Pahing.
"Apa yang harus saya lakukan Mbah?," tanya Pak Kedindil.
"Kamu titip barang ini di pintu masuk ruangan kerja Bos mu," jawab Mbah Pahing sambil menyodorkan sesuatu bungkusan kepada Pak Kedindil.
Usai subuh, Pak Kedindil melangkah kakinya menuju rumah Kepala Negeri. Di tangan kanannya menenteng bungkusan kecil pemberian Mbah Pahing. Usai bersapa ria dengan para hansip yang bertugas di halaman rumah Kepala Negeri, Pak Kedindil langsung menuju ruang belakang rumah Kepala Negeri. Tampak isteri Kepala Negeri sedang mendengarkan ceramah subuh seorang ustadz terkenal di televisi. Melihat kehadiran Kedindil, isteri Kepala Negeri langsung menyapa.
"Tumben, Pak Kedindil. Pagi-pagi datang ke rumah. Ada keperluan penting ya," tanya isteri Kepala Negeri kepada Kedindil.
"Iya, Bu. Saya ingin mencari informasi yang akurat dan terpercaya soal mutasi pegawai. Soalnya banyak yang bertanya kepada saya," jawab Kedindil.
"Maaf, ya Pak Kedindil. Kalau masalah itu, saya ndak paham. Itu wewenang Bapak. Saya nggak ngerti sama sekali. Saya mohon maaf Pak. Saya ndak tau soal-soal itu," jawab isteri Kepala Negeri.
"Baiklah Bu. Saya mohon maaf telah menggangu. Ini ada titipan hasil kebun untuk Bapak," ujar Pak Kedindil.
"Terima kasih ya Pak Kedindil. Buat repot saja bawa hasil kebun ini," ujar isteri Kepala Negeri.Â
Pak Kedindil pun pamit dan meninggalkan rumah Kepala Negeri dengan seribu pertanyaan dalam hati.
Siang harinya, suasana tidak seperti biasanya di Kantor Kepala Negeri. Â Para pegawai Kenegerian sibuk membicarakan tentang isu perombakan personalia pemerintahan dari pada melayani para warga yang datang berurusan.
"Kabarnya, yang akan diangkat sebagai Sekretaris adalah pegawai muda dari salah satu dinas. Orangnya masih muda dan bertitel. Lulusan Universitas jurusan administrasi," ujar Pak Gamang, Kepala Keamanan Kantor Kepala Negeri.
"Iya. Kabarnya yang akan menempati posisi bendaharawan adalah seorang lulusan akuntansi masih muda juga. Lulusan terbaik di universitasnya," sela Mina yang bekerja di bagian pelayanan umum.
"Hebat dong gebrakan Kepala Negeri kita. Menempatkan orang-orang terbaik pada posisinya," tukas Iyan, sang hansip.
"Memangnya kamu mau diganti posisimu sebagai tukang jaga malam sama  PakKepala Negeri," tanya Mina kepada Iyan dengan penuh emosi.Â
Iyan tak menjawab. Wajahnya merah membara menahan emosi.
Tak lama setelah gonjang ganjing kelakar para pegawai Kantor Kenegerian siang itu, Kepala Negeri mengumpul semua staf di ruang rapat. Wajah beberapa pegawai berusia lanjut terlihat tegang. Termasuk Pak Kedindil. Kepala Negeri merasakan adanya sesuatu yang terjadi pada beberapa pegawai ini.
"Bapak dan Ibu sekalian. Saya mengumpulkan kalian semua di ruang ini untuk menjelaskan tentang rencana mutasi di pemerintahan kita. Tujuannya jelas, untuk meningkatkan kwalitas pelayanan. Pergantian ini adalah sesuatu yang harus dilakukan. Saya ingin yang membantu saya adalah pegawai-pegawai yang penuh semangat dan penuh vitalitas. Kita semua kan tahu. Saat ini pelayanan kita terhadap masyarakat belum prima. Banyak keluhan dari warga," jelas Kepala Negeri. Â
Semua yang hadir terdiam.
Usai rapat, Pak Kedindil menemui Kepala Negeri. Dengan langkah tegap dan senyum yang mempesona, Pak Kedindil masuk ke ruangan Kepala Negeri.
"Pak. Saya mohon agar surat pensiun saya segera ditandatangani. Sudah waktunya saya mengabdi untuk keluarga. Saya rasa sudah cukup sampai usia  setua ini saya mengabdi untuk masyarakat. Saya ingin pensiun, Pak. Saya akan pulang kampung saja. Biar bisa dekat dengan keluarga," jelas Pak Kedindil.
Kepala Negeri tersenyum mendengar keinginan Pak Kedindil.Â
"Saya bangga dengan Pak Kedindil. Berjiwa besar dan patriotisme. Siap memberikan tempat kepada yang muda-muda untuk terciptanya regenerasi. Saya bangga dengan Pak Kedindil. Saya bangga sekali," ujar Kepala Negeri sembari menepuk-nepuk pundak Kendindil.
Pak Kedindil pun meninggalkan  kantor Kepala Negeri dengan wajah berbalut kegembiraan. Ingin rasanya ia mengabarkan kepada semua orang bahwa dia bukan pengambisi jabatan. Dirinya adalah abdi masyarakat. Bukan abdi jabatan.
Toboali, jumat barokah, 17 September 2021
Salam sehat dari Kota Toboali
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI