"Oh.... Kalau begitu, kita-kita ini akan terpental dari posisi kita selama Pak."
"Saya belum tahu Pak Kedindil. Ya, kita pasrah saja. Jabatan kan amanah dan kepercayaan. Kalo kita tidak dipercaya lagi, ya, kita harus bersikap bijaksana. Jabatan jangan dikejar-kejar lah. Ntar kita sendiri yang repot. Apalagi usia kita kan udah tergolong telmi."
"Telmi...?" Pak Kedindil heran.
"Iya. Telat mikir. Maklum kan usia kita udah layak pensiun. Kalah bersaing dengan pegawai-pegawai muda itu. Kita ini kan cuma menang di golongan saja. Kalau soal ilmu, jujur saja, kita ini ketinggalan. Makanya, saya pasrah saja, kalau nggak di pake lagi. Biar pegawai yang muda-muda itu membantu Kepala Negeri mewujudkan visi dan misi beliau agar rakyat lebih sejahtera. Mareka kan masih fresh," Pak Carmuk berseloroh.
Sepulangnya Pak Carmuk, Pak Kedindil langsung tancap gas dengan motor dinasnya. Pria setengah baya ini menuju rumah Mbah Pahing yang terletak di desa seberang. Sudah bukan rahasia umum lagi, Mbah Pahing dikenal sebagai orang pintar. Banyak orang terkenal yang berkunjung ke rumahnya.
"Anu, Mbah. Saya minta pendapat. Bagaimana dengan karier saya? Soalnya ada isu, Kepala Negeri akan merombak kabinetnya," tanya Pak Kedindil hati-hati.
"Saya sudah tahu itu. Posisimu akan digantikan orang yang lebih muda dan cerdas serta penuh vitalitas. Orang-orang ini yang akan dipakai Bos mu," jelas Mbah Pahing.
"Apa yang harus saya lakukan Mbah?," tanya Pak Kedindil.
"Kamu titip barang ini di pintu masuk ruangan kerja Bos mu," jawab Mbah Pahing sambil menyodorkan sesuatu bungkusan kepada Pak Kedindil.
Usai subuh, Pak Kedindil melangkah kakinya menuju rumah Kepala Negeri. Di tangan kanannya menenteng bungkusan kecil pemberian Mbah Pahing. Usai bersapa ria dengan para hansip yang bertugas di halaman rumah Kepala Negeri, Pak Kedindil langsung menuju ruang belakang rumah Kepala Negeri. Tampak isteri Kepala Negeri sedang mendengarkan ceramah subuh seorang ustadz terkenal di televisi. Melihat kehadiran Kedindil, isteri Kepala Negeri langsung menyapa.
"Tumben, Pak Kedindil. Pagi-pagi datang ke rumah. Ada keperluan penting ya," tanya isteri Kepala Negeri kepada Kedindil.
"Iya, Bu. Saya ingin mencari informasi yang akurat dan terpercaya soal mutasi pegawai. Soalnya banyak yang bertanya kepada saya," jawab Kedindil.
"Maaf, ya Pak Kedindil. Kalau masalah itu, saya ndak paham. Itu wewenang Bapak. Saya nggak ngerti sama sekali. Saya mohon maaf Pak. Saya ndak tau soal-soal itu," jawab isteri Kepala Negeri.
"Baiklah Bu. Saya mohon maaf telah menggangu. Ini ada titipan hasil kebun untuk Bapak," ujar Pak Kedindil.
"Terima kasih ya Pak Kedindil. Buat repot saja bawa hasil kebun ini," ujar isteri Kepala Negeri.Â
Pak Kedindil pun pamit dan meninggalkan rumah Kepala Negeri dengan seribu pertanyaan dalam hati.
Siang harinya, suasana tidak seperti biasanya di Kantor Kepala Negeri. Â Para pegawai Kenegerian sibuk membicarakan tentang isu perombakan personalia pemerintahan dari pada melayani para warga yang datang berurusan.
"Kabarnya, yang akan diangkat sebagai Sekretaris adalah pegawai muda dari salah satu dinas. Orangnya masih muda dan bertitel. Lulusan Universitas jurusan administrasi," ujar Pak Gamang, Kepala Keamanan Kantor Kepala Negeri.
"Iya. Kabarnya yang akan menempati posisi bendaharawan adalah seorang lulusan akuntansi masih muda juga. Lulusan terbaik di universitasnya," sela Mina yang bekerja di bagian pelayanan umum.
"Hebat dong gebrakan Kepala Negeri kita. Menempatkan orang-orang terbaik pada posisinya," tukas Iyan, sang hansip.
"Memangnya kamu mau diganti posisimu sebagai tukang jaga malam sama  PakKepala Negeri," tanya Mina kepada Iyan dengan penuh emosi.Â