Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seratus Ribu Rupiah

7 November 2020   09:39 Diperbarui: 7 November 2020   09:51 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua hari menjelang pemilihan Kepala Desa (Pilkades), suasana di Desa Ancoklilot kurang kondusif. Situasi kamtibmas tidak sehat. Masyarakat terpecah belah. Pergaulan pribadi antar warga kurang harmonis. Kerukunan yang selama ini menjadi simbol masyarakat mulai memudar.Egosentris dan kelompok justru menjadi panglima.Masyarakat gampang curiga. Semua itu berasal dari beredarnya isu  penyebaran dana rp.100.000 dari dan oleh oknum-oknum tertentu terhadap kelompok masyarakat. 

Isu money politik  telah membuat suasana Desa Ancoklilot dan masyarakatnya gampang terprovokasi. Saling menyerang antar sesama warga tanpa menyelidiki asal usul isu yang beredar. Pendek kata warga gampang curiga dan terprovokasi. Persatuan dan kesatuan sebagai simbol hidup masyarakat mulai terkoyak-koyak dan tercerai berai.

Siang itu di warung Mang Keliru yang terletak di ujung Desa, beberapa anggota masyarakat Desa sedang berkumpul. Beberapa orang membuat kelompok sendiri dengan kelakarnya sendiri. Sementara beberapa warga lainnya berkumpul pada sudut warung dengan agenda ceritanya sendiri pula. Tak ada lagi saling sapa. Tak ada lagi kelakar ala masyarakat di Desa sebagaimana yang selama ini mareka aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari yang penuh dengan semangat kerukunan dan kedamaian dengan mengembangkan sikap saling toleransi dan semangat hidup gotongroyong dengan penuh keharmonian dalam hidup bermasyarakat.

Kini para warga  asyik dengan cerita mereka masing-masing.Asyik dengan agenda obrolannya masing-masing. Mereka asyik dengan kelompoknya masing-masing. Asyik dengan obrolan tentang jagoannya masing-masing.  Muara pembeicaraan antar warga makin jelas, yakni memenangkan kandidat yng mereka jagokan dalam PILKADES yang akan digelar dua hari lagi di Lapangan sepakbola Desa.

"Kalau ada calon yang menggunakan uang untuk menjadi Kades dengan cara membeli suara dari masyarakat, itu namanya tidak fair dan curang. Tidak gentlemen, sekaligus tidak demokratis dan menciderai demokrasi yang sedang mekar di Desa kita ," ujar Ganyeng membuka cerita. Semua pengunjung Warung kopi tersentak. Kontak adu argumentasi pun berlangsung. Perang narasi pun tak terelakkan.

"Anda salah bung. Itu artinya sang calon peduli dengan kehidupan masyarakatnya. Peduli dengan waktu yang diberikan rakyat untuk datang ke TPS," jawab Pak Dedek.

"Memilih dan dipilih itu hak kita sebagai warganegara Pak. Hak kita. Lagi pula itu perilaku money politik. Menodai demokrasi. Apa jadinya Desa kita kalau pesta demokrasi dimana rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi haknya sebagai pemilih diciderai dengan perilaku aksi purba berupa money politik," balas Ganyeng dengan nada tinggi.

"Tapi apa salah kita membalas budi baik warga yang datang ke TPS dengan membantu mareka. Membantu meringankan beban mareka yang tidak bekerja selama satu hari karena datang ke TPS? tanya Pak Dedek lagi. Semua warga yang ada di warung terdiam mendengar pernyataan Pak Dedek. Ada yang membenarkan dalam hati. Ada pula warga yang menyalahkan secara diam-diam pula. Dan dalam hati pula.

Malam tiba. Beberapa warga yang usai menunaikan sholat Isya berjemaah di masjid, mulai meninggalkan masjid. Melangkah menuju rumahnya masing-masing. Rumah kedamaian.Rumah kasih sayang. Rumah adalah ruang yang damai untuk saling berbagi dengan sesama penghuni rumah.

Disebuah rumah diujung Desa, beberapa warga tampak berkumpul. Mareka asyik berbincang. Suara mareka makin lama makin kencang bak petir di siang bolong. Menggelegar. Menggema bak suara penyanyi dangdut Ayu Ting-Ting yang dikasih alamat palsu.

"Kamu kalau bicara pelan-pelan. Ntar kalau didengar orang gimana? Bisa rusak skenario kita untuk memenangkan Pak Komisi sebagai jagoan kita. Apa kamu mau kalau jagoan kita keok," tanya Pak Dandio kepada sahabatnya.

"Koneng memang nggak bisa jaga mulut dan rahasia Pak," sambut salah seorang dari warga yang hadir. 

"Saya kesal Pak, dengan perilaku beberapa akrivis desa yang pura-pura suci dan idealis itu. Kayak nggak perlu duit saja," jawab Roy sambil mengambil sebatang rokok di atas meja.

"Kesal sih kesal. Cuma emosi harus ditahan. Coolingdown. Kalau kita emosi, ini bisa membuat team lawan bisa mengacaukan skenario yang telah kita susun berbulan-bulan. Kerja keras kita hancur. Kerja keras kita sia-sia. Dan kita malu karena jagoan kita kalah. Intinya kita tenang dan tenang. Pokoknya kita harus tenang dan terus bergerak sesuai skenario yang telah kita susun dan sepakati dalam rapat pemenangan Pak Komisi sebagai Kades baru kita. Bapak-bapak kan ingin perubahan di Desa ini," urai Pak Krikil dengan nada suara yang penuh motivasi. Dan yang hadir pun dengan koor semangat 45 meneriakan narasi setuju yang gema suaranya menembus hingga ke langit tujuh disertai tepuktangan yang menggema. Membangunkan burung hantu yang sedang tertidur pulas di sebatang pohon di hutan kecil di belakang rumah tempat pertemuan itu digelar.

Sementara itu pada malam yang sama, di sebuah rumah milik Asuk, beberapa warga Desa juga berkumpul. Suara canda tawa terus mengalir dan mengalir bak air yang datang bak musim penghujan. Rasa optimisme terus mengguncang nurani dan hati mareka. Kecerian pun tertancap di dada yang hadir. Gembira dan hanya kegembiraan yang melanda hati mereka.

"Kita akan berjaya kalau jagoan kita menang. Kita akan menjadi pengusaha baru di Desa ini. Akan jadi orang kaya," ujar Marlo yang disambut tawa orang-orang yang mendengar.

"Bukan cuma jadi pengusaha. Tapi penguasa. Ring satu Pak Kades," sambut yang lain sambil tertawa memecah malam.
' Dan ini lah momentum tepat bagi kita untuk berjaya dan berjaya. Hidup Pak Bendol," teriak team sukses Pak Bendol penuh semangat. Dan tepuktangan pun menggema di ruang belakang rumah Calon Kades ini.

Di ruang yang berbeda, masih di rumah Asuk, calon Kades yang diunggulkan Asuk hadir. Mereka berdua sedang asyik berbincang secara empat mata. Beberapa surat bermaterai tampak sudah ditandatangani antara Asuk dan Calon Kades unggulan Asuk. surat-surat perjanjian itu terhampar diatas meja. Ada juga bungkusan amplop berwarna coklat yang menggunung..Asuk tampak beberapa kali memberi wejangan dan calon Kades unggulan itu tampak manggut-manggut mendengar saran dan wejangan dari Asuk dengan penuh perhatian.

"Pokoknya, serahkan kepada kami saja. Pak Kades pasti menang dan berkuasa sebagai Raja desa. Dan kalau sudah terpilih jangan lupa dengan perjanjian kita," ujar Asuk saat mengantar calon Kades unggulannya pulang.

"Oh tentu. Saya pasti ingat Pak Asuk dengan perjanjian kita. Masa saya lupa. Kan semua biaya kampanye saya, Pakbos Asuk yang mendanai," jawab calon Kades unggulan itu sambil meninggalkan rumah pengusaha terkenal di Desa AncokLilot itu.

Isu tentang penyebaran uang Rp.100.000 yang di lakukan team sukses calon Kades telah menyebar bak virus. Mengalahkan berita tentang ulah para koruptor yang sering tayang wajah di televisi. Semua warga membicarakannya tanpa kenal waktu dalam setiap pertemuan dan obrolan. Bahkan hingga ke ruang-ruang pribadi para warga Desa Ancoklilot. Tiada hari tanpa cerita uang seratus ribu rupiah.Uang seratus ribu telah menjadi trend setter. Menjadi narasi primadona warga Desa. Baik tua maupun muda. Baik kaum lelaki maupun wanita. Semua bercerita tentang uang Rp.100.000. Seolah dengan bercerita tentang uang seratus ribu rupiah, beban hidup terasa ringan. walaupun untuk sementara waktu. Ya, untuk sementara waktu saja.

Pak Kades pun telah mendengar isu bergaya purba yang dilakukan orang-orang yang berjiwa kerdil yang ingin meraih kekuasaan dengan cara-cara purba dan tidak terhormat itu. Kelakuan purba yang dilakukan para oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab itu tentu saja melukai dan menciderai arti demokrasi. Perilaku ini tentu saja amat tidak mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat dan tidak sejalan dengan gaung dan untuk menjadikan Pilkades Desa Ancoklilot kali sebagai Pilkades yang bermartabat dan menjunjung tinggi demokrasi dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di beri hak dan wewenang penuh untuk memilih pemimpinnya sesuai dengan hati nuraninya tanpa paksaan dan intimidasi dari pihak mana pun. termasuk praktik-praktik kotor berupa money politik yang merusak jiwa dan arti demokrasi itu sendiri.

"Iya. Sudah banyak laporan yang masuk ke kantor desa tentang isu uang Rp.100.000 itu. Cuma hingga kini kita belum tau, siapa yang menyebarkan ke rumah-rumah warga dan apa tujuannya. Saya telah memerintahkan Pak Tegep selaku Kepala Keamanan Desa untuk meningkatkan ronda malam di tiap-tiap RT. Tapi hingga detik ini belum juga terungkap siapa dalang dibalik ini semua," jelas Pak Kades kepada beberapa tokoh pemuda yang datang ke kantor Desa.

"Bagaimana Pak kalau kita mengajak warga untuk tidak memilih mereka yang menggunakan uang dalam Pilkades ini," usul Tuman.

"Iya, Pak. Kita pasang spanduk, baliho dan pengumuman agar warga tidak memilih calon dan kandidat yang menggunakan duit untuk meraih kekuasaan. Lagipula praktik jahanam itu amat bertentangan dengan jiwa demokrasi. Dan ini momentum bagi kita semua untuk mencerdaskan masyarakat sebagai pemilih," sahut Remon.

"Saya amat setuju dengan ide dan gagasan adik-adik sekalian.Sangat brilian. Dan itulah sebabnya, kenapa saya nggak mau mencalonkan diri lagi menjadi Kades. Saya khawatir kondisi semacam ini akan muncul. Saya tidak mau menjadi pimpinan desa dan pemimpin rakyat Desa ini karena harus membayar utang pada orang-orang yang telah mengeluarkan dana besar buat saya. Buat pembiayaan kampanye saya. Ujung-ujungnya rakyat yang rugi. Pembangunan tidak optimal. Kita semua sebagai warga yang menanggung akibatnya," jelas Pak Kades. Anak-anak muda Desa Ancoklilot pun terdiam. Dalam hati mareka membenarkan apa yang disampaikan Pak Kades

Esoknya, pemasangan baliho dan spanduk tentang Pilkades bermartabat yang dilakukan Remon dan kawan-kawan dari Gerakan Pemilih Bersih mendapat respon dari masyarakat Desa. Ada kelompok masyarakat yang mendukung. Ada pula kelompok masyarakat yang mencibir niat baik Remon dan kawan-kawan.
Di warung Mang Keliru, perdebatan dan adu narasi pun tak terelakkan. Bak acara talkshow di tivi. Semuanya bicara bak para politisi yang sering terlihat ditipi dengan nada suara yangberapi-api. Pembicara saling mengeluarkan jurus pamungkas untuk memenangkan argumentasinya masing-masing. Terkadang intonasi suara pun menggelegar bak petir disiang bolong. Suara mareka pun makin meninggi dan meninggi.

"Mon, apa maksud kamu memasang spanduk itu," tanya Pak Dedek dengan nada tinggi.

"Tidak ada maksud apa-apa.Kami sebagai warga Desa cuma menghimbau dan menghimbau.  Kami ingin Pilkades ini berlangsung dengan baik dan bermartabat. Dan harga diri warga Desa ini di hargai sesuai dengan hak mareka sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di desa ini," jawab Remon santai sambil menyeruput kopi.

"Apa kurang besar yang rakyat terima itu," tanya Pak Dedek lagi.

"Bukan soal besar dan kecilnya nilai yang diterima rakyat Pak. Tapi ini menyangkut harga diri dan martabat kita sebagai rakyat yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di desa ini. Begini ya Pak. Kita hitung secara matematika yang sederhana saja. Kita hitung bodoh saja Kalau tiap warga dapat Rp.100.000, maka selama lima tahun masa kepemimpinan Kades terpilih, maka satu warga yang memilih satu calon itu  dihargai calon itu hanya Rp.9000 perbulan. Artinya tiap hari warga hanya dihargai sekitar Rp.300. Apa itu harga diri kita sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Desa ini? Apa kita nggak malu di juluki para calon Kades itu sebagai orang malas dan tidak bermartabat hanya karena dihargai Rp.300 perhari? Anak saya saja sehari jajan bisa Rp.5000." jelas Remon.

Semua terdiam. Tak ada yang menjawab. Mereka membenarkan apa yang disampaikan Remon.

"Dan apakah Bapak-bapak sekalian yakin, kalau mareka terpilih, mereka akan membalas kebaikan dan budi bapak-bapak? Jauh panggang dari api. Yang jelas mereka harus mengembalikan modal yang telah mareka keluarkan selama Pilkades. Dan kita sebagai warga hanya akan gigit jari. Semua ini karena kesalahan kita sebagai pemilih yang tidak bermartabat dan mudah dibeli dengan uang tanpa memikirkan dampak yang akan datang," urai Remon berapi-api bak orator. 

Pengunjung warung Mang Keliru pun terdiam. Tersadarkan oleh pencerahan dan pencerdasan yang dilakukan oleh Remon dan kawan-kawan yang menggiatkan Pilkades bermartabat dan mencerdaskan rakyat. Mareka pun terpahamkan dan memahami esensi makna demokrasi yang hakiki dimana suara rakyat amat mementukan kehidupan daerah dan Desa ini lima tahun ke depannya. Dan betapa bangganya Remon ketika Pak Dedek dan warga masyarakat Desa Ancoklilot dengan inisiatif sendiri memasang spanduk di depan rumahnya masing-masing dengan tulisan " Suara kami tidak bisa dibeli dengan uang. Suara kami adalah suara Tuhan".

Langit cerah. Awan berarak menuju peraduannya, Mentari cerah. Sinarnya memancarkan ke bumi. Untuk para penghuninya yang berpikir cerah dan sehat untuk kemajuan dunia dan penghuninya, Dan para warga Desa Ancoklilot pun telah tahu dan paham siapa yang akan mereka pilih sebagai pemimpin mereka lima tahun ke depan yang akan mensejahterahkan mereka sebagai pemilik negeri ini dengan semangat demokrasi yang sehat dan bermartabat untuk kehidupan masyarakat yang madani dan berperadaban.

Toboali, 7 Vovember 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun