Kampung Kami gempar. Kegemparannya bukan karena erupsi gunung merapi. Bukan pula karena tertangkap tangannya koruptor. Dan bukan pula karena ada warga Kampung yang ditangkap Densus 88. Bukan sama sekali,
Erupsinya adalah pengumuman dari Pak Kepala kampung bahwa Kampung Kami akan didatangi Pak Presiden.
" Pak Presiden akan kunker ke kampung ini minggu depan," demikian bunyi pengumuman yang disampaikan Pak Kepala Kampung lewat pengeras suara. Para warga terdiam. Tertegun usai mendengar pengumuman di siang bolong yang panas itu.
Bagi kami penghuni warga Kampung, kedatangan Pak Presiden tentunya akan membawa dampak besar bagi derajat kehidupan. Kampung kami yang terletak diujung negeri ini memang tak pernah tersentuh pembangunan. Kalau pun ada pembangunan yang diciptakan di Kampung kami hanya janji yang disampaikan para pengejar jabatan pada waktu pemilihan Legislatif dan pemilihan kepala daerah.
Dan biasanya usai perhelatan demokrasi itu para pengejar ambisi kekuasaan itu pun lari tunggang langgang entah kemana. Baru kembali nampak batang hidungnya kalau Pileg dan Pilkada kembali akan digelar. Dan sebagai rakyat kecil yang berdiam di Kampung kecil bahkan tak ada dalam peta negara, kami hanya berdiam diri. Tak ada upaya untuk melawan. Tak ada kuasa untuk melawan mareka kaum cerdik pandai itu. Kami hamya mengeluh dan mengusap dada terhadap lakon para pengemis suara kami itu.
Tak pelak narasi yang disampaikan Pak kepala Kampung disambut dengan nada sukacita oleh kami penghuni Kampung. Setiap hari para warga selalu bernarasi tentang rencana kedatangan pak Presiden. Tak ada diksi lain selain kedatangan Pak Presiden. Seolah-olah dengan membicarakan tentang rencana kedatangan Presiden, warga Kampung bahagia. Setidaknya bisa lepas untuk sementara waktu dari beban yang menggerogoti hidup.
" Semoga kehadiran Pak Presiden akan membawa dampak bagi hidup kita," ujar Hasan.
" Iya. Saya berharap demikian," sela Mang No.
" Tapi kalau Presiden datang, apakah kita masih lapar," tanya Ali.
Semua terdiam. Tak ada yang menjawab. Semua terdiam. Membisu bak terdakwa korupsi yang disangkakan para aparat hukum.
Kampung kami adalah Kampung nelayan. Kehidupan kami hanya dari laut yang ada disekitar Kampung. Kami bangga dengan kekayaan alam laut ini. Bisa menghidupi kami. Bisa membuat kami sejahtera. Soal ada tidaknya perhatian negara bagi kami soal lain. Yang penting kami bisa mencari ikan dilaut. Lautan adalah segalanya bagi para warga. Segala yang terjadi selalu dihubungkan dengan pasang surut air laut. Termasuk menikah.
Sehari menjelang kedatangan Pak Presiden kesibukan di Kampung Kami tampak super sibuk. Para aparatur negara sibuk mengatur dan membereskan sesuatu yang dianggap kurang baik. Jalanan menuju kampung pun sudah diaspal. Demikian pula dengan SD yang merupakan satu-satunya sekolah yang ada di kampung Kami direnovasi dan diberi warna sehingga tampak mentereng seolah-olah pembangunan sukses. Demikian pula dengan kantor Pak Kepala kampung dipercantik dengan pot bunga yang bagus dan berharga mahal.
Kesibukan para aparat negara hanya menjadi tontonan para warga Kampung kami. Para warga tampak antusias menyaksikan kesibukan para aparatur negara itu yang bekerja siang dan malam tanpa henti seolah-olah ada tenaga baru yang mareka lahirkan dalam tubuh mareka. Penghuni Kampung tampak bahagia menyaksikan kerja keras para aparatur negara. Sesuatu yang jarang mareka temui selama ini kalau para warga berurusan di kantor.
Hari yang dinantikan telah tiba. Pak Presiden datang dengan helikopter karena jauhnya jarak tempuh menuju kampung kami. Di lapangan sepakbola, Pak Presiden disambut para Menteri, Gubernur, Bupati dan para perangkat Kampung yang tampak bahagia. Wajah mareka sangat bahagia. Bisa bersalaman dengan Pak Presien dan fotonya bisa dipasang di kantor.
Pak Presiden tampak celingukan. Ada sesuatu yang ganjil dalam pandangan matanya. Ada sesuatu yang tak pernah dijumpainya kalau berkunjung ke suatu daerah. Yakni masyarakat yang biasanya antusias menyambut kehadirannya yang selama ini menjadi trade mark dirinya sebagai pemimpin rakyat.
" Lho, kok tak ada masyarakatnya. Kemana mareka," tanya Pak Presiden. Semua aparatur negara yang hadir tak ada yang bisa menjawab. Para pejabat daerah dan Menteri yang mendampingi Pak Presiden hanya terdiam membisu. Tak ada apologi yang keluar dari mulut mareka. Semua terdiam mendengar pertanyaan Pak Presiden.
Dengan ditemani ajudan, Pak Presiden langsung menuju pantai dengan berjalan kaki. Seorang warga tampak sibuk memikul hasil ikan yang baru ditangkapnya. Pak Presiden langsung menghampirinya.
" Kok tidak menyambut kehadiran Presiden," tanya Pak Presiden.
" Kalau kami menyambut Presiden maka keluarga kami akan kelaparan Pak. Kami hidup hanya dari laut. Kalau kami tak kelaut apa yang bisa keluarga kami makan hari ini. Dan siapa yang akan memberi makan keluarga kami di rumah," jawab lelaki itu sambil negeloyor pergi bersama hasil tangkapannya. Pak Presiden mengangguk-angguk.
Jawaban yang sama juga diperoleh Presiden saat menanyakan kepada para Ibu-ibu yang sedang berada di pantai menunggu suaminya datang dari pertarungan melawan ganasnya ombak dilaut lepas.
" Iya, Pak. Kalau kami menyambut Presiden, siapa yang akan menjual ikan hasil tangkapan suami kami. Kalau ikan tak laku kami bisa kelaparan. Kasian anak kami Pak," jawab para Ibu-ibu secara kompak. Pak Presiden kembali menganggukkan kepalanya usai mendengar jawaban dari warga.
Pak Presiden tampaknya makin mengerti dengan kondisi riil masyarakat. Makin paham arti sebuah kunjungan. Makin tahu tentang kondisi nyata yang dialami para warga negeri ini. Dan makin memahami bahwa rakyat butuh makan untuk hidup.
Ombak dipantai makin mengganas. Air pasangnya hingga ke pantai. Semilir angin sepoi-sepoi hantarkan nelayan kampung menuju pantai bersama hasil tangkapannya hari ini. Para istri mareka telah menunggu hasil tangkapan  untuk makan hari ini. Sementara Pak Presiden dan para Menteri serta para pejabat daerah meninggalkan Kampung Kami tanpa lambaian tangan dari masyarakat yang sibuk mencari sesuap nasi untuk makan mareka hari itu. (Rusmin)
Toboali, Bangka Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H