Demikian pula sat kami akan menghadapi ujian akhir sekolah Nyai selalu meminta kami untuk menemuinya. Dan Nyai selalu berpesan kepada kami untuk selalu belajar dan belajar.
"Kamu harus jadi orang pintar. Orang pintar sangat dihormati orang. Lihat kakekmu," ujarnya sembari memuji sang suami.
Aku pernah kesal dengan Nyai karena saat masih SMA, Nyai pernah menolak untuk bersalaman dengan gadis pujaan ku karena adanya desas desus Ibu gadis itu seorang janda.
"Apa alasan Nyai tidakmau bersalaman dengan cewek ku? Apa salah dia terhadap Nyai,"protesku.
"Kamu itu kalau cari jodoh liat dulu latar belakang keluarganya," ujar Nyai pendek. Aku cuma terdiam.
Sebagai seorang tetua Nyai mempunyai feeling saat aku mengenalkan seorang wanita bernama Sulastri. Nyai tampak gembira saat aku bersama Sulastri datang ke rumahnya. Nyai begitu antusias. Nyai sangat asyik bercerita dengan Sulastri calon istriku. Mareka tampak sangat akrab. bak orang yang sudah saling mengenal.
"Itu adalah wanita yang cocok mendampingimu. Dan Nyai sangat setuju dengan pilihanmu. Dia mirip dengan Nyai," bisik Nyai saat aku dan Sulastri meninggalkan rumah Nyai.
Kini Nyai telah wafat. Sebagai cucu aku sangat bahagia, saat menikah Nyai masih bisa melihat aku duduk dipelaminan. Aku sangat bahagia. Dan sebagai cucu aku pun sangat bahagia karena banyak petuah Nyai yang hingga kini masih terngiang di otak ku yang akan kuwariskan kepada anak cucuku nantinya. terutama soal nasehatnya bahwa kehormatan seorang manusia itu bukan diukur dari harta dan kekuasaannya, namun sejauh mana dia sebagai manusia bisa mewariskan sesuatu yang berguna bagi orang banyak. Dan tetap dikenang hingga ajal menjemputnya. Bahkan hingga keliang kuburnya.
Nyai, aku cucumu sangat bangga padamu. (Rusmin)
Toboali, Bangka Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H