Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nyai

1 April 2016   21:17 Diperbarui: 1 April 2016   23:55 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ibu Ayah dipanggil dengan sebutan Nyai oleh para cucunya. Istri kakek kami ini orangnya terkenal ceriwis dan berbudi serta sangat dermawan. Tak heran Nyai memiliki banyak sahabat di masa tuanya. Kebaikan hatinya membuat orang mengenal beliau sebagai wanita yang baik hati dan dermawan.

"Nyai mu itu seorang yang penolong. Banyak orang yang dibantu beliau saat susah," cerita Emak kepada kami.

"Dan banyak saudara kakekmu yang tinggal di rumah Nyaimu. Dibesarkan beliau hingga dewasa," lanjut Emak.

Cerita Emak bukan narasi bualan tanpa fakta sebagaimana kini yang sering diperagakan para elite negeri ini. cerita Emak adalah fakta peristiwa. Dan sebagai cucu aku sangat merasakan kebaikan Nyai. Apalagi Nyai wafat ketika aku sudah berumah tangga sehingga aku tahu bagaimana karakter Nyai yang sebenarnya.

Saat masih SMP, Nyai rela menunggu aku di halaman rumahnya hanya untuk membehentikan aku naik sepeda agar mampir ke rumahnya yang terletak di pusat Kota.

"Nyai hari ini masak makanan kesukaanmu," ujar Nyai. Dan aku dengan gembiran menyantap masakan Nyai yang terkenal sangat lezat. Maklum beliau dimasa muda dikenalsebagai tukang masak buat orang kawinan. bahkan saat kakek diangkat sebagai Camat diera tahun 60-an, beliau masih hobby memasak untuk acara perkawinan orang sebagai tambahan biaya untuk keluarganya.

"Jadi Camat dulu dengan sekarang amat beda. Zaman dulu jadi Camat mengutamakan pengabdian. Bukan mencari harta. Lihat kakekmu. Tapi kakekmu tetap disayang orang hingga usia tuanya," cerita Nyai.

Usai Kakek pensiun sebagai birokrat, Nyai membuka usaha warung makan. Rumah Nyai yang strategis karena berdekatan dengan perkantoran membuat warung Nyai ramai pelanggan. Setiap hari Nyai dengan dibantu beberapa saudaranya sibuk dengan warungnya. Dan setiap hari pula kami para cucunya selalu mendapatkan makanan dari Nyai. Terutama aku yang merupakan cucu pertama nyai.

"Kamu mampir diwarung Nyai dulu sebelum ke sekolah. Kamu sarapan dulu," ujar Nyai kepadaku.

Perhatian Nyai kepada cucunya sungguh-sungguh sangat luarbiasa. Aku dan para cucunya sangat merasakan kasih sayang Nyai. Walaupun kadangkala sikap Nyai protektif. Terutama dalam soal jodoh buat cucunya.

"Kamu itu kalau mencari jodoh jangan sembarangan. Pilih wanita yang mau berkorban untukmu," nasehat Nyai.

Demikian pula sat kami akan menghadapi ujian akhir sekolah Nyai selalu meminta kami untuk menemuinya. Dan Nyai selalu berpesan kepada kami untuk selalu belajar dan belajar.

"Kamu harus jadi orang pintar. Orang pintar sangat dihormati orang. Lihat kakekmu," ujarnya sembari memuji sang suami.

Aku pernah kesal dengan Nyai karena saat masih SMA, Nyai pernah menolak untuk bersalaman dengan gadis pujaan ku karena adanya desas desus Ibu gadis itu seorang janda.

"Apa alasan Nyai tidakmau bersalaman dengan cewek ku? Apa salah dia terhadap Nyai,"protesku.

"Kamu itu kalau cari jodoh liat dulu latar belakang keluarganya," ujar Nyai pendek. Aku cuma terdiam.

Sebagai seorang tetua Nyai mempunyai feeling saat aku mengenalkan seorang wanita bernama Sulastri. Nyai tampak gembira saat aku bersama Sulastri datang ke rumahnya. Nyai begitu antusias. Nyai sangat asyik bercerita dengan Sulastri calon istriku. Mareka tampak sangat akrab. bak orang yang sudah saling mengenal.

"Itu adalah wanita yang cocok mendampingimu. Dan Nyai sangat setuju dengan pilihanmu. Dia mirip dengan Nyai," bisik Nyai saat aku dan Sulastri meninggalkan rumah Nyai.

Kini Nyai telah wafat. Sebagai cucu aku sangat bahagia, saat menikah Nyai masih bisa melihat aku duduk dipelaminan. Aku sangat bahagia. Dan sebagai cucu aku pun sangat bahagia karena banyak petuah Nyai yang hingga kini masih terngiang di otak ku yang akan kuwariskan kepada anak cucuku nantinya. terutama soal nasehatnya bahwa kehormatan seorang manusia itu bukan diukur dari harta dan kekuasaannya, namun sejauh mana dia sebagai manusia bisa mewariskan sesuatu yang berguna bagi orang banyak. Dan tetap dikenang hingga ajal menjemputnya. Bahkan hingga keliang kuburnya.

Nyai, aku cucumu sangat bangga padamu. (Rusmin)

Toboali, Bangka Selatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun