"Kalau Ibu tak mengenal Jonril, kenapa warkop ini diberi nama Jonril?" lelaki itu kembali bertanya.
Dan Ibu Hindun hanya terdiam. Membisu. hanya senyum di bibirnya yang masih memerah sebagai tanda bahwa dia mengenal nama itu.
"Apakah kehadiran saya malam-malam seperti ini menganggu pekerjaanmu?" tanya lelaki itu lagi.
"Oh, tidak. Silahkan habiskan kopinya. Saya setia menunggu," jawab Ibu Hindun bersuara. Dan suara itu sangat indah di telinga lelaki itu. Suara yang amat dikenalnya.
Malam itu usai lelaki itu meninggalkan warkopnya, di rumahnya yang terletak di belakang warung itu, Hindun merasakan adanya getaran hidup yang menyala-nyala dalam nuraninya. ya, Hindun sungguh mengenal lelaki itu. Lelaki itu bernama Jonril, lelaki yang pernah mengisi ruang cinta hidupnya, lelaki yang pernah merasakan manisnya bibir tipis dirinya. Lelaki yang pernah... Ah. Hindun tersenyum. Seekor cecak di dinding membuat senyum Hindun hilang. Hindun malu. Mukanya langsung ditutupi dengan bantal.
Tiga puluh tahun silam, Hindun adalah kembang kampung. Selain dikaruniai wajah cantik bak selebitis masa kini yang sering nongol di televisi, Hindun juga dikaruniai otak yang cerdas. Tak heran banyak pria kampung yang mencintainya. Namun, Hindun hanya manaruh hati kepada seorang lelaki yang bernama Jonril. lelaki yang bukan hanya berwajah tampan namun memiliki bakat yang luar biasa dalam bidang sepak bola. Selain itu, Jonril adalah seorang pekerja keras dan pintar.
Walaupun Jonril dicintai banyak wanita kampungnya, Jonril hanya menaruh hati kepada wanita bernama Hindun. Walaupun berasal dari keluarga yang tak mampu, prestasi Jonril tak kalah kelas dengan para pemuda kampung lainnya. Ini menjadi daya magnet bagi kaum hawa kampung untuk mendapatkan cinta lelaki gagah itu.
Perebutan cinta ibarat perebutan bola di lapangan hijau. Selain perlu dukungan suplai dari kawan-kawan seklub, seorang pemain bola perlu kepiawaian dalam mengolah bola hingga membobol gawang lawan. Dan ini yang kurang dimiliki Jonril. Suplai suport dari kawan-kawan sekampungnya minim. Para pemuda kampung lebih seneng men-support Akang, putra Pak Lurah untuk menyunting Hindun. Dukungan finasial dari Akang membuat para pemuda Kampung lebih senang kalau Hindun menikah dengan Akang. Sebuah dekadensi moral yang mulai melanda anak-anak Kampung.
Dan ketika Pak Lurah mengizinkan pengoperasian sebuah tambang pasir hitam kepada seorang pengusaha hitam dari kota, perlawanan dari masyarakat pun terjadi. Demo besar-besaran yang dipimpin Jonril membuat lelaki itu menjadi incaran aparat hukum karena dianggap sebagai provokator bagi masyarakat. Walaupun banyak dukungan diberikan masyarakat kepada Jonril, aparat hukum tetap mencarinya.
"Kami demo karena kami menentang izin penambangan pasir hitam. Dan Jonriel tidak pernah memprovokasi kami," ungkap Cimot warga kampung di hadapan aparat hukum dan pemda.
"Benar Pak. Kami demo karena hati nurani kami. Sampai mati pun kami tak pernah setuju dengan izin pertambangan pasir hitam itu," sambung warga kampung lainnya. Sekeras apa pun suara dari warga dalam membela Jonril, aparat hukum tetap menjadikan Jonril sebagai provokator dan penggerak demo yang membuat Pak Lurah harus turun dari jabatannya. Dan kini para aparat hukum terus mengejar dan mencari Jonril yang diasumsikan sebagai dalang demo besar-besaran itu. Tak terkecuali Pak Lurah dan para pendukungnya.