Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Ada Kisah Masa Lalu di Warung Jonril

21 Maret 2016   22:00 Diperbarui: 22 Maret 2016   22:00 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - cinta (kfk.kompas.com/Revi)"][/caption]Warung Kopi Jonril selalu ramai. Mulai dari pagi hingga tengah malam. Selalu ada saja orang yang bersantai di sana. Selain lokasi warkopnya strategis di tengah pusat Kampung, makanan dan kopi yang dijual pun terjangkau kantong para pengunjung. Murah meriah. Apalagi makanan yang dijual pun khas kampung. Mulai dari ubi goreng hingga kue dari bahan ubi juga. Tak heran hingga tengah malam, warkop Jonril selalu ramai didatangi para pengunjung.

Dan para pengunjung biasanya datang selalu berkelompok. Walaupun ada juga yang datang sendirian dan lantas bergabung dengan kelompoknya yang datang terlebih dahulu. Perbincangan para pengunjung di warkop Jonril selalu up to date. Topik-topik hangat selalu jadi bahan narasi para pengunjung. Trending topic yang selalu dibicarakan para elite di media televisi pun tak luput mareka perbincangkan. Mulai dari soal asap yang tak bisa dipadamkan hingga soal Pilkada serentak. Terkadang perdebatan antarpengunjung pun tak terelakkan. Bak acara talk show televisi menjadi penghias warkop itu.

Dalam tiga malam terakhir ini, para pengunjung warkop Jonril kedatangan seorang pria asing yang tak mareka kenal. Wajahnya sangat asing bagi para pengunjung warkop. terutama di kalangan pengunjung usia 30 tahun ke atas. Pria itu datang selalu tengah malam ketika warkop tinggal 30 menit mau ditutup pemiliknya. Dan pesanannya selalu kopi yang memang kualitas aromanya tak kalah dengan kafe-kafe di Ibu Kota. Dan tempat duduknya selalu dekat sang pemilik warkop. Beberapa kali terlihat pria asing bicara dengan pemilik warkop Ibu Hindun. Entah apa yang mareka bicarakan. Dan wajah Ibu Hindun biasanya merah merona. Seolah ada rasa bahagia yang menghias wajahnya.

Tak pelak diorama yang terlihat nyata itu mengundang sejuta tanya di kalangan para pengunjung warkop. Dengan nada iseng sarat telisik mareka pun bertanya kepada Ibu Hindun.

"Siapa sih Bu yang datang ngopi malam-malam itu?" tanya Akew.

"Katanya mencari ponakannya," jawab Ibu Hindun sembari mengantar kopi kepada kelompok Akew yang selalu duduk di kursi paling ujung.

"Memangnya bapak itu asli warga kampung ini?" tanya Nomas.

"Saya tidak tahu. Katanya mau mencari keponakannya," jawab Ibu Hindun sembari meninggalkan meja kelompok Akew yang hanya bengong mendengar jawaban pemilik warkop.

Malam itu purnama bercahaya dengan indah. Dunia terang-benderang. Di warkop Jonril, pengunjung sepi. Semua meja kosong melompong. Satu per satu para pengunjung meninggalkan warkop. Maklum jam sudah menunjukkan angka 3. Sudah tengah malam. Bahkan dini hari. Dan Ibu Hindun kaget saat hendak membereskan warungnya, lelaki itu datang. Belum pulang rupanya dia, ujar Ibu Hindun dalam batin.

"Mohon maaf sebelumnya. Apakah Ibu mengenal Jonril?" tanya lelaki itu sambil menghirup kopi yang baru saja dihidangkan Ibu Hindun.

Wanita setangah baya itu terdiam. hanya wajahnya merah merona sebagai tanda sebuah jawaban.

"Kalau Ibu tak mengenal Jonril, kenapa warkop ini diberi nama Jonril?" lelaki itu kembali bertanya.

Dan Ibu Hindun hanya terdiam. Membisu. hanya senyum di bibirnya yang masih memerah sebagai tanda bahwa dia mengenal nama itu.

"Apakah kehadiran saya malam-malam seperti ini menganggu pekerjaanmu?" tanya lelaki itu lagi.

"Oh, tidak. Silahkan habiskan kopinya. Saya setia menunggu," jawab Ibu Hindun bersuara. Dan suara itu sangat indah di telinga lelaki itu. Suara yang amat dikenalnya.

Malam itu usai lelaki itu meninggalkan warkopnya, di rumahnya yang terletak di belakang warung itu, Hindun merasakan adanya getaran hidup yang menyala-nyala dalam nuraninya. ya, Hindun sungguh mengenal lelaki itu. Lelaki itu bernama Jonril, lelaki yang pernah mengisi ruang cinta hidupnya, lelaki yang pernah merasakan manisnya bibir tipis dirinya. Lelaki yang pernah... Ah. Hindun tersenyum. Seekor cecak di dinding membuat senyum Hindun hilang. Hindun malu. Mukanya langsung ditutupi dengan bantal.

Tiga puluh tahun silam, Hindun adalah kembang kampung. Selain dikaruniai wajah cantik bak selebitis masa kini yang sering nongol di televisi, Hindun juga dikaruniai otak yang cerdas. Tak heran banyak pria kampung yang mencintainya. Namun, Hindun hanya manaruh hati kepada seorang lelaki yang bernama Jonril. lelaki yang bukan hanya berwajah tampan namun memiliki bakat yang luar biasa dalam bidang sepak bola. Selain itu, Jonril adalah seorang pekerja keras dan pintar.

Walaupun Jonril dicintai banyak wanita kampungnya, Jonril hanya menaruh hati kepada wanita bernama Hindun. Walaupun berasal dari keluarga yang tak mampu, prestasi Jonril tak kalah kelas dengan para pemuda kampung lainnya. Ini menjadi daya magnet bagi kaum hawa kampung untuk mendapatkan cinta lelaki gagah itu.

Perebutan cinta ibarat perebutan bola di lapangan hijau. Selain perlu dukungan suplai dari kawan-kawan seklub, seorang pemain bola perlu kepiawaian dalam mengolah bola hingga membobol gawang lawan. Dan ini yang kurang dimiliki Jonril. Suplai suport dari kawan-kawan sekampungnya minim. Para pemuda kampung lebih seneng men-support Akang, putra Pak Lurah untuk menyunting Hindun. Dukungan finasial dari Akang membuat para pemuda Kampung lebih senang kalau Hindun menikah dengan Akang. Sebuah dekadensi moral yang mulai melanda anak-anak Kampung.

Dan ketika Pak Lurah mengizinkan pengoperasian sebuah tambang pasir hitam kepada seorang pengusaha hitam dari kota, perlawanan dari masyarakat pun terjadi. Demo besar-besaran yang dipimpin Jonril membuat lelaki itu menjadi incaran aparat hukum karena dianggap sebagai provokator bagi masyarakat. Walaupun banyak dukungan diberikan masyarakat kepada Jonril, aparat hukum tetap mencarinya.

"Kami demo karena kami menentang izin penambangan pasir hitam. Dan Jonriel tidak pernah memprovokasi kami," ungkap Cimot warga kampung di hadapan aparat hukum dan pemda.

"Benar Pak. Kami demo karena hati nurani kami. Sampai mati pun kami tak pernah setuju dengan izin pertambangan pasir hitam itu," sambung warga kampung lainnya. Sekeras apa pun suara dari warga dalam membela Jonril, aparat hukum tetap menjadikan Jonril sebagai provokator dan penggerak demo yang membuat Pak Lurah harus turun dari jabatannya. Dan kini para aparat hukum terus mengejar dan mencari Jonril yang diasumsikan sebagai dalang demo besar-besaran itu. Tak terkecuali Pak Lurah dan para pendukungnya.

Kini, setelah 30 tahun peristiwa itu Jonril kembali ke kampungnya. Walaupun hidupnya sudah mapan di kota, kerinduannya untuk bertemu dengan Hindun tak dapat dihindarinya. Walaupun kini suasana kampung sudah berubah total dengan banyaknya pembangunan gedung dan kantor-kantor, Jonril masih tetap hafal dengan semua lekuk kampungnya. Termasuk masih mengenal lekuk tubuh Hindun walaupun kini mareka sudah dimakan usia. Dan kecantikan Hindun masih terlihat kendati usianya sudah merenta sebagaimana dirinya kini.

Dengan semangat 45, Jonril ingin kembali merajut asa asmara yang pernah mareka reguk 30 tahun silam. Setidaknya romansa masa silam masih membekas dalam jiwa lelaki itu. Dan kalau malam ini Jonril masih terdiam di warkop milik Hindun hingga tengah malam, karena dirinya belum mampu mengutarakan isi hatinya yang terpendam dalam lumpur kegelisahan.

"Apakah Jonril itu nama suamimu?" tanya Jonril.

Hindun hanya diam. Tak menjawab.

"Di mana anakmu kini? Apakah mareka bersekolah di kota?" tanya Jonril lagi.

Kembali Hindun hanya membisu. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir tipisnya. Berdesis pun tidak.

Jonril meninggalkan warkop itu dengan langkah yang gontai membelah malam yang makin merenta. Serenta hatinya menahan gejolak romansa. Hindun tersenyum menatap kepergian lelaki yang pernah dicintainya dan mencintainya dalam membelah malam yang bercahayakan purnama. Setidaknya dia sebagai wanita masih tetap mencintai lelaki itu kendati lelaki beruban itu tak pernah berani untuk melamarnya hingga kini.

Desis anjing liar mendengus tajam mencari mangsa dalam kerentaan malam yang masih bercahayakan purnama. Ketajaman insting anjing hutan liar itu terus susuri hutan kecil kampung mencari mangsanya tanpa henti. Malam makin menua seiring datangnya kokok ayam sebagai tanda mentari mulai menghias bumi untuk menerangi penghuninya. Dan Jonril masih menunggu dengan setia hingga mentari kembali ke peraduannya. (Rusmin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun