Ketiga lelaki yang biasanya pemberani itu merinding bukan main mendengar alunan nada yang ditembangkan bibir dari sosok yang masih terbujur kaku itu. Bahasa yang digunakan sama sekali tak bisa dimengerti, tapi intonasi yang mengayun-ayun menyeret mereka mengarungi ruang-ruang kesedihan tak berujung. Seolah semua kebahagiaan telah terhapus dari muka bumi.
Ketiganya termangu diam. Hanyut semakin dalam ke irama nyanyian. Tanpa lagi menyadari bahwa mereka berada sangat tipis di antara dua alam. Nyaris tidak sadar juga ketika sosok berpakaian putih itu bangkit perlahan-lahan dari terbaringnya dan sekarang duduk sambil terus menembang tak putus-putus.
Saat sosok yang wajahnya masih tertutup kain putih itu mulai berdiri dan melangkah perlahan menghampiri, barulah Raja berhasil menggugah diri dan hatinya yang diperangkap rasa sunyi. Lelaki ini menepuk pipi kedua temannya agar ikut tersadar.
Raka dan Bima membuka mata mereka yang dipaksa untuk terpejam melalui aura magis nyanyian, terperanjat melihat sosok wanita misterius itu menghampiri mereka dengan langkah lambat. Ketiganya otomatis bergerak mundur.
Tiupan angin entah darimana menyingkirkan kain penutup muka si wanita.
Dara! Sosok wanita itu memang benar Dara! Dara yang menatap tajam mereka bertiga dengan matanya yang tanpa manik hitam. Putih semua!
-----
Mang Ujang dan Kang Maman berjalan mengitari situ tanpa banyak percakapan. Pikiran kedua orang desa itu dipusatkan pada pencarian. Mereka tidak takut karena selama ini memang tinggal di desa pinggiran hutan yang kenyang oleh berbagai permakluman tentang hal-hal gaib dan di luar nalar.
Mereka hanya khawatir terhadap keselamatan dua rekan mereka dan juga wanita anggota tim ekspedisi. Apa yang harus mereka sampaikan ke keluarga dua orang itu di desa jika kemudian mereka hanya pulang tinggal bertiga.
Langkah mereka pelan dan sangat hati-hati. Jejak atau pertanda sekecil apapun bisa jadi petunjuk yang sangat berharga untuk menemukan mereka. Situ ini tidak terlalu luas. Dengan pencarian seperti ini, mereka yakin tidak sampai dua jam telah sampai lagi di tempat Pak Acep menunggu sambil bersamadi.
Sampai di setengah jarak tempuh, keduanya berhenti secara serentak. Ada yang sesuatu yang ganjil di hadapan mereka. Situ ini ternyata tidak berasal dari aliran sungai manapun yang kemudian berkumpul di sini. Namun justru bermula dari air yang menetes secara terus menerus dari sebuah pohon besar dan terlihat sangat tua.
Entah ini pohon apa tapi yang jelas keanehannya sangat mencolok. Dari akar-akar udara yang bergelantungan, menetes air secara terus-terusan. Tanpa henti. Seolah akar-akar itu adalah ujung selang yang terbuka.
Tanpa menghitungpun, Mang Ujang bisa memastikan bahwa jumlah akar-akar udara ini ribuan. Dan semuanya mengalirkan air. Pantas saja air situ ini begitu melimpah dan segar.
Setelah mengamati dengan teliti, tidak ada satupun petunjuk di pohon ajaib ini, Mang Ujang dan Kang Maman melanjutkan pencarian.
Sudah tiga perempat jarak yang ditempuh. Sama sekali tidak ada apapun yang bisa dijadikan petunjuk orang hilang. Namun kali ini mereka harus berhenti lagi. Terdapat satu fenomena yang lebih aneh lagi dari pohon air.
Di hadapan mereka terdapat tebing tegak lurus yang semestinya mengharuskan mereka berputar atau melambung agar tetap bisa mengitari situ. Namun ternyata terdapat lubang seperti terowongan yang memudahkan meneruskan perjalanan tanpa harus memutar atau melambung. Terowongan itu tidak memanjang karena setiap beberapa puluh meter keluar ke dataran kecil, lalu masuk lagi terowongan berikutnya. Demikian berulang hingga mereka harus memasuki tiga terowongan.
Di dalam terowongan sendiri tidak ada satupun keanehan. Namun begitu keluar dari terowongan ketiga dan tak sampai 500 meter lagi sampai ke tempat semula, barulah mereka menemui sesuatu yang mendirikan bulu roma. Di sini ada bekas dua tiang tinggi dari batu berikut sebuah palang di atasnya yang juga dari batu. Ada tiga tiang berpalang serupa dan berjajar di sini.
Di palang itu terdapat sisa-sisa tali dari anyaman akar yang tergantung. Meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi dan juga menghabiskan hari-hari di desa terpencil tanpa listrik dan televisi, tetap saja Mang Ujang dan Kang Mamang bisa menduga bahwa ini adalah tiang gantungan.
“Euleeuuhh, euleeuuh, iyeu teh bekas gigi sareng kuku jalmi, Akang!” Kang Maman berseru saat berjongkok meneliti karena tertarik dengan tumpukan benda-benda kecil di bawah masing-masing tiang gantungan.
Mang Ujang ikut berjongkok lalu menganggukkan kepala membenarkan temuan Kang Maman. Keduanya saling pandang dan sama-sama bergidik. Berarti tiang gantungan ini tempat menghukum orang dengan cara digantung lalu mayatnya dibiarkan saja tergeletak di bawahnya. Setelah sekian lama, yang tertinggal hanya bagian yang paling awet dari tubuh manusia. Gigi dan kuku.
Tapi siapa yang menggantung dan siapa pula yang digantung ya? Terus tahun berapa ini kejadiannya? Pikiran sederhana Mang Ujang dan Kang Maman kelelahan memikirkan hal serumit itu sehingga keduanya memutuskan melanjutkan perjalanan mengelilingi situ yang tak lama lagi selesai. Lagipula tempat ini terlalu menyeramkan untuk tinggal berlama-lama. Hiiihh!
Dengan langkah-langkah lebar keduanya tergesa-gesa meneruskan perjalanan. Mereka akan memberikan informasi-informasi aneh ini kepada Pak Acep. Siapa tahu orang tua yang punya kelebihan itu tahu makna dari ini semua.
Sekitar lima puluh meter lagi mereka akan sampai di tempat Pak Acep bersamadi.
Tapi kali ini mereka dihadapkan pada kenyataan yang jauh dari kewarasan! Mereka ternyata sampai di bawah pohon air itu lagi! Padahal tempat di mana pohon ini berada harusnya melewati tempat Pak Acep ditinggalkan. Mereka sama sekali tidak pernah menjauh dari pinggiran situ, jadi mana mungkin tempat itu bisa terlewati begitu saja?
Atau jangan-jangan pohon air ini tidak hanya satu?
Mang Ujang dan Kang Maman menekan rasa takutnya. Mereka memeriksa lagi bawah pohon air. Ini pohon yang tadi! Nampak jelas jejak-jejak mereka tadi di sini. Kang Maman ingat tadi mematahkan sedikit akar-akar udara untuk diperiksa. Patahan itu masih tergeletak tidak jauh dari kaki mereka. Astagaa!
Kembali Mang Ujang dan Kang Maman saling pandang. Tidak tahu harus berbuat apa.
“Ssstt! Sssttt! Ujang, Maman, kadieu gera!” sebuah suara berbisik lirih mengejutkan keduanya. Kang Maman menggamit lengan Mang Ujang sambil menunjuk ke atas pohon air. Terlihat Pak Acep menempelkan telunjuk di mulut sambil memberi isyarat mereka agar buru-buru memanjat. Telunjuk satunya mengarah ke belakang mereka.
Tadinya Mang Ujang dan Kang Maman masih mau bertanya kepada Pak Acep apa maksudnya. Tapi begitu menoleh ke belakang, kontan saja keduanya pontang-panting memanjat pohon besar itu menyusul Pak Acep.
Tentu saja apa yang mereka lihat menimbulkan ketakutan teramat sangat. Seekor harimau Jawa berukuran besar berjalan di kejauhan menuju arah mereka!
Gusti Allah!
-----
Balikpapan, 30 September 2019
Catatan;
Euleeuuhh, euleeuuh, iyeu teh bekas gigi sareng kuku jalmi, Akang ; Duh, ini sih bekas gigi dan kuku manusia, Akang
Ssstt! Sssttt! Ujang, Maman, kadieu gera ; Ssstt! Sssttt! Ujang, Maman, cepat kesini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H